Ketika Emily dan Murat keluar dari lift unit apartement milik pria Turki itu, langkah mereka terhenti. Sesosok pria bertubuh tinggi tegap dalam setelan jas necis berdiri menyandar pada dinding samping pintu unit itu."Hari yang kacau, Emily?" ucapnya sembari tersenyum miring menatap wanita di hadapannya.Helaan napas lelah meluncur dari bibir Emily. "Aku tak ingin memperburuk hariku yang kau tahu ... sudah buruk, dengan menutupnya bersamamu, Rayden," jawabnya.Tangan Rayden terulur untuk menangkap pergelangan tangan Emily. Namun, sayangnya tangan ramping itu tidak tertangkap olehnya. Wanita itu bergerak dengan gesit. Dia berlindung di balik tubuh Murat. "Kemarilah—" Rayden memicingkan matanya dengan aura berbahaya melirik wajah Emily yang setengah tersembunyi di balik bahu pria Turki itu. Dia pun terkekeh sembari bertolak pinggang. "Kenapa malah bertingkah kekanakan begini, Emily? Ayo ikutlah ke atas bersamaku! Aku punya selusin pengawal profesional bila kau ingin rasa aman dari anc
Melewati sebuah malam bersama Murat yang terasa begitu romantis bagi Emily. Dia memang hanya berbincang dengan Murat, tetapi dari perbincangan yang terkesan personal itu Emily dapat mengenal lebih dalam seperti apa kepribadian pria Turki itu. Ketika malam semakin larut Emily tertidur bersandar di sofa usai mendengarkan cerita Murat mengenai masa kecilnya di Istanbul. Pria itu mengakhiri kisahnya yang bagaikan dongeng 1001 malam. Ia menggendong tubuh ramping Emily untuk memindahkannya ke ranjang miliknya agar wanita itu tidak kaku badannya bila salah posisi tidur.Sebuah selimut ditutupkan ke atas tubuh Emily, dia hanya mengecup puncak kepala wanita itu tanpa melakukan hal yang berlebihan lalu kembali ke sofa untuk tidur di sana. Selepas tengah malam Emily terbangun dan menyadari bahwa dia telah berpindah tempat dari sofa ke ranjang. Dengan refleks ia membalik badannya ke sisi lain ranjang yang kosong. Dia terduduk lalu mengedarkan pandangannya mencari dimana sosok Murat yang ternyat
Masih dengan posisi di atas tubuh polos Emily, sang pangeran tak dikenal itu berkata, "Aku ingin hubungan yang serius dan exclusive denganmu, Emily. Ketahuilah bahwa di dalam darahku mengalir darah kesultanan Turki, jadi wanita pilihanku tidak boleh sembarangan.""Ehh ... tunggu, apa maksudmu kau ini seorang pangeran?" tanya Emily memastikan makna tersirat dari ucapan Murat barusan.Tangan Murat membelai pipi halus Emily, ia merasakan banyak emosi berkecamuk dalam dirinya. Banyak hal yang sensitif berkaitan dengan pasangan hidup seorang pangeran seperti dirinya terlebih Murat adalah satu-satunya keturunan ayahnya yang tersisa. Setelah kakeknya berhenti mengurusi kesultanan maka dialah yang memiliki kewajiban meneruskan kekuasaan. Pergi ke Amerika adalah salah satu wujud pelariannya dari tanggung jawab yang berat itu. Namun, Murat juga tak ingin bila kekuasaan kesultanan jatuh ke tangan paman atau sepupunya. Suatu hari bila dia telah mengalahkan trauma kejiwaannya, dia harus pulang ke
"SYUUUUU .... SYUUUUU .... DORRRR! DORRR! DORRR!" Suara peluru melesat menembus udara dengan cepat terdengar diiringi bunyi ledakan mesiu membentur benda padat beberapa kali. Arah sumber tembakan itu dari atap gedung yang ada di seberang balai kota. Moncong senapan laras panjang itu tampak membidik ke arah pintu masuk gedung pemerintah yang megah di jantung kota Chicago. Teriakan histeris para pejalan kaki dan warga sipil terdengar membuat kacau suasana di depan gedung balai kota.Sedangkan, Emily yang menjadi sasaran tembak sebenarnya merundukkan kepalanya seraya berlari dilindungi oleh Murat di belakangnya masuk menuju ke dalam gedung balai kota."Apa kamu baik-baik saja, Emily?" tanya Murat memastikan kondisi Emily sembari berjongkok bersama Emily di balik dinding gedung balai kota Chicago.Jantung Emily berdegup kencang tak beraturan, ia merasakan peluh membanjiri tubuhnya karena efek kecemasan yang memuncak dalam dirinya. "Kabar baiknya aku masih bernapas dan utuh, Murat. Rasany
