Ikuti terus kelanjutan kisah Alena ya, Gaes!
Leyla Prameswari Binti Imran S Tanggal lahir: 11 Mei 1986 Tanggal Wafat: 18 Juni 2021 Alena menatap lekat tulisan hitam pada batu nisan bercat putih berbahan kayu di atas gundukan tanah bertabur bunga kertas merah itu. Sejak tadi gadis berpakaian serba putih itu berbicara sambil tangannya membelai permukaan nisan. Di sampingnya ada Mbah Nani yang pertama kali berkunjung ke makam Leyla. "Ibu, sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah ninggalin aku. Nenek juga udah nggak menganggap aku, Bu." Di depan makam ibunya, Alena berkeluh kesah menceritakan apa yang dia alami seolah ibunya mendengar. "Aku sebatang kara. Apa yang harus aku lakuin, Bu? Rasanya aku pengin ikut Ibu aja." Mata Alena terasa memanas. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan siap tumpah kapan saja. Alena benar-benar merasa di ambang batas. Terlebih ketik
Alena dan Mbah Nani berjalan menyusuri jalanan sepi sambil bercakap-cakap. "Mbah tahu, 'kan, seberapa menderitanya Ibu." Alena melanjutkan perbincangannya dengan Mbah Nani. "Ibu tak hanya membesarkan aku seorang diri. Tapi Ibu juga dicemooh oleh keluarganya sendiri. Bahkan Nenek Rina tidak menyukai Ibu, anaknya sendiri." "Iya, Alena, Mbah paham apa yang dirasakan Ibu kamu dulu, Mbah juga paham bagaimana perasaanmu sekarang." "Sejak aku kecil Ibu bekerja semrawutan demi membesarkan aku. Bekerja sebagai ART di rumah ke rumah. Aku ingat, Ibu juga pernah jadi penjual asongan. Aku pernah diajak ke perempatan lampu merah, ke perumahan komplek, berjalan di bawah terik matahari hanya untuk menawarkan minuman botol yang untungnya nggak seberapa. Tak jarang Ibu dicelakai pedagang asongan lain karena nggak mau tersaingi. Waktu itu aku masih kecil. Aku nggak bisa ngelakuin apa-apa selain mengikuti apa kata Ibu." Alena bercerita sambil menangis. Mbah Nani yang melihatnya ikut menangis. "Makany
Perempuan mengenakan seragam khas Cleaning Service perusahaan itu tampak sibuk mengepel lantai kantor bagian lobi sampai poslen bermotif bunga warna kecoklatan itu terlihat mengkilap menampakan pantulan dirinya. Dia adalah Alena. Hari ini hari pertama dia bekerja setelah melewati masa-masa berat dalam hidupnya. Dia juga sempat dimarahi direktur perusahaan ini karena di hari pertama dia harusnya bekerja, dia justru tidak masuk dan tanpa kabar. Untungnya direktur itu mau memaafkannya setelah dia menjelaskan bahwa dia tertimpa masalah keluarga, ibunya meninggal karena sakit. Oleh direktur, Alena diberi kesempatan bekerja dengan catatan Alena tidak mengulangi kesalahannya lagi. Hari ini dia datang pukul setengah dua karena minggu ini jadwalnya masuk siang. Suasana kantor begitu ramai dipenuhi percakapan dan tawa para staf kantor. Beberapa karyawan dan OB berlalu-lalang. Meski hanya menjadi Cleaning Service, di hari pertamanya bekerja cukup mendebarkan. Maklum, dia takut melakukan kesal
"I-iya gue tinggal sama Nenek." Alena akhirnya menjawab demikian karena Mbah Nani pun sudah dia anggap seperti neneknya sendiri. "Kalau Ibu gue udah meninggal. Ayah gue ...." Alena terdiam sejenak. "Sejak kecil gue nggak tahu Ayah gue di mana." Alena tersenyum masam. Wajahnya berubah sendu membuat Mira merasa bersalah atas pertanyaannya. "Maaf, ya," ucap Mira tak enak hati. "Jadi sekarang lo nggak punya orang tua? Makanya tinggal sama Nenek?" Alena mengangguk. "Kasihan lo. Btw, umur lo berapa sih? Kayaknya masih muda." "Delapan belas tahun Kak tapi bulan depan udah mau sembilan belas." Alena tersenyum kaku. Mira mengangguk-angguk. "Kenapa mau jadi CS? Udah pernah cari kerja ke tempat lain?" "Udah, tapi yang nerima cuman perusahaan tempat gue kerja sekarang. Gue juga cuman tamatan SMA. Nggak apa lah jadi CS yang penting kerjaannya halal dan nggak merepotkan Nenek lagi." Mira tersenyum. "Kamu perempuan hebat, perempuan tangguh. Semangat selalu, ya?" Mira mengepalkan tangannya ke a
Setelah melewati jam istirahat, Alena dan Mira kembali ke kantor, bekerja seperti biasa sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam. Mira sempat menawarkan Alena pulang bersama, tapi Alena tidak mau dengan mengatakan kalau dia naik taksi saja. Mira sudah pulang sepuluh menit lalu. Keadaan kantor sudah sepi, hanya menyisakan beberapa CS yang sedang bersiap pulang dan beberapa karyawan yang lembur. Selain Mira, tidak ada karyawan CS yang begitu ramah padanya. Paling ketemu hanya menegur dan tersenyum. Itu bagus bagi Alena yang tidak ingin didekati terlalu banyak orang asing. Alena membuka lokernya untuk mengambil pakaian ganti yang sudah dia siapkan. Lalu mengganti seragamnya ke toilet. Tak lama kemudian Alena keluar dalam keadaan sudah memakai pakaian bebas--kaos ketat putih yang dilapisi outer hitam panjang dengan bawahan celana jins. Alena pulang menggunakan taksi yang sudah dia pesan melalui aplikasi di ponselnya. Namun, di tengah jalan, taksi itu berhenti. Alena mengalihkan pa
"Eh nggak usah takut gitu sama Abang. Santai aja. Niat kita 'kan baik mau nganterin. Iya nggak?" tanya lelaki itu pada temannya. "Namanya siapa?" tanya lelaki berambut gondrong sambil merokok. Alena menggeleng lagi. "Nggak!" Ketiga lelaki pereman itu saling pandang melihat aksi Alena. Lelaki berambut seperti anak punk dan mengenakan anting dan kalung mendekati Alena yang matanya sudah berair. Lelaki itu lantas mencekal pergelangan tangan Alena membuat Alena berteriak kencang. Jantung gadis itu terasa ingin lepas. "Diam nggak lo! Jangan teriak-teriak!" Lelaki itu mulai berang. Alena meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pegangan lelaki itu. "Lebay banget ya teriak-teriak. Dikira kita mau ngapain dia kali." Lelaki berkepala plontos yang sejak tadi hanya menonton, ikut menyahut. "Tauk, nih. Di apa-apain beneran baru tahu rasa!" timpal lelaki berpenampilan anak punk yang meregangnya. "Jangan. Jangan! Tolong ....!" Alena berteriak tertahan. "Hmmp!" Tapi kemudian mulutnya dibeka
"Alena?" "A-Andrio?" Alena dan lelaki itu saling pandang. Lalu lelaki itu tersenyum. Tapi tidak dengan Alena yang masih tercengang. "Alena, lo nggak apa-apa 'kan?" Raut wajah Andrio berubah khawatir sambil memegangi kedua bahu Alena. Alena sedikit terkejut menyadarinya, lalu gadis itu menggeleng. Sepersekian detik kemudian Alena memeluk Andrio membuat Andrio sedikit terkejut. Entah ada angin apa yang merasuki gadis itu hingga memeluk lelaki di hadapannya. "Gue takut, gue takut banget," lirih Alena sambil mengeratkan pelukannya di tubuh lelaki itu. Matanya yang memejam berair. Jantungnya masih terasa berdebar kencang. Dia sungguh takut. "Iya, iya, lo tenang, ya. Ada gue di sini. Peremannya juga udah pergi." Andrio menenangkan sambil membalas pelukan Alena. Senyap. Sampai beberap detik kemudian, Alena membuka matanya dalam dekapan lelaki itu yang membungkus tubuhnya hangat dan teringat sesuatu. Alena langsung mendorong lelaki itu membuat Andrio terkejut. "Ma-ma'af. Ma'af gue-gue n
"Oh, jadi Ibu lo udah meninggal? Innalillahi Wa'ina'ilahi Rajiun. Maaf Al gue nggak tahu. Gue turut berduka cita, ya. Lo pasti sedih banget 'kan?" Sepanjang perjalanan pulang Alena mengisahkan tentang ibunya yang sudah meninggal pada Andrio setelah lelaki itu banyak bertanya dan Alena tak punya pilihan selain jujur. "Kalau itu nggak usah lo tanya lagi. Farah saksinya betapa terpuruknya gue." "Farah teman lo waktu SMA?" "Iya, siapa lagi?" "Lo masih temanan sama dia?" "Ya masih lah. Dia satu-satunya sahabat gue. Oh iya, balik lagi ke cerita gue. Gue bahkan hampir bunuh diri tahu nggak, tapi Farah nggak tahu tentang itu karena waktu itu dia udah sibuk sama kuliahnya. Dan gue nggak mau merepotin dia muluk." "Lo mau bunuh diri? Serius?" "Iya. Dan Mbah Nani itu yang nolongin gue. Sejak itu gue sadar, nggak seharusnya gue berpikir untuk bunuh diri lagi. Jadi gitu asal mula gue bisa kenal Mbah Nani. Sampai sekarang gue tinggal di rumahnya karena gue nggak punya siapa-siapa lagi." "Ya