Bagas, sejak SMP sudah sekolah di luar negeri dan terus di sana hingga kuliah. Kini dia kembali ke Indonesia untuk magang di perusahaan rokok terbesar, Djerami. Menariknya, Bagas seperti kenal betul dengan perusahaan itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
View MoreJakarta, April 2018
Hari Senin, aktivitas di kantor Djerami super sibuk seperti biasa, khususnya tim sales. Kedatangan tiga anak magang pagi itu sedikit mengganggu alur kerja tim.
“Oke, kalian bertiga anak magang itu ya. Bagus gak ada yang telat, ikut gue sekarang,” kata seorang pegawai muda.
Keempatnya berbaris memasuki ruangan besar dengan bilik kerja berbaris. Setiap pegawai tampak sibuk, entah dengan telepon atau terpaku menatap layar. Mereka memasuki satu ruangan kecil berkaca di sudut.
“Yuk masuk. Ini ruangan khusus anak magang. Itu ada dua senior kalian, sebelumnya lima, yang tiga udah lulus. Nah ketambahan kalian jadi lima lagi. Kenalin, gue Ardi, yang ngurus kalian,” katanya.
Belum sempat salah satu dari tiga anak magang itu bicara, Ardi sudah buka suara lagi.
“Gue lagi sibuk banget, biasa hari Senin. Yuk perkenalan satu-satu, setelah itu biar diurus Doni sama Ajeng,” ujarnya menunjuk dua anak magang senior.
“Perkenalkan nama saya Edwin,” jawab yang pertama.
“Saya Silvi.”
“Kenalkan saya Bagas.”
Ardi langsung menyela. “Oke bagus, gue tinggal ya. Don, Jeng, tolongin ya. Ajarin kerjaan dasar aja dulu. Thanks.”
Ruangan kecil itu hening sejenak. Tiga anak magang baru berdiri kikuk.
“Hai, hari Senin biasanya kita lebih banyak di depan komputer. Kenalin gue Doni, yuk duduk dulu.”
Doni menunjuk tiga slot kursi kosong. Posisi berhadapan dalam satu meja panjang, satu sisi dengan tiga kursi, sisi lainnya dengan dua kursi. Dua laptop terbuka menyala.
“Santai aja yak, bentar gue minta dibikinin email kantor buat kalian. Duduk dulu aja, buka laptop masing-masing ya.”
“Oke kak.”
“Makasih Kak,” kata Silvi.
“Biasanya emang diurus Kak Ardi, cuma kalau Senin gini emang lagi sibuk banget. Jadi hari ini kalian adaptasi dulu aja,” ujar Ajeng.
Bagas mengeluarkan MacBook Pro seri terbaru. Masih dibungkus rapi, jelas baru dibeli dan belum digunakan.
“Wah baru nih, keren laptop lo,” kata Edwin.
“Eh iya, gak tau nih gue baru dibeliin, buat magang,” jawab Bagas.
“Wah gila ini seri yang paling tinggi, 30 jutaan nih.”
“Gak tau, emang 30 juta mahal ya?”
Edwin tampak bingung harus menjawab apa. Bagas lanjut menyiapkan laptop. Jika diamati, penampakan bagas tidak seperti anak magang biasa. Setelan yang melekat di tubuhnya tampak mahal.
30 menit berlalu, ketiganya sudah duduk di depan laptop masing-masing. Silvi dan Edwin sudah lebih akrab. Bagas akhirnya bicara.
“Anu, ini kita disuruh ngapain?” tanya Bagas.
“Bentar ya, hari ini kita belajar step-step aja. Jadi biasanya kita input laporan di Excel, kadang juga turun ke lapangan ikut tim sales,” kata Doni.
“Nanti kita dipencar, kan ada banyak tim di sini. Biasanya kita dikasih tugas yang gampang aja, pokoknya cukup buat data bikin laporan,” Ajeng menimpali.
“Tapi ya jangan berharap banyak, namanya anak magang. Jangan kaget kalau disuruh bikin teh atau kopi,” Doni tertawa.
“Eh masa gitu kak?” kata Silvi.
“Ya udah biasa lah, kan kita nanti dilepas ke tim,” jawab Ajeng. “Nah setiap tim beda-beda, kalau leadernya oke ya kita bisa diajak ke lapangan, kalau lagi apes ya kalian cuma disuruh fotokopi dan bikin teh.”
“Intinya kalau udah dapat data ya udah, yang penting kan buat laporan di kampus kalian,” timpal Doni.
Ketiga anak magang baru tampak bingung, tidak banyak bicara. Tak terasa, jam makan siang datang. Mereka tak beranjak, makan di meja masing-masing.
“Lo gak makan?” tanya Edwin.
“Gak bawa bekal gue, gak siap.” kata Bagas. “Beli bisa gak ya, delivery gitu.”
“Bisa aja kok, lu telpon aja. Masih ada waktu nih 45 menit.”
Sekitar 15 menit kemudian, ada kehebohan di halaman depan kantor. 5 pria dewasa dengan seragam salah satu restoran termahal di Jakarta. Peralatan masak lengkap dibawa berbondong-bondong.
Ada 3 kompor disiapkan, api langsung menyala, wajan besar dipanaskan. Kelima orang tersebut langsung sibuk menyiapkan bahan dan memotong-motong.
Dari barisan belakang, datang seorang lagi dengan topi chef tinggi, pemimpin tim tersebut. “Atas nama bagas, ada yang pesan makan siang?”
Kedatangan chef dan dapur dadakan itu jelas membuat heboh. Seisi kantor bingung mencari nama Bagas, tidak ada direktur bernama Bagas, tidak ada manajer bernama Bagas.
Saat separuh kantor berkumpul di halaman parkir, Bagas si anak magang baru berjalan keluar.
“Delivery ya. Chef, jam istirahat tinggal 30 menit. Bisa cepat? Aku nanti dimarah Mas Ardi.”
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments