"Bagiku sudah jelas, seorang terdakwa yang bersalah di mata hukum harus mendapat pengadilan yang sepantasnya. Sekalipun ia seorang penguasa tak tersentuh," jawab Jaksa Emily Carter.Mendengar jawaban Emily yang tegas, Letnan Benjamin pun bertepuk tangan dengan rasa salut terhadap pandangan idealis jaksa wanita itu. Dia lalu berpesan, "Aku hanya bisa menjanjikan kau akan mendapat dukungan loyalitas dariku dan Sersan Rodney. Meskipun di dalam institusiku ada banyak hama dan polisi kotor yang kehilangan nuraninya akan rasa keadilan. Sepertinya kau perlu menjerat Kapten Ryan Falderson juga bila memungkinkan, Em. Dia yang membocorkan data saksi dan membahayakan nyawa mereka.""Pengadilan institusi kepolisian dengan sidang kode etik mungkin dapat menyelesaikannya, Letnan Benjamin. Kalau Anda butuh rujukan, saya bisa memberikan ke kolega yang tepat," jawab Emily sebelum kedua petugas polisi itu berpamitan dengannya untuk melakukan interogasi terhadap Henry Crawford di markas kepolisian Chica
"Untuk apakah toleransi yang Anda maksudkan, Tuan Gordon Crawford? Saya rasa Henry sedang menjalani interogasi di markas kepolisian Chicago. Bukan saya yang menanyakan kepada dia mengenai keterkaitannya atau alibinya saat kasus-kasus pembunuhan yang akhir-akhir ini terjadi di tengah kota. Letnan Roosevelt dan Sersan Bradford yang berwenang dalam hal ini," jawab Emily mencari posisi netral untuk keamanan papanya.Derai tawa senator itu terdengar keras dari ponsel Emily hingga wanita itu menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Emily, semua data akan masuk kepadamu pada akhirnya, bukan? Termasuk rekaman saksi serta interogasi Henry. Aku butuh kepastian keamanan untuk puteraku," desak Senator Gordon Crawford.Ini tak baik, pikir Emily yang mulai berjalan mondar mandir di ruangannya. Nyawa papanya atau dia harus menggagalkan kasus Crawford. Dia pun berkata, "Saya akan memastikan semua barang bukti aman di tempat penyimpanannya. Seandainya Anda sudah selesai berbincang dengan papa saya, tol
Pesan yang dikirimkan oleh Murat kepada Letnan Benjamin dan Sersan Rodney mendapat balasan usai proses interogasi Henry Crawford selesai. Memang pria busuk itu menolak bicara lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan penyidik usai ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kini mereka akan memiliki banyak bukti untuk menjerat Henry dan menjebloskannya ke penjara.Murat membaca pesan balasan dari Sersan Rodney lalu ia mengirim pesan baru yang memberitahu bahwa ayah jaksa Emily diculik oleh Senator Gordon Crawford. Sudah berjam-jam wanita itu terlelap di pangkuannya, Murat berpikir mungkin Emily lelah secara fisik dan mental. Tadi pagi ia menjemput Emily di apartment pria Perancis itu, Mr. Dabusche. Sepertinya mereka berdua menjalani malam panas berdua.Akhirnya setelah tidur cukup lama, Emily terbangun dan membuka matanya. Ia menyadari sedang berada di pangkuan asisten jaksanya. Pria Turki itu baik sekali dan sopan, tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar terhadapnya saat dirinya kelelahan da
"Apa yang kalian inginkan?!" seru Emily kepada kedua ajudan barunya yang menodongkan moncong pistol mereka ke arahnya.Seringai jelek di wajah Julian Ramos seolah mengejek Emily yang nyawanya bak di ujung tanduk. Dia tertawa pongah lalu menjawab, "Kami hanya ingin menyelesaikan tugas yang diperintahkan oleh bos kami saja ... melenyapkan nyawa Jaksa Emily Carter." Dia memain-mainkan moncong pistol di tangan kanannya itu di depan wajah Emily.Martin Lockheart, rekannya sedikit bimbang berkata, "Apa kau yakin akan menembak wanita ini, Julian?" Tangannya yang memegang pistol jenis revolver bergetar hebat, dia sangat gugup."Ya, itu tugas kita, Martin!" sahut Julian yang sepertinya lebih berpengalaman menghilangkan nyawa orang. Namun, Murat berpikir cepat karena kedua pria tolol itu sangat berbahaya. Dia pun menarik pistol Desert Eagle miliknya dari balik punggungnya lalu dengan secepat kilat menembak perut kedua ajudan baru itu."DORRRR! DORRRR!" Dua tembakan yang terlepas beruntun dan j
Murat membiarkan Emily mandi terlebih dahulu dan dia menyeduh teh di dapur. Sedikit jengah karena ia tidak terbiasa tinggal bersama seorang wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Namun, dia berpikir semua yang dia lakukan demi keamanan jiwa Emily tanpa tujuan lainnya.Emily baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian rumahan, sebuah kaos Tshirt dengan celana pendek setengah paha. Santai dan tidak tampak resmi sama sekali. Dia menghanduki rambut coklat panjangnya yang basah seraya melayangkan pandangannya ke arah Murat yang sedang mengaduk gula dalam cangkir teh yang mengepulkan uap panas di meja pantry."Aku sudah selesai mandi, Murat. Kau bisa mandi, sepertinya kita harus membatalkan rencana kencan makan malam di luar rumah tadi karena bahaya mengintai di sekelilingku," ujar Emily sembari menjemur handuk setengah basah yang baru saja ia pakai di rak jemuran handuk di depan pintu kamar mandi.Murat membawakan cangkir teh untuk Emily ke tempat wanita itu duduk di depan
Ketika Rayden selesai mandi dan mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk berukuran sedang, dia mendengar berita dari layar TV nya di ruang tengah mengenai pengeboman mobil Jaksa Emily Rosalyn Carter serta pencobaan penembakan oleh dua ajudan barunya. Dengan segera ia berlari ke depan layar TV nya dengan panik."Shit! Bagaimana bisa sekacau ini? Dimana Emily sekarang?!" rutuk Rayden dengan perasaan kacau balau. Dia berharap wanita itu baik-baik saja dimana pun ia berada saat ini.Dengan langkah lebar pria Perancis itu menuju ke walk-in-closet miliknya lalu mencari pakaian bersih untuk dikenakan. Kemudian ia mencari ponselnya karena ia harus menghubungi Emily, menanyakan keadaannya, dan juga Rayden merindukannya seharian ini setelah wanita itu meninggalkan penthouse pagi tadi.Panggilan teleponnya diabaikan oleh Emily dan dia pun merasa gusar. "Damn! Wanita itu memang keras kepala seperti keledai. Bisa-bisanya dia mengabaikan panggilan teleponku?!" Rayden merajuk d
Lutut Emily terasa lunak seperti jely hingga ia terpaksa harus bergelanyut di leher Rayden, sedangkan ciuman panas itu tak kunjung usai hingga ia bernapas tersengal-sengal. Dalam hatinya ia merutuki bagaimana tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan pria Perancis itu. Kenapa selalu saja begitu lemah di hadapannya? pikir Emily berkabut gairah nyata."Baby, katakan kenapa pergi menghilang tanpa memberiku kabar sama sekali? Dan ... kau tinggal dengan asistenmu, pria Turki itu. Selain pandai membela keadilan, kau pandai memancing emosiku. Hmm!" tegur Rayden dengan nada yang cendurung datar, tetapi artinya keras. Dia sesungguhnya sedang marah ... sangat marah, terbakar api cemburu.Emily tertawa satir, dia memijat pelipisnya dengan jemari tangan kanannya dan tangan kirinya bersedekap. "Segala yang terjadi sejak pagi sudah membuat kepalaku begitu pening. Aku tak butuh tambahan seorang pria Perancis yang mendatangiku sambil mencak-mencak meminta sebuah perlakuan istimewa dariku. Selamat malam, Tu
Melewati malam bersama pria Perancis yang terobsesi kepadanya bagi seorang Emily Carter tidaklah buruk. Hanya saja ia tidak suka menghabiskan malam seranjang bersama pria yang bukan suaminya. Biasanya pria yang menjadi partner ranjangnya selalu pulang sehabis menjalani aktivitas panas bersamanya.Rayden membuat ikatan dengannya dan Emily tidak menyukai ide itu. Merasa dimiliki secara privat oleh seorang pria bukan gayanya dan belakangan pun kencannya dengan Max Levine disabotase hingga ia sangat merasa bersalah sekaligus malu kepada atlet MMA pro itu."Kau sudah bangun sebelum fajar pagi merekah, Sayang?" sapa Rayden yang tidur miring berhadapan dengan wajah Emily.Emily tersenyum tipis lalu menjawab, "Setidaknya ketika aktivitas malam yang kujalani tidak terlalu ekstrim, aku bisa bangun pagi, Tuan Dabusche."Lengan pria Perancis itu menarik punggung Emily mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan begitu lekat. "Berarti kita bisa melakukan aktivitas pagi yang bersemangat, Emily. Perlu