Diah dan Ambar adalah saingan saat seleksi CPNS. Siapa sangka, jika mereka akan menjadi rival terus menerus setelahnya. Anak Diah, Meida, mengalami perundungan yang dilakukan oleh gurunya sendiri, Ambar. Setiap hari ia disiksa secara psikisnya di dalam kelas. Ambar juga kerap menyuruh taman-teman satu kelas untuk membully Meida. Diah tidak terima dengan itu dan bertekad akan membalas. Diah tahu jika Ambar terlibat perselingkuhan dan ia bertekad akan membuat Ambar hancur.
View MorePart 1
Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, sepulang dari tempat kerja pasti disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Hal itu seringkali membuatku lupa pada satu benda yang bernama ponsel.
Hari itu, aku baru mengingat benda tersebut saat sudah pukul tiga sore. Setelah menitipkan anak-anak di rumah Ibu, aku menuju sekolah tempat mengajar. Iya, aku seorang guru honor di sebuah sekolah dasar yang menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana dengan menaiki motor. Setiap guru sudah diberi kunci kantor, pun denganku.
Memarkir kendaraan di depan gerbang, sengaja kulakukan.
Pintu gerbang masih terbuka?
Dengan langkah pelan, kaki melangkah menuju ruang kantor yang ada di paling ujung. Masih ada satu motor, berarti kantor masih ada orang. Namun, dari jarak beberapa meter aku melihat pintu dan tirai kantor yang tertutup.
“Apa ada orang?” ucapku sambil membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. “Astaghfirullah ….” Spontan aku beristighfar saat melihat dua orang yang aku kenal sedang berciuman.
“Em, mau apa? Ada perlu apa?” tanya si lelaki gugup sambil mengusap bibirnya yang basah. Sementara si perempuan salah tingkah dengan membuka laptopnya.
Entah kenapa, lidah ini terasa sulit digerakkan. Pikiran belum bisa percaya pada apa yang kulihat di depan mata. Pak Sela, sosok yang sangat pendiam, bahkan tak mau menyapa sebelum disapa melakukan hal itu di kantor. Sementara Bu Ambar adalah guru yang termasuk baru di daerahku.
Sepasang lelaki dan perempuan yang masih mengenakan seragam dinas melakukan perbuatan amoral di tempat kerja.
Ya Allah, kenapa aku harus menyaksikan ini?
Setelah peristiwa itu, Bu Ambar seringkali mengirimkan gambar kebersamaan mereka berdua dan juga saat pergi bersama di waktu libur panjang. Aku tidak pernah menanggapi.
Karena bagiku, setinggi apapun wanita dengan segala pangkat yang melekat, jika dia selingkuh dengan suami orang, ia tetaplah seorang wanita rendahan.
Sebuah peristiwa yang hanya aku yang mengetahui itu, ternyata menjadi sebuah awal dari penderitaan batin untuk anakku juga hinaan atas diriku yang hanya seorang guru honor.
***
Suatu hari, Media ku, anakku yang masih kelas dua pulang sambil terus murung. Dia tidak ceria seperti biasanya. Saat aku tanya, apa yang dilakukan di kelas selama sekolah? Ia enggan menjawab. Mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
Semakin hari, saat pulang sekolah, Media selalu murung.
“Kamu dinakali teman?” tanyaku.
Meida menggeleng.
“Nilainya jelek?” tanyaku lagi.
Ia menggeleng lagi.
“Terus kenapa? Jangan bikin Ibu bingung menerka-nerka dong, Kakak yang cantik,” godaku.
“Ibu, aku besok tidak sekolah saja, ya?” Meida izin, aku malah kaget. Selama ini ia tidak pernah mau bolos. Kulihat dia juga tidak sakit.
“Kamu sakit?” tanyaku memastikan.
“Aku tidak mau sekolah, Ibu. Aku ingin istirahat. Aku tidak sakit, tapi aku tidak mau berangkat.” Setelah berkata demikian, Meida menangis sambil memeluk lututnya. “Aku tidak mau sekolah, Ibu. Aku tidak mau berangkat,” katanya lagi sambil menangis kencang.
Aku jadi bingung. Selama ini, ia anak yang sangat terbuka. Suka menceritakan semua hal yang terjadi. Namun, mengapa kali ini ia seolah menutupi sesuatu hal?
Hari dimana Meida izin tidak mau berangkat, menjadi saat dimana anakku tidak berangkat sekolah tanpa alasan untuk yang pertama kalinya. Meski begitu, aku tetap meminta izin pada Bu Ambar, guru kelasnya melalui sebuah pesan.
Bu Ambar: Iya, Bu, gak papa silakan. Mau izin berapa hari tidak berangkatnya?
Pertanyaan yang aneh menurut aku. Mengapa tidak bertanya alasan anakku tidak berangkat? Kenapa malah bertanya berapa hari Meida mau izin sekolah.
Aku membalas pesan itu.
Aku: Ya sehari saja, Bu. Emang berapa hari ‘kan dia katanya cuma ingin istirahat.
Tidak ada lagi balasan dari Bu Ambar. Aku berangkat sekolah dan mengajar seperti biasanya dengan masih kepikiran tentang Meida.
Siang hari, saat merebahkan tubuh sambil ngelonin anak keduaku di kamar, tangan ini lincah melihat-lihat status media sosial. Jari jemari berhenti dan menahan layar ponsel saat melihat unggahan Bu Ambar. Suasana belajar di kelas dan foto selfie bersama teman-teman Meida.
Hari yang sangat bahagia tidak seperti kemarin-kemarin. Selfie bersama anak-anak kelas dua yang ada di foto, semuanya manis-manis dan tidak menjengkelkan. Bu Guru menyayangi semua anak yang ada dalam foto ini. Caption dari unggahan Bu Ambar.
Sedikit mengoreksi kalimat yang dibuatnya tentang semua murid, padahal ada Meida yang tidak berangkat. Entah mengapa ada rasa, kenapa baru sekarang mengunggah foto bersama murid-murid? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Di saat Meida tidak masuk sekolah.
Mungkin ini hanya kebetulan saja. Pikirku.
Beberapa menit kemudian, Bu Ambar mengunggah status kembali. Kali ini hanya kata-kata.
Anak yang menyenangkan tidak harus punya wajah cantik. Banyak anak cantik tapi menyebalkan. Gak enak banget kalau dipandang. Bawaannya kesal dan bikin mood rusak. Meskipun kita guru, boleh lah ya, terkadang ada rasa sebal atau benci terhadap salah satu murid?
Aku melirik Meida yang memangku boneka. Dia tersenyum dan mengajak mainannya berbicara--tidak lagi terlihat murung seperti kemarin.
Ada hubungannya kah dengan status pertama, status kedua Bu Ambar, serta ketidak berangkatan Meida?
Meida terlahir dengan wajah yang cukup cantik. Membawa gen dari keluarga suami. Wajah Meida berbeda jauh dengan aku yang berada dalam kategori cukup. Apa ada hubungan antara status Bu Ambar, kemurungan Meida dan alasan dia tidak masuk sekolah?
Segala spekulasi yang hadir dalam pikiran lenyap saat suamiku pulang dari bekerja. Suamiku seorang staf TU PNS di SMA yang ada di kecamatan.
“Anak Ayah …,” ucapnya sambil memeluk Meida.
Meida membalas pelukan ayahnya erat sekali.
“Bagaimana tadi di sekolah?” tanya Mas Rizal sambil berusaha mengurai pelukan.
Di sana aku melihat wajah Meida yang semula ceria dengan kepulangan ayahnya, berubah menjadi murung.
“Kok murung?” tanya Mas Rizal sambil mencubit pipi Meida gemas. “Dapat nilai berapa tadi di sekolah?” Mas Rizal lagi-lagi bertanya. Namun, Meida tetap diam dengan masih memperlihatkan wajah sendunya.
Mas Rizal memandangku yang kini duduk sambil memangku Nazmi, anak kedua kami. Melalui mata ini, dia kuberi kode untuk tidak bertanya lagi.
“Maaf, Ayah, Kakak tadi tidak sekolah,” aku Meida jujur sambil menunduk.
Mas Rizal mengernyit. “Lhoh, Kakak tidak sakit, ‘kan?”
“Iya, tapi Kakak ingin istirahat,” jawab Meida. “Kakak bosan sekolah terus,” lanjutnya lagi.
“Iya, Kakak boleh istirahat kok,” kataku berusaha mencairkan suasana karena aku melihat Meida sangat tertekan. “Ayah makan dulu, sudah Ibu siapkan di meja makan,” kataku kemudian.
Aku bangkit dan meminta Meida menjaga Nazmi yang masih berusia tiga tahun.
“Kenapa Meida tidak berangkat sekolah?” tanya Mas Rizal saat aku mengambilkan piring untuknya.
“Meida murung, Mas. Aku tidak mau menekan dia dengan banyak pertanyaan. Jadi, aku hanya bilang iya saja. Aku juga bingung dengan apa yang terjadi di sekolah,” jelasku.
“Coba kamu selidiki! Tanya sama gurunya atau sama teman akrab kamu yang ngajar di sana. Siapa namanya?”
“Feni,”
“Iya, tanya sama Feni.”
“Besok coba lihat Meida bagaimana sikapnya. Setelah itu, baru aku mau menyelidiki. Jangan-jangan, dia memang sedang malas sekolah ….”
Meida kembali ceria karena ayahnya mengajak bermain. Mas Rizal sosok yang heboh sekali kalau sudah bermain dengan anak-anak.
***
“Kakak sekolah ‘kan hari ini?” tanyaku saat melihat Meida sudah rapi. Mas Rizal seperti biasa, selalu berangkat jam setengah tujuh karena bertugas untuk membariskan anak-anak di pagi hari untuk kegiatan pembiasaan di sekolahnya.
“Iya, aku akan berangkat sekarang,” katanya gugup sambil menggendong tasnya.
“Sarapan dulu! Masih pagi,” kataku.
“Tidak, Ibu, aku harus berangkat sekarang. Nanti terlambat,” tolaknya.
“Lhah, masuk jam setengah delapan. Ini belum jam tujuh.” Aku mencegahnya karena memang jarak ke sekolah hanya lima menit dengan berjalan kaki.
“Tidak. Aku mau berangkat sekarang Ibu ….” Meida menangis.
Aku jadi bingung dengan perubahan sikapnya.
“Baik, Ibu akan memberi kamu bekal. Nanti dimakan di sana, ya?”
“Nanti aku terlambat, Ibu. Aku tidak mau lagi terlambat,” kata Meida sesenggukan sambil memakai sepatunya. Aku terus mengikuti anak itu.
“Sebentar saja Ibu mau ambil nasi.” Aku terus memaksa.
Meida berlari pergi sambil menangis.
Apa yang sebenarnya terjadi pada dia? Rasa penasaran dan khawatir terus melanda hati ini. Akan tetapi, hendak menyusul, hari sudah siang dan badan ini belum mempersiapkan hendak berangkat sekolah. Juga mengantar Nazmi ke rumah Ibu.
ekar tak mau kalah, ia menatap tajam wanita yang ada di hadapannya. “Sekarang aku istri sah Mas Catur dan ibu dari Gendis. Mbak Ambar mau menggoda Mas Catur? Aku punya Ibu yang akan membela.”“Ibu mertua maksudnya?” Ambar tersenyum sinis. “Dia sedang terbaring lemah tidak berdaya, Sekar. Bisa apa coba?” Ia berlalu lebih dulu dan menuju kamar rawat pasien.Sekar berusaha mengejar, tetapi sadar berada di ruangan yang tidak boleh membuat gaduh, ia memelankan langkah memilih mengalah.“Mas, Ibu kenapa?” Ambar berkata lirih pada Catur yang duduk di samping bed pasien. Ia memasang wajah sedih dan mata yang berair.“Ambar, dari mana kamu tahu kalau Ibu sakit?” Catur kaget dan balik bertanya.“Aku gak sengaja lewat warung kamu, Mas. Tadinya ingin bertemu dengan Gendis, sudah lama aku tidak melihat dia, Mas. Tapi karyawan kamu bilang kalau Ibu sedang kritis di rumah sakit. Aku turut prihatin, Mas. Semoga Ibu cepat sembuh ya, Mas,” kata Ambar sambil mengusap pundak Catur.Sekar terbakar cemburu
SEASON 3 PART 2“Iya, Sela sudah kembali lagi hidup dengan Indah dan anak-anaknya. Aku mohon, Ambar, jangan hancurkan kehidupan Sela untuk yang kedua kalinya.”Ambar tak bergeming, menatap wanita yang duduk di hadapannya. “Enak sekali ya, Bu, jadi Mas Sela. Hidupku hancur, dan dia masih kembali bersama keluarganya,” desisnya.“Tidak ada yang enak. Sela juga kehilangan pekerjaannya. Indah juga tidak sebahagia yang kamu kira. Dia harus menerima Sela yang mantan narapidana dan pengangguran.”“Ok, Bu. hari ini cukup. Kalau Mas Sela datang, tolong sampaikan jika anak yang kukandung dulu kini sudah besar dan mencari ayahnya.” Ambar meninggalkan ruang tamu orang tua Sela. “Zafin, ayo pulang,” ucapnya saat sudah di halaman rumah.“Bunda, kita gak jadi ketemu sama Ayah?”“Zafin, ayo kita ketemu Ayah sebentar saja.” Tiba-tiba ibu Sela keluar.“Apa maksudnya, Bu?” tanya Ambar.“Aku akan mengajak Zafin ketemu Sela, tetapi dengan syarat kamu tidak boleh ikut. kamu tunggu di sini saja.”Ambar berpi
Dengan bantuan saudara jauh Ambar, akhirnya dia melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki. Ia menjalani hari-hari yang sangat sulit. Berbulan-bulan melewati hidup hanya berdua dengan anak laki-laki yang diberi nama Zafin tanpa ada kabar dari Sela yang masih mendekam di penjara.Bulan telah berganti tahun, anak Ambar semakin beranjak besar dan mulai bisa berbicara. Ambar tidak berani lagi mendatangi Catur karena mantan ibu mertuanya itu terlihat memusuhi. Yang ia tahu, Catur juga sudah hidup bahagia bersama Sekar yang telah dikaruniai anak juga.Suatu ketika, saat Zafin berusia empat tahun ....“Bunda, sebenarnya siapa sih ayahnya Zafin?”“Bunda belum bisa memberitahu siapa ayah Zafin. Tapi suatu hari nanti, kita akan bertemu dengan Ayah,” jawab Ambar sambil mengusap kepala Zafin.“Aku ingin punya ayah, Bunda. Aku malu di sekolah selalu ditanya ayahku siapa. Kata teman-teman aku anak yang tidak punya ayah. Aku cuma punya Bunda saja.”“Iya, kita akan menemui Ayah. Bunda ak
RIVALSEASON 3Hai! Jumpa kembali dengan cerita ini. Maaf, sebenarnya sudah tamat, tetapi kenapa banyak komentar minta lanjut? Ok, saya lanjutkan ya. Saya menghilang lama dari dunia menulis karena banyak hal yang harus diurus di kehidupan nyata.Ok,terakhir ekstra part ketika Sekar sudah punya anak dengan Catur berusia dua tahun ya. Sekarang kita mundur ke alurnya Ambar karena banyak yang penasaran dengan kisah Ambar.Bismillahirrahmanirrahim ....Season 3 Part 1“Selamat menghirup udara bebas, Mbak Ambar. Semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang. Semoga bisa berkumpul dan bahagia bersama keluarga,” ucap seorang sipir sambil membuka pintu besi yang menghubungkan dengan dunia luar dari gedung lapas.“Terima kasih,” jawab Ambar sambil tersenyum.Kaki wanita itu melangkah dari pembatas pintu. Ia segera menghirup udara sebanyak-banyaknya merasakan kebebasan dari gedung yang mengurung selama beberapa bulan.Dengan langkah pelan ia berjalan membawa tas jinjing yang berisi p
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments