Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal.
"Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku. "Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban. "Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini. "Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis. "Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil. "Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?" "Aku bilang nggak ada cowok!" balasku cepat, tapi kali ini aku berhasil menjambak rambutnya. Dia berteriak histeris, membuatku tertawa puas. Kami bercanda di koridor, sejenak melupakan hari buruk yang baru saja kulalui. Tiba-tiba, benda keras menghantam kepalaku. "Aw, sakit!" Aku menoleh, mendapati Rakha yang memukulku dengan buku tebal. "Ayo latihan," ucapnya tanpa ekspresi, seolah memukul kepalaku adalah hal yang biasa. "Jangan memukul kepalaku!" ucapku kesal pada Rakha sambil mengusap bagian yang tadi dia hajar dengan buku. Rakha hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi. "Mungkin dengan dipukul otakmu yang beku itu bisa bekerja." Aku menatapnya tak percaya. "Maksudmu otakku beku?" Dia mengangguk dengan santai. "Iya, kayak komputer yang nge-hang. Butuh restart. Pukul sedikit, siapa tahu jalan lagi." Seira yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Aduh, Rakha, kamu parah banget! Kasian Alya." Aku menatap cemberut pada Seira. "Kamu bilang kasihan, tapi kamu yang paling keras ketawanya!" Seira masih terkikik sambil berusaha meredam tawa. "Sorry, sorry... tapi serius, ekspresimu lucu banget!" Aku mendengus kesal, meski sebenarnya ini hanya kesal biasa; aku sudah terbiasa dengan ledekan mereka yang seakan tak pernah habisnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku melangkah cepat menuju ruang latihan musik, membiarkan langkahku menggema di koridor. Seira dan Rakha mengikutiku dari belakang, suaranya bercanda dan tertawa, seolah tidak ingin ketinggalan momen. “Eh, Alya! Tunggu!” seru Seira, suaranya ceria dan penuh semangat. Rasa kesal itu semakin menyusut saat aku melirik ke belakang dan melihat ekspresi penuh tawa mereka. Momen itu mengingatkanku betapa berartinya persahabatan kami. Sesampainya di ruang musik, aku mengambil gitar, jari-jariku langsung menyentuh senar, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan jengkel yang masih menyisa. "Jangan langsung anggap serius, ya!" Rakha menimpali sambil mengelus kepalaku, dan entah kenapa, sentuhan itu membuat kehangatan menjalar di hatiku. Seolah dalam sekejap, semua emosi negatif perlahan menghilang. Momen kecil seperti itu seringkali membuat kita merasa lebih baik, kan? Ini mengingatkan bahwa, meski ada perdebatan kecil, ikatan persahabatan yang kita miliki lebih kuat dari apapun. "Oke, oke, kita latih lagu baru, ya?" kataku sambil memainkan gitar, mengalihkan fokus sepenuhnya ke musik. Nada-nada yang keluar terasa menenangkan, dan aku merasa lebih baik seiring berjalannya waktu. Tak lama kemudian, Dino datang dengan semangatnya yang khas. "Hei, apa kabar? Siap untuk membuat keributan di sini?" tanyanya, sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan. "Selalu siap!" jawab Seira dengan antusias. Dengan semangat, kami semua mulai memainkan alat musik masing-masing. Suara gitar, bass, dan drum menyatu, menciptakan harmoni yang penuh energi. Setiap nada yang kami hasilkan membawa perasaan ceria dan keceriaan ke dalam ruangan, seolah menghapus semua kesal yang sempat ada sebelumnya. --- Malam hari, suasana di ruang makan terasa hangat dan akrab, aroma masakan ibu memenuhi ruangan, menciptakan nuansa nyaman di antara kami. Sambil menyantap hidangan, ibu tiba-tiba menatapku dengan senyuman yang penuh arti. "Alya, tante Mery sudah memilihkan gaun pernikahan untukmu. Sangat cantik.", ujarnya, matanya berbinar penuh antusiasme. Dengan lembut, ibu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ketika gambar gaun putih dengan manik-manik yang indah muncul di layar, jantungku berdebar. Gaun itu terbuat dari satin halus, memancarkan kilau lembut saat cahaya menyentuhnya. Desainnya anggun, dengan detail manik-manik yang berkilau seperti bintang di malam