Share

Bab 9. Rencana Patih Satu Diro Menggolo

"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini.

"Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo.

Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari.

Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.

Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem, Gusti Ratu."

"Saya terima sembah baktimu, Paman Patih. Hal penting apakah kiranya yang ingin panjenengan sampaikan, Paman?" tanya Dewi Rukmini sembari menyunggingkan senyum anggunnya. Senyum seorang ratu yang harus tetap terulas tanpa berlebihan. Kewibawaan harus tetap dijaga tanpa menanggalkan keramahan.

Patih satu Diro Menggolo mengatur posisi duduknya mengikuti gerak Dewi Rukmini. Kini dia berhadapan dengan Sang Ratu. Tanpa berani mengangkat wajahnya, apalagi menentang pandangan mata Sang Ratu.

"Soal ramanda panjenengan. Saya sudah membicarakannya dengan Ki Sradda. Bahwa satu-satunya cara untuk membuat Gusti Prabu sembuh adalah dengan memberinya seorang wanita pendamping hidup." Suara Patih satu Diro Menggolo terdengar bergetar. Dia tahu masukannya ini pasti akan mengguncang batin Dewi Rukmini.

Dewi Rukmini memang terkejut mendengar masukan dari Patih satu Diro Menggolo. Namun, dia harus mampu menyembunyikan kekagetannya itu. Tak elok seorang rstu memiliki ekspresi berlebihan.

"Apakah itu jalan keluar terbaik, Paman Patih?" tanya Dewi Rukmini. Senyum anggunnya berubah menjadi senyum yang diliputi kegalauan.

Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. "Betul, Gusti Ratu. Hanya ini satu-satunya jalan."

Dewi Rukmini mengembuskan nafas kuat-kuat. Kali ini dia tidak sarujuk dengan keputusan Patih satu Diro Menggolo. Dia belum siap menerima kehdiran ibu baru dalam kehidupannya. Karena hal ini tidak hanya menyangkut msalah hati, tapi juga kekokohan kekuasaan Kerajaan Sanggabumi.

"Saya kurang bisa nenerima masukan panjenengan, Paman Patih," ujar Dewi Rukmini. Pandangannya tajam menghunjanm ke arah Patih satu Diro Menggolo. Pandangan yang tak kan pernah berani dibalas oleh Patih satu Diro Menggolo.

"Tapi Gusti Ratu ... hhmm ... apakah kita tega membiarkan Gusti Prabu selalu dalam keadaan seperti itu? Ini sudah berjalan waktu enam purnama, Gusi Ratu," dalih Patih satu Diro Menggolo.

Mata Dewi Rukmini berkaca-kaca. Pandang matanya berada jauh di depan istana Kerajaan Sanggabumi, di mana terdapat bangunan pasetran. Tempat di mana jasad Dewi Gauri dihantar menuju ke Swargaloka. Pandangan terawangan Dewi Rukmini mengarah ke sana.

"Siapakah yang pantas mengantikan kedudukan ibundaku? Apakah dia mampu bersanding dengan romoku? Apakah dia mampu melawan kenyamanan singgasana prameswari?" tanya Dewi Rukmini. Pertanyaan yang lebih ditujukan pada diri sendiri. Menyiratkan kebimbangan hatinya.

"Ampun dalem sewu, Gusti Ratu. Ada perjanjian yang ditawarkan oleh Patih tiga Wira Ageng. Bahwa desa Kampung Alit akan menghentikan penyerangan ke Kerajaan Sanggabumi jika Prabu Arya Pamenang bersedia menikahi Dewi Laraswati. Putri dari Kerajaan Galuh, yang selama ini membantu penyerangan warga desa Kampung Alit." Masih tetap dengan wajah menunduk, Patih satu Diro Menggolo menuturkan rentetan alasan.

Mata Dewi Rukmini seketika membelalak. "Panjenengan tidak sedang bercanda, kan, Paman Patih? Dewi Laraswati dari Kerajaan Galuh? Kita harus menyatu dengan Kerajaan Galuh? Itu sama artinya dengan penyerahan diri, Paman Patih." Tangan Dewi Rukmini mengepal. Dia menahan amarah yang menggelegak dalam dada.

Setiap kali nama Kerajaan Galuh disebut, setiap kali itu pula ada api yang membakar dada Dewi Rukmini. Kerajaan Galuh yang mengirimkan pasukan terbaiknya demi membantu warga desa Kampung Alit, yang mengakibatkan ibunda Ratu Dewi Gauri menemui akhir masa hidupnya. Pemberontakan Candra Ratri. Tak akan pernah terlupakan dalam benak Dewi Rukmini.

"Saya tidak bisa menyetujui usulan dari Paman Patih. Saya tidak bisa, Paman! Bayangkan! Saya harus menerima seseorang yang telah mengakibatkan nyawa ibu saya tercerabut. Ini tidak adil!" Tanpa disadari, Dewi Rukmini berteriak.

Ki Suro, Ki Jagad, dan Bejo yang tengah berjaga di tangga pendopo tersentak kaget mendengar teriakan Dewi Rukmini. Mereka saling pandang. Lantas menundukkan wajah. Karena isak tangis Dewi Rukmini mulai terdengar.

Namun, bukanlah Diro Menggolo namanya, jika menyerah hanya sampai di situ saja. Setiap kebijakan yang dia tawarkan pada pimpinan tertinggi kerajaan, harus mendapatkan persetujuan. Itu sudah menjadi prinsipnya.

"Lantas bagaimana dengan keadaan Prabu Arya Pamenang, Gusti Ratu? Tegakah panjenengan melihat Gusti Prabu dalam keadaan seperti itu hingga di akhir hayat beliau?" cecar Patih satu Diro Menggolo.

Dewi Rukmini kembali terdiam. Mempertimbangkan segala masukan dari Patih satu Diro Menggolo. Dan lamat-lamat dia mendengar suara tawa dan tangis Prabu Arya Pamenang dari kamar utama puri istana. Suara tawa, tangis, dan amarah yang terus terdengar menyayat telinga.

"Tidak bisakah saya menawar waktu, Paman Patih?" Dewi Rukmini terus mencoba mengajukan alternatif pilihan pada Patih satu Diro Menggolo itu.

"Kita tidak bisa menunda lagi, Gusti Ratu. Karena Wira Ageng telah merencanakan penyerangan lagi. Pemberontakan Candra Ratri kedua, purnama mendatang. Tinggal satu pekan lagi." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Lantas mengusap kasar mukanya. Keriput halus yang mulai menggurat di wajahnya, kini terlihat makin jelas.

"Kita hadapi saja, Paman Patih." Dewi Rukmini masih ngotot menolak masukan dari Patih satu Diro Menggolo.

Kali ini Patih satu Diro Menggolo mengangkat kepalanya. Menatap mata Dewi Rukmini lekat-lekat.

"Menghadapi pertempuran lagi? Berarti kita menyodorkan nyawa rakyat untuk dibantai oleh pemberontak. Wira Ageng berencana menambah kekuatan pasukannya. Tidak hanya dari desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Namun, juga beberapa desa yang ada dalam wilayah Kerajaan Galuh." Wajah Patih satu Menggolo terlihat sangat tegang.

Dewi Rukmini menggebrak meja kecil yang ada di hadapannya. Meluapkan kekecewaan dan kekesalan hatinya.

"Kita terjebak dalam strategi mereka. Membuat kita tak bisa memiliki pilihan lain lagi. Terpaksa, Patih satu Diro Menggolo," ujar Dewi Rukmini sembari menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sedikit darah tertoreh di sana.

"Jadi?" tanya Patih satu Diro Menggolo memastikan jawaban Dewi Rukmini. "Gusti Ratu menyetujui pernikahan antara Prabu Arya Pamenang dengan Dewi Laraswati?" Patih satu Diro Menggolo terlihat begitu begitu. Matanya berbinar-binar.

"Ingat ya, Paman Patih! Aku melakukan keputusan ini karena terpaksa. Siapkan acara lamaran ke Kerajaan Galuh tiga hari lagi. Dan besoknya langsung kita adakan pesta pernikahannya." Dewi Rukmini berkata sambil berdiri dan langsung berlalu dari hadapan Patih satu Diro Menggolo. Tanpa ucapan pamit satu patah kata pun.

Petang yang menjadi mimpi buruk bagi Dewi Rukmini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status