Ketika Sersan Rodney Bradford sampai ke markas kepolisian Chicago, ia dibuat kesal dengan berita melenggang bebasnya Senator Gordon Crawford bersama puteranya, Henry Crawford dari penjara karena jaminan uang dari pengacara kelas kakap yang ia sewa."BRAAKK!" Suara gebrakan tangan di meja itu terdengar nyaring sebelum rentetan sumpah serapah pria itu di hadapan Letnan Benjamin Roosevelt yang duduk santai di kursi kerjanya mengisap sebatang rokok filter."Sialan! Seandainya kau ikut ke balai kota tadi saat penembakan terjadi, Letnan. Situasinya sangat mencekam. Hingga kini aku masih saja menguatirkan Jaksa Emily Carter. Pria busuk itu tak punya hati sama sekali, dia sungguh-sungguh menyuruh sniper menembak Emily, hingga 3 tembakan!" ujar Sersan Rodney kesal sembari mondar-mandir menyugar rambutnya.Rekannya pun berkata, "Aku pun tadi mengamuk di kantor, tapi memang seperti itu bila kasus menyangkut orang kuat secara posisi dan finansial, Rod. Kita harus mengawal Emily dengan lebih ketat
"Apa maksudmu dengan mengatakan Emily adalah wanitamu, Pria Turki?" tuntut Rayden dengan nada keras menekan telunjuknya ke dada Murat yang bidang.Namun, Murat tak gentar sedikit pun menunjukkan posisinya sebagai kekasih baru Emily. Dia menatap lurus-lurus saat menjawab Rayden, "Semalam kami melakukan pembicaraan serius mengenai hubungan istimewa kami ke depannya dan Emily setuju untuk menjalin sebuah ikatan eksklusif denganku.""Ada yang dia katakan benar, Emily?" tanya Rayden gusar menoleh ke arah jaksa wanita itu.Emily mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Rayden lalu berkata, "Benar. Murat adalah pria yang kupilih untuk mendampingiku."Dengan bertolak pinggang pria Perancis itu berseru dengan nada satir, "Ohh ... pendamping? Hahaha. Hebat sekali Jaksa Emily Rosalyn Carter. Kupikir hanya ada sebuah profesi wanita pendamping, seperti yang bisa ditemukan di night club. Kau menjadikan seorang pria sebagai pendamping. Nah ... aku bisa menjadikanmu sebagai istriku kalau begitu!" "Maaf
Sesuai janjinya kepada Emily, pagi itu Murat mengantarkan wanita kesayangannya membeli bunga tabur dan juga karangan bunga indah untuk menyekar ke pekuburan mendiang mamanya. Gerbera merah muda, Mawar putih, dan Anggrek ungu dirangkai menjadi sebuah buket bunga yang cantik sesuai pesanan Emily. Seusai membayar harga bunga segar yang ia beli, Emily naik kembali ke mobil CRV bersama Murat. Wanita muda itu memangku buket bunga segar itu selama perjalanan menuju ke Rosehill Cemetery. "Apa kunjungan ini rutin kau lakukan setiap bulan, Emily?" tanya Murat penasaran karena dia baru sekali ini mengantarkannya.Mobil yang berisi pengawal dari kepolisian masih mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Murat di belakang persis CRV putih itu. Murat melihatnya dari kaca spion tengah dan merasa tenang. Emily pun menjawab, "Iya. Memang aku selalu menyempatkan waktu sebulan sekali untuk mengunjungi makam mamaku agar beliau merasa aku tidak melupakannya. Mungkin terdengar sentimentil, tetapi semasa bel
"Halo, Sersan Rodney. Tolong kejar Emily sekarang, aku tertembak di Rosehill Cemetery. Dia dibawa anak buah Senator Crawford! GPS ponselnya menuju ke barat luar kota Chicago," ujar Murat dengan cepat. Sersan Rodney segera menyambar kunci mobil dinas dan meminta Letnan Benjamin mengikutinya keluar menuju parkiran mobil markas kepolisian Chicago. "Kami segera meluncur, kau pandu kami harus ke mana, oke?" serunya lalu tancap gas menuju ke arah barat luar kota Chicago.Pria Turki itu tidak memedulikan darah yang mengucur dari bagian perutnya yang tertembak. Sakit memang, tetapi kekuatirannya jauh lebih besar atas kondisi Emily. Rasanya hatinya seolah teremas-remas karena kekuatirannya yang tak terkendali saat ini.Dengan panik ia menekan gas mobil CRV miliknya dalam-dalam dan berpacu mengikuti GPS yang terpasang di ponsel Emily yang untungnya tidak diketahui oleh gerombolan penculik itu tadi. Murat mengirim share location GPS terkini posisi Emily ke nomor Sersan Rodney.Petugas kepolisia