"Makanya video call dong, biar nggak kaya denger radio," celetuk Danu tertawa renyah. "Eh, Mas. Ngomong-ngomong makasih ya sudah buat aku ketawa. Jarang benget aku ngobrol lama sama laki-laki," ungkap Zahra tersenyum ia mulai bisa bersahabat dengan Danu. "Emang kamu nggak pernah ngobrol sama laki-laki gitu?" tanya Danu penasaran kini Danu memeluk gitarnya. "Ya pernah sih, Mas. Tapi nggak selama ini. Paling lama 10 menit sudah tut tut tut," ungkap Zahra lagi. "Aku nggak pernah ngobrol sebebas ini, Mas. Aku selalu jaga jarak dan membatasi waktu," ungkap Zahra suara lembutnya muncul lagi. "Wah aku pria beruntung dong. Pernah pacaran?" tanya Danu penasaran. "Belum pernah, Mas. Hari-hari ku dipondok ku sibukan dengan hafalan dan belajar ilmu agama yang lain, sambil membantu Bu Nyai," jelas Zahra. "Kalo Mas gimana?" tanya Zahra. "Sama. Eh pernah sekali, cuma bertahan sebulan aja. Aku nggak tahan pacaran, ini itu nggak boleh. Apa-apa wajib lapor, dah kaya tahanan aja," ungkap Danu tert
Danu men-scrol semua materi yang ditampilkan di layar, ia memilih salah satu resep. Di-klik munculah resep dan tatacara membuat nasi goreng. Dibaca pelan sambil duduk di kursi meja makan.Danu mengacak rambutnya, membaca bahan-bahan yang ada diresep. "Ah, ribet. Ada sosis, bakso, kecap, telur, nasi putih, bumbu-bumbu apa lagi ini? Duh, aku nggak ngerti urusan dapur lagi. Selama ini tinggal makan aja," Danu resah membaca resep nasi goreng di internet. "Ah, coba aja deh. Aku harus bisa!" Danu mensuport diri sendiri. Danu beranjak menuju dapur, ia hendak masak nasi goreng. Sampai didapur Danu bingung. Dimana mencari nasi dan peralatan untuk membuat nasi goreng. Ia berdiri bola matanya menyapu ruangan dapur. Ada berbagi alat memasak, piring, sendok dan gelas. Tapi ia tak tahu dimana nasi disimpan. Selama ini ia tidak pernah ke dapur, semua selalu tersedia di meja makan tinggal leb, aduh enaknya. "Duh, nasi dimana sih?" Danu mencoba membuka beberapa pintu lemari di bagian atas. Tidak
Bi Surti berjalan lalu menaruh sepiring nasi putih di dekat mangkuk berisi bumbu yang akan dihaluskan. "Bi, kok diem aja sih, Bi? Ngomong dong, jawab pertanyaan saya!" rengek Danu kini Danu bertingkah seperti anak usia dini ingin tahu apa yang dilihat. Bi Surti masih saja diam, rasa kantuknya makin menjadi. Sedang si majikan muda masih saja bertanya. "Bibi, kenapa nasinya di taruh disitu? Kenapa nggak ditaruh seperti kalau di meja makan?" Danu terus bertanya. Bi surti menguap beberapa kali, di sudut matanya berair. Kini ia mengambil sebutir telur dari dalam kulkas. "Bi, bibi!" rengek Danu lagi. Bi Surti meletakkan telur di mangkuk bersama bumbu yang akan di haluskan. "Den, ini mau masak nasi goreng, apa wawancara sih, Den? Dari tadi nanya aja, kepala bibi pusing, Den," ungkap Bi Surti air mukanya masam. Danu diam memerhatikan Bi Surti yang sedang kesal sambil duduk di kursi lagi. "Lagian Aden, masa alat begituan nggak tau. Itu megicom Aden, gunanya untuk memasak nasi. Dirumah
Danu menyantap nasi goreng hasil kolaborasi ia dan Bi Surti. Beruntung saja sang ART cerdas menambahkan porsi nasi lagi, hingga membuat rasanya tidak seasin sebelum ditambah nasi.Bi Surti sudah selesai beberes ia kemudian pamit undur diri untuk tidur."Bibi tidur duluan, Den. Ngantuk." "Oh, ya, Bi. Makasih ya, udah ngajarin masak nasi goreng. Besok pagi ajarin lagi, ya!" pinta Danu menyantap nasi gorengnya. Bi Surti hanya mengangguk dan beberapa kali menguap. Ia pun berjalan meninggalkan Danu menikmati nasi gorengnya, rasa kantuk sudah tak tertahankan jam menunjukan sudah pukul 22.55 WIB. Danu segera menghabisikan makan malamnya, minum kemudian kekamar men-charge ponselnya lalu tidur. +++++++++Danu malam ini tidur dengan perut kenyang hingga membuatnya cepat terlelap. Dalam tidur ia bermimpi. Dalam mimpi itu, Danu melihat dirinya sendiri mengenakan baju khas pengantin berwarna putih dan kopiah berwarna senada sedang bercermin, melihat dengan bangga dan pongah atas ketampananny
Setelah menelpon kedua sahabatnya, Danu bergegas keluar kamar menuju dapur, ia hendak mengambil minum. Danu menuruni anak tangga menuju ruang dapur. Sepi, suasana rumah masih sepi. Ini pertama kalinya seorang Danu Herlambang bangun sepagi ini. Dulu, Danu terbiasa bangun jam 09.00 WIB. Setelah berhijrah ia mulai membiasakan bangun pagi untuk shalat Subuh, meskipun telat setidaknya ada perubahan. Setelah shalat subuh biasanya ia tidur lagi. Namun, pagi ini berbeda sekali, Danu bangun lebih dulu dari semua penghuni rumah. Danu meraih gelas kemudian mengisinya dengan air mineral, diteguknya isi gelas itu hingga habis. Ia duduk di kursi meja makan yang ada didapur. Danu melamun."Den, tumben sudah bangun," sapa Pak Kasno menepuk bahu majikan mudanya. "Eh, Pak Kasno. Kaget saya, Pak," balas Danu. Melempar senyum kemudian menunduk. "Tumben Aden jam segini udah bangun, mau ngopi, Den?" tawar pak Kasno pada majikan mudanya. Laki-laki berambut cepak itu menyeduh kopi kemasan. "Nggak ah.
"Gue emang mau merid, tapi bukan sama Hany. Gue punya calon lain. Dia berpuluh kali lipat cantiknya dari Hany. Wajahnya, hatinya, sifatnya...," ungkap Danu sambil tersenyum."Emang ada wanita yang cantiknya melebihi Hany?" tanya Aryo penasaran. "Ya adalah." Danu melempar senyum. "Eh, tapi jelasin dulu siapa dia? Terus kenapa dia minta mahar nasi goreng? Kenapa juga Lu mau nanem padi?" Aryo mencecar Danu. Danu dengan santainya mesem, menanggapi sahabatnya."Dia anak sahabat bokap gue. Dia itu seorang hafidz, kecantikan yang dimilikinya sungguh alami," ungkap Danu mengisahkan Zahra. "Hafiz? Wah, selera Lu berubah. Gue kira Lu suka model cewek kaya Hany." Bola mata Aryo mengerling, menyapu wajah Danu yang tampan rupawan."Hany nggak ada apa-apanya di banding bidadari gue," ucap Danu mantap.Aryo makin penasaran dengan sosok wanita calon istri sahabatnya itu. "Terus kapan Lu merid? Nah apa hubungannya, nasi goreng sama nanem padi?" Aryo terus saja melempar pertanyaan. Danu menarik
"Eh, Nu. Sebenarnya tujuan kita kesawah ngapain, sih? Musim tanam padi kek gini mah pemandangannya jelek, Nu," ungkap Roby sambil merebahkan jok mobil yang ia duduki."Kita mau survei area persawahan, gue ada misi penting," ucap Danu sambil fokus menyetir mobil. "Iya, tapi misi apaan, si? Terus kata si Aryo tadi Lu, mau merid. Nah, apa hubungannya merid sama survei sawah?" tanya Roby ia merebahkan dirinya di jok mobil seperti bos besar menikmati perjalanannya. "Gue mau cari lahan buat nanem padi," ungkap Danu melirik Aryo yang tersenyum simpul. Roby berjingkat langsung duduk ia merasa bingung dengan jawaban Danu. "Eh, Nu. Lu tuh aneh bener, deh. Mau merid, apa nanem padi, sih? Setau gue nih, ya. Orang kalo mau merid, pacaran dulu, tunangan, terus nentuin hari pernikahan, cari area resepsi digedung kek, di luar kek, atau apalah. Ini katanya mau merid, malah survei sawah pake acara mu nanem padi segala. Elu mau merid apa mau jadi petani?" Roby ngomel dan bertanya kepada sahabatnya i
"Nu, kayaknya mending jangan parkir disini, deh. Disana aja yuk, dibawah pohon rindang," ajak Aryo. Aryo menatap Danu aneh, dari tadi Danu tak bergeming, ia larut mengamati kegiatan di area persawahan. "Ternyata begini penampakan area persawahan saat musim tanam," gumam Danu dalam hati. Masih tetap asyik dan fokus mengamati kegiatan di persawahan. "Nu, Danu!" panggil Aryo. Danu tidak menoleh, tetap asyik dengan kegiatannya. "Ya ampun, jangan-jangan kesambet ni anak," tebak Roby menyimpulkan yang terjadi pada sahabatnya itu. "Hus! Sembarang itu mulut." Aryo melirik tajam Roby. Aryo lantas mengguncang bahu Danu perlahan. "Nu, Danu. Hei, sadar, Nu. Sadar!" seru Aryo pelan. "Eh, apaan?" Danu terkejut menoleh kearah Aryo. "Lu kenapa, dipanggil nggak nyaut. Kaya ponsel susah sinyal aja," ucap Aryo menatap aneh terhadap Danu. Danu cengengesan, sambil membenarkan posisi duduknya. "Gue lagi ngamati kegiatan para petani itu," ungkap Danu menunjuk keluar jendela hamparan sawah di sis