hari, dan potongan yang sangat elegan. "Wow!" gumamku, tak bisa menahan diri untuk mengagumi keindahan gaun itu. "Itu memang cantik, Bu. Tapi… aku belum siap untuk pernikahan.", ucapku, mencoba membujuk ibu lagi. Ibu menatapku dengan penuh pengertian, dan aku bisa merasakan kehangatan dalam pandangannya. "Ibu mengerti, sayang. Tapi ini adalah langkah menuju masa depan yang indah. Masa depanmu akan terjamin bersama mereka.", katanya lembut, berusaha meyakinkanku dengan keyakinan yang mendalam. "Ibu tidak ingin kamu dikejar-kejar renternir karena hutang-hutang ayahmu.", Ibu menatapku serius. Inilah sisi gelap yang tak orang ketahui tentang keluargaku. Ayahku meninggalkan banyak hutang yang menumpuk, beban berat yang terasa seperti bayangan gelap mengintai kami setiap saat. Ibuku, dengan kerja kerasnya, berjuang untuk membayarinya, berusaha sekuat tenaga demi menjaga agar kami tetap bertahan. Namun, tekanan itu semakin menguat, dan rumah ini tempat di mana kenangan-kenangan indah terukir, sebentar lagi akan diambil oleh pihak bank. Aku merasakan hatiku tertekan oleh kenyataan pahit itu. Betapa pun aku ingin mengejar mimpiku, aku juga merasakan tanggung jawab besar untuk membantu ibu dan meringankan beban yang kami pikul. "Baiklah.", ujarku, suara yang kuucapkan terasa berat namun tegas. Satu kata itu seolah menjadi keputusan yang mengubah segalanya. Dalam hatiku, aku tahu ini adalah langkah yang harus diambil, meski dengan perasaan campur aduk yang melanda. Menjadi bagian dari pernikahan ini bukan hanya tentang diriku, tetapi juga tentang keluargaku—tentang harapan yang terpendam, dan tentang memberi sedikit ketenangan bagi ibu dan kakek Robert. "Bagus, sayang. Ibu tahu kamu bisa.", kata ibu, senyumnya mengembang seolah beban di bahunya sedikit terangkat. Namun, meski aku mencoba memberikan senyuman balasan, di dalam diriku ada rasa kosong yang tak bisa sepenuhnya hilang. Keesokan harinya, saat aku mempersiapkan diri untuk pernikahan yang akan datang, aku merasa seperti berada di antara dua dunia, satu di mana impianku menanti untuk digenggam dan satu lagi di mana tanggung jawab membayangi setiap langkahku. Setiap persiapan yang kulakukan terasa seperti mengukir jalan yang sama sekali berbeda dari yang pernah aku bayangkan. Aku berusaha keras untuk tidak membiarkan keraguan menguasai pikiranku. Aku ingin percaya bahwa ini adalah langkah yang benar, bahwa kebahagiaan akan datang seiring dengan keputusan ini. Meskipun dalam hati, suara kecil itu terus berbisik, mempertanyakan apakah aku benar-benar siap menghadapi apa pun yang akan datang setelah hari pernikahan. Aku berdiri di depan cermin di kamar hotel, menatap diriku yang dibalut gaun pengantin yang indah. Setiap detail gaun itu mencerminkan keanggunan, mulai dari manik-manik yang berkilauan hingga jahitan yang rapi. Namun, meski penampilan luarku terlihat sempurna, hatiku bergejolak dengan seribu emosi yang berbeda. Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh dua keluarga, sebuah momen yang diharapkan menjadi puncak kebahagiaan. Di luar sana, suara riuh dari kerumunan tamu sudah mulai terdengar, menciptakan atmosfer penuh harapan dan antusiasme. Aku bisa merasakan getaran itu, namun entah kenapa, sebuah rasa cemas menggelayuti pikiranku. "Apakah aku benar-benar siap?" tanyaku pada refleksi diriku sendiri, mencoba mencari jawaban dalam tatapanku. Di balik senyuman yang kulihat, ada keraguan yang tak bisa diabaikan. Aku tahu semua orang mengharapkan kebahagiaan ini, namun apakah aku bisa menemukan kebahagiaan di dalamnya? Kedua tanganku bergetar lembut saat aku mengambil ponsel. Satu pesan dari Seira muncul di layar. [Alya, kenapa kamu tidak masuk kelas selama dua hari? Kami khawatir!] Senyum tipis terbentuk di bibirku saat membaca pesannya. Seira selalu begitu perhatian. Dalam hatiku, aku tahu aku harus memberi kabar, tetapi suara dalam hatiku menahan. Mereka tidak perlu memikul beban yang kini terletak di pundakku. Sambil merapikan gaun, aku berusaha menenangkan diri. Melangkah keluar dari kamar hotel yang mewah, menuju aula pernikahan.“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu