Lira, une fée douce et protectrice, vit en harmonie avec la nature dans une forêt enchantée. Son monde paisible est bouleversé lorsqu’elle rencontre Volarion, un dragon légendaire, le dernier de son espèce, qui lutte contre sa solitude et la malédiction d’être le dernier de sa lignée. Après qu’un éclair ait failli le détruire, Lira le soigne et une connexion profonde se tisse entre eux, marquée par un amour improbable. Mais leur amour naissant n’est pas sans dangers. Un groupe d’ennemis, comprenant des sorcières anciennes, des chevaliers d'élite et un puissant seigneur des ténèbres, voit leur union comme une menace à leur pouvoir. Les sorcières, jalouses de la magie pure que Lira incarne, cherchent à détruire l'équilibre entre les royaumes naturels et magiques. Les chevaliers, dévoués à éradiquer toute créature surnaturelle, cherchent à éliminer Volarion pour empêcher le retour des dragons dans le monde. Enfin, le seigneur des ténèbres, avide de pouvoir, désire capturer Volarion pour exploiter ses pouvoirs et contrôler les éléments. Lira et Volarion devront combattre ces forces opposées tout en protégeant leur amour fragile. Ils devront trouver des alliés improbables, découvrir des secrets enfouis depuis des siècles et faire face à des choix déchirants pour protéger ce qu'ils ont commencé à construire. Leur amour est leur plus grande force, mais aussi leur plus grande faiblesse dans un monde où tout semble conspirer pour les séparer.
View More“Gagal lagi,” keluh lirih suara wanita yang memegang tes pack.
Seketika kakinya merasa lemas akibat getaran di tubuh yang membuat langkahnya terhuyung duduk diatas kloset duduk.
Air mata lolos begitu saja diiringi sesak yang menusuk dada hingga suaranya tercekat. Friska mencoba mengatur napas yang mendadak sulit dikendalikan. Udara di dalam kamar mandi itu seperti kekurangan oksigen baginya.
“Sudah kesekian kali seharusnya aku terbiasa, tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?” Kembali ia menatap benda berbentuk stik berwarna biru dengan garis satu berwarna merah di ujungnya.
Hari di mana ia selalu melakukan uji tes urine itu dan mendapati hasil serupa, hanya satu yang selalu terucap: Gagal.
Suara isakan kecil lolos dari bibirnya. Wajah menunduk tajam tak sanggup menatap bayangan sendiri di dalam cermin. Hati dan benaknya berkecamuk beradu ketenangan. Namun, hingga air mata terus mengalir, tak juga ia menemukan titik ketabahan. Mungkin ini bukan kali pertama wanita itu melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, hasil yang dilihat tak kunjung sama dengan yang diharapkan.
Suara pintu yang diketuk tak juga membuatnya beranjak dari kesedihan. Ia terus terisak sampai suaranya memenuhi sebagian ruangan besar itu. Sementara di luar sana, seorang pria tampan dan gagah terus mengetuk pintu dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan.
“Friska, kamu di dalam, kan?” panggil pria yang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih didalamnya.
Tak ada sahutan. Pria itu tampak kebingungan. Ia pun lupa membawa cardlock yang tertinggal didalam mobil. Berpikir untuk bergegas menuju parkiran, tetapi di lain sisi ia sangat mencemaskan keadaan seseorang di dalam kamar itu. Hatinya sudah menduga pasti ada yang tidak baik malam ini.
“Ris,” panggil seorang wanita paruh baya dari arah lain.
Pria itu menoleh dan hanya terdiam.
“Friska ke mana?” tanya wanita paruh baya yang model rambutnya di sanggul kuno. Tatapannya sedikit kesal pada pria yang masih mengetuk-ngetuk pintu kamar itu. “Kalian tuh kenapa, sih? main tinggalin acara aja!”
“Fris, kamu di dalam, kah?” Sekali lagi. Pria itu mengetuk dan bersuara.
Hampir lima belas menit pria berjas hitam itu berdiri di depan pintu dan tak mendapatkan apa-apa. Sementara wanita paruh baya di sebelahnya hanya bisa mengomel dan menggerutu tidak jelas.
Akhirnya, wanita yang dicari mulai membuka pintu. Pria itu langsung terkesiap dan melebarkan mata saat melihat wanita bernama Friska mengulum senyum dengan mata sembab yang tak bisa disembunyikan.
“Fris, are you okay?” Faris cemas, sembari memegang kedua sisi lengan Friska.
Wanita yang masih tampak bersedih itu mengangguk pelan dan menatap dengan senyuman pria dihadapannya.
“I’m fine. Sorry, tadi aku ....”
“Kamu tuh kebanyakan drama, Friska!” Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, tetapi wanita paruh baya itu langsung melangkah dan menginterupsinya. Suara yang pelan, tetapi terdengar tegas itu berhasil membuat Friska sontak terdiam seraya menundukkan wajah.
“Ma, mending Mama balik lagi aja ke taman. Temuin tamu-tamu yang lain. Nanti Faris sama Friska nyusul, kok.” Suara lemah dari Faris pun tampaknya tak diindahkan oleh wanita paruh baya itu.
“Acara ini kan kalian yang mau. Jadi, jangan seenaknya ninggalin acara apalagi sampe bikin tamu pada nungguin!” balas Farida. Lalu, tatapan matanya kembali menatap bengis ke arah menantunya. “Friska, kamu tuh jangan lebay, deh! Mama tau, kok, kamu tuh ceritanya mau bikin surprise untuk ngasih tau kehamilan kamu kan?” Farida menyeringai sinis, “tapi ... kenyataannya nihil lagi!”
Tak sanggup menjawab apalagi menatap, Friska langsung mendengkus dan berbalik badan memasuki kamar. Sementara wanita paruh baya itu hanya bisa melengos dan menatap putranya.
“Tuh, lihat sendiri kan? gimana mau punya anak, kalau kelakuan aja masih kayak anak kecil! Inget umur, Ris! Kalian itu udah hampir menginjak kepala tiga! Ka—”
“Udahlah, Ma. Mending Mama balik lagi aja ke bawah. Friska tuh cuma lagi gak enak badan aja. Kasih kami waktu 15 menit, nanti kami turun, kok.” Faris langsung bergegas menyusul Friska ke dalam kamar seraya meninggalkan ibunya yang malah menggerutu sendiri.
Mata bulat yang indah itu kini dikecupnya. Rasanya sakit jika melihat bidadari hatinya terluka bahkan sampai menitikkan air mata. Kata maaf terus di lontarkan, walaupun ia tahu itu tak akan menjadi obat atas sakit yang selalu ditaburkan oleh mertuanya.
“Maafin mamaku ya, Fris. Aku tau kamu sedang terluka karena hal yang sama.” Faris merengkuh istrinya. Sementara wanita itu langsung menenggelamkan wajah di dada sang suami. Menumpahkan seluruh tangis dan rasa kecewa akan banyak hal yang bahkan ia sendiri pun tak tahu harus menyalahkan siapa.
“Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu percaya diri sampai mengira hari ini aku benar-benar hamil dan kenyataannya ….” Friska menunduk dalam. Suaranya bergetar. “I’m so sorry, Ris. Aku bakal malu-maluin banget di depan semuanya, di depan acara yang kita buat sendiri.”
Faris mengecup puncak kepala sang istri. Seolah mentransfer kekuatan dan kesabaran untuk bidadari tercintanya.
“Nggak ada yang salah, sayang. Tujuan acara ini kan bukan untuk itu. Ini adalah acara perayaan pernikahan kita yang ke 8 tahun. Hari yang mengingatkan kita pada sebuah perjalanan menuju babak kehidupan yang baru kala itu. Hari yang mengingatkan kita untuk berjanji akan selalu bersama menghadapi pahit manisnya perjalanan kita sampai detik ini.” Faris melepaskan dekapannya dan membungkukkan badan di hadapan sang istri. Menatap lekat manik mata yang masih basah itu.
“Aku mencintaimu, happy anniversary, my love. I hope i love you all my life.” Satu kecupan manis didaratkan oleh Faris di bibir ranum itu, menyesap ketulusan yang dapat menenangkan. Seolah menghapus jejak luka yang terus menganga di hati sang istri.
“I love you too. I hope to be with you forever. Maaf, kalau sampai detik ini aku belum bisa memenuhi impian terbesar dalam pernikahan kita, Ris.” Friska kembali terisak. Sementara Faris hanya tersenyum manis dan menyeka air mata istrinya.
“Impian terbesar dalam pernikahan ini adalah kita akan terus bersama-sama! Apa pun keadaannya. Aku gak pernah menyalahkanmu soal anak, Fris. Percaya aja, mungkin ini belum waktunya buat kita. Mungkin Tuhan memang ingin kita menikmati honeymoon lebih lama lagi,” ujar Faris sembari menyapit lembut hidung mancung istrinya.
Friska pun mengukir senyuman. Hangatnya dekapan suami, lembut tutur katanya seolah memadamkan kobaran kecewa dalam hati. Kini ia mengerti, seburuk apa pun keadaan, jika Faris selalu ada bersamanya, maka semua akan baik-baik saja.
“Turun, yuk. Kasian temen-temen dan tamu yang lain pasti udah nungguin kita,” ajak Faris, kemudian Friska pun mengangguk dan merapikan kembali riasan wajah serta penampilannya.
“Okay!”
***
Senyum dan tawa hangat menghiasi setiap tamu yang hadir. Mereka memadati ruangan dengan kegembiraan dan rasa syukur, berkumpul untuk hari jadi pernikahan Faris dan Friska yang ke 8 tahun. Melodi indah dari alunan musik mengiringi langkah penuh harapan dan kebahagiaan. Suara tepuk tangan pun terdengar meriah saat melihat sepasang suami istri itu kembali hadir di tengah-tengah acara.
Friska hanya tersenyum manis menyapa para tamu yang tadi belum sempat bertemu dengannya. Awalnya, Wanita itu memang menambah rundown acara dengan memberikan kejutan untuk semuanya. Beberapa hari ini ia seperti merasakan seluruh ciri-ciri kehamilan yang nyaris lengkap. Bahkan, ia pun sudah mengalami keterlambatan datang bulan selama 7 hari. Hal tersebut membuatnya begitu yakin, bahwa acara anniversary kali ini akan benar-benar spesial karena hadirnya benih cinta yang diyakini telah tumbuh dalam rahimnya.
Jadilah, Friska diam-diam kembali ke kamar hotel untuk melihat hasil tes kehamilan yang sudah ia lakukan sebelum memulai acara. Namun, ternyata harapan itu runtuh saat melihat hasil tes menunjukkan kenyataan seperti bulan-bulan lalu. Sebuah perasaan hancur yang mungkin tidak semua wanita pernah merasakannya.
Seorang MC berjalan ke arah Faris dan Friska serta mengajaknya berbincang. Ekspresi wajah sang pemandu acara pun tampak kebingungan dan gugup.
“Mbak Friska, untuk acara pregnancy announcement-nya jadi gak?” tanya seorang lelaki tampan yang dipercaya Friska untuk memandu acara wedding anniversary-nya.
Friska dan Faris saling menoleh lalu tersenyum lebar. Tampak pancaran ketabahan terukir di wajah keduanya.
“Cancel aja. Kita langsung ke acara hiburan,” ujar Friska.
“Ohh,” desis lelaki itu dengan mengangguk pelan, ekspresinya datar seolah sudah bisa membaca situasi ini. “Oke, kalau begitu.”
Acara kembali berlangsung, MC pun langsung mengarahkan ke acara berikutnya yaitu pemotongan kue, acara dansa, menyanyi dan lain sebagainya.
Faris dan Friska pun tampak bahagia malam ini. Kesedihan dan kekecewaan seperti sirna dalam sekejap. Teman dan rekan-rekan mereka juga tak banyak yang menyinggung soal penantian buah hati pada pemilik acara, karena beberapa di antara mereka pun banyak yang mengerti bahwa soal keturunan adalah hal yang sensitif untuk dibahas.
Lain hal dengan Farida yang terlihat tidak bersahabat malam itu. Ia duduk dengan ekspresi masam. Membuat Lisda–besannya melangkah mendekat.
“Ada apa, Bu? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Lisda dengan hangat. Ia duduk di kursi yang berada di sebelah Farida.
Wanita paruh baya itu tersenyum kecil dan menjawab, “Baik. Hampir aja, Friska melakukan kesalahan tadi.”
Lisda menautkan alis. Ia menoleh ke arah putrinya yang sedang bersenda gurau bersama teman-teman. “Memangnya ada apa dengan dia?”
Farida mengangkat bahu. “Biasalah, ngambekan aja. Keliru sama keadaannya. Terlalu di manja kali ya sama Bu Lisda dulunya?”
Lisda menghela napas. Di beberapa hal, besannya itu memang agak menyebalkan. Tapi ia tak mau ambil pusing. Mungkin putrinya memang sedang ada masalah saja.
“Lagi ada masalah aja kali, Bu. Sebagai orang tua, saya gak mau berpikir negatif sama anak. Tidak berani berkomentar apa-apa juga soal masalah yang sedang dihadapinya.” Lisda menarik napas. Kemudian ia memilih untuk beranjak.
Farida mencibir dengan tatapan sengit. “Ibu sama anak sama aja kayaknya!”
Ponselnya berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk. Farida tersenyum lebar saat mengusap layar dan melihat pesan dari seseorang. Tampaknya begitu spesial untuknya.
Senyumannya semakin merekah saat ia melihat sebuah foto boneka beruang kecil beserta isi pesan di dalamnya.
LiraLa lumière du matin se brise en éclats de rubis et d’or sur les vitraux de la grande salle du Conseil.Chaque rayon effleure la pierre grise, révélant les filigranes d’anciennes batailles, de victoires gravées dans le marbre.Le parfum de cire chaude et de poussière ancienne flotte dans l’air, mêlé au cuir des sièges et à la moiteur des manteaux trempés par la rosée.Les conseillers sont déjà assis en demi-cercle.Leurs regards convergent vers la haute estrade où siège Maevor, le chancelier, silhouette sombre encadrée de flammes vacillantes.Derrière son dos, l’emblème du royaume un aigle aux ailes déployées scintille dans la lueur d’aube.Je m’avance, chaque pas résonne comme un battement de tambour dans la nef silencieuse.Une tension électrique court dans l’air, presque palpable, comme si la salle elle-même retenait son souffle.Maevor prend la parole, sa voix grave roule sous les arches :— Une présence… inhabituelle a traversé nos murs cette nuit.Un frisson parcourt l’assem
LiraLe feu s’est consumé jusqu’à n’être plus qu’un lit de braises rougeoyantes.L’air porte l’odeur douce-amère du bois brûlé, mêlée à la senteur âpre et sauvage de Volarion.Je m’éveille dans cette tiédeur fragile, enveloppée par son souffle régulier, grave comme un chant ancien.Pour la première fois depuis des semaines, mes rêves n’ont pas été peuplés de trônes ensanglantés ni d’ombres qui me traquent.Il n’y avait que ce silence, vaste et apaisant.Je tourne la tête, lentement, de peur de briser le moment.Une lueur grise s’infiltre par les rideaux épais, caresse les angles de la chambre et cisèle ses traits d’un éclat argenté.La lumière souligne la courbe de sa mâchoire, la ligne sombre de ses cils.Même dans le sommeil, Volarion semble guetter.Son bras repose autour de moi, lourd mais protecteur, comme un rempart contre le monde extérieur.Un sourire me surprend, rare et presque oublié.Je n’ai pas souri ainsi depuis… je ne sais plus combien de saisons.Un craquement discret
LiraLes portes se referment derrière nous dans un claquement sourd. Le silence me tombe dessus comme une chape de plomb. Mes jambes tremblent encore, mais cette fois ce n’est plus la peur des nobles qui me fait vaciller. C’est autre chose.Volarion est là, à quelques pas. Sa présence emplit toute la chambre, écrase les murs, pèse dans l’air comme un orage prêt à éclater. Je sens son souffle, lourd, tendu, presque rauque. Il ne parle pas. Pas encore.Je retire ma couronne, mes doigts crispés s’accrochant au métal glacé. Je la dépose sur la table comme si elle me brûlait. Elle pèse trop lourd pour mes tempes encore frêles.— Je… je n’y arriverai pas, soufflé-je enfin, ma voix étranglée.Il s’avance. Lentement. Chaque pas résonne dans mon ventre comme un coup de tonnerre. Ses yeux m’encerclent, deux braises incandescentes qui refusent de me lâcher.— Tu n’as pas le droit de dire ça, répond-il, bas, rauque. Pas devant moi , devant personne .Je détourne les yeux. Mais sa main se tend et
Interlude : Les noblesLes lourdes portes de la salle s’ouvrent dans un grincement funèbre. Les seigneurs s’éparpillent dans les couloirs comme une volée de corbeaux, capes traînant, visages fermés. Mais leurs voix ne se sont pas tues. Elles serpentent dans les galeries comme des lames cachées.— Elle ne tiendra pas, souffle l’un.— Volarion ne pourra pas toujours la couvrir, réplique un autre.— Si elle croit que nous plierons, elle se trompe…Le nom de Galdren revient, murmurant comme une bannière de révolte. Ses yeux n’ont pas quitté Lira jusqu’au dernier instant. Sa mâchoire serrée, son rire méprisant, son pas lourd résonnent encore dans l’air comme une menace.Et déjà, dans les ombres, des serments silencieux s’échangent. Le vieux duc Varlen, plié par les ans mais plus venimeux qu’un serpent, incline la tête vers Galdren. La marquise Eryane, au sourire cruel, glisse quelques mots à voix basse, ses doigts ornés de bagues effleurant son poignard dissimulé. Des alliances se nouent à
LiraLe silence qui a suivi mes mots n’a pas duré. Déjà, les barons et seigneurs s’agitent, leurs capes claquent, leurs anneaux tintent contre les tables.Certains me fixent avec une haine nue. D’autres me scrutent avec cette avidité sournoise, comme des loups flairant une proie nouvelle à déchiqueter.Je sens la chaleur de Kaelen derrière moi, solide, inébranlable. Mais c’est un autre pas qui s’avance sur ma droite.Volarion.Toujours à mes côtés, depuis l’instant où j’ai osé me tenir debout. Ses yeux sont deux éclats d’obsidienne, brûlants d’une colère qu’il contient à peine. Sa présence coupe le tumulte comme une lame invisible.Il parle. Sa voix roule comme un tonnerre, grave et tranchante :— Le roi a parlé. Ceux qui le contestent contestent la couronne elle-même.Un frisson parcourt l’assemblée. Quelques-uns s’inclinent aussitôt, pressés d’affirmer leur loyauté avant que l’orage ne les frappe. Mais d’autres se redressent, plus fiers, plus provocateurs.Un duc à la barbe grise cr
LiraTout se brouille autour de moi. Les vitraux rouges et or s’effacent, les colonnes immenses disparaissent. Le tumulte de la salle n’est plus qu’un bourdonnement lointain, indistinct.Il ne reste que lui.Le visage de mon père, immobile, figé dans une paix cruelle que je n’ai jamais connue de son vivant. Ses traits, jadis taillés dans la pierre et l’orgueil, sont redevenus ceux d’un homme. Non d’un roi, non d’un juge, non d’un fantôme de pouvoir, mais d’un simple mortel qui a trop porté.Ses doigts reposent dans ma paume. Glacés. Lourds. Déjà presque étrangers. Je serre, mais rien ne répond. Et mon cœur s’étrangle.— Père…Le mot s’échappe comme une prière que personne n’entend.Je l’ai rêvé mille fois. Je l’ai crié dans mes cauchemars, je l’ai maudit en silence. Aujourd’hui, il résonne dans le vide. Trop tard pour qu’il m’entende. Trop tard pour qu’il me réponde.J’aurais voulu lui dire que je l’ai haï. Que je l’ai aimé malgré tout. Que j’ai vécu chaque instant à l’ombre de son ab
Bienvenue dans Goodnovel monde de fiction. Si vous aimez ce roman, ou si vous êtes un idéaliste espérant explorer un monde parfait, et que vous souhaitez également devenir un auteur de roman original en ligne pour augmenter vos revenus, vous pouvez rejoindre notre famille pour lire ou créer différents types de livres, tels que le roman d'amour, la lecture épique, le roman de loup-garou, le roman fantastique, le roman historique et ainsi de suite. Si vous êtes un lecteur, vous pouvez choisir des romans de haute qualité ici. Si vous êtes un auteur, vous pouvez obtenir plus d'inspiration des autres pour créer des œuvres plus brillantes. De plus, vos œuvres sur notre plateforme attireront plus d'attention et gagneront plus d'adimiration des lecteurs.
Comments