Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan.
Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan makan siang, berbagi cerita dan canda tawa, seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Mereka tidak tahu bahwa di balik senyumku, ada ketakutan yang merayap perlahan, membungkus hatiku dalam gelap. Aku merindukan kebebasan untuk memilih, untuk mencintai tanpa paksaan. Dan saat itu, aku merasakan betapa pernikahan ini lebih seperti sebuah kontrak ketimbang sebuah kebahagiaan. Semua harapan dan impian yang seharusnya menyertai momen bahagia ini seolah pudar dalam keraguan. Dalam sekejap, semua kesibukan di sekelilingku terasa jauh. Hanya aku dan kalender yang berfungsi sebagai pengingat akan hari yang mendebarkan sekaligus menakutkan. Kapan aku bisa melarikan diri dari kenyataan ini? "Hey, Alya! Kenapa kamu kayak zombie beberapa hari ini?" Suara ceria sahabatku, Seira, tiba-tiba terdengar, memecah lamunanku. Dia duduk di sebelahku dengan sepiring makanan, seolah-olah baru saja kembali dari pertempuran melawan makanan kantin yang terlihat lebih menyeramkan daripada lezat. Aku mengangkat kepala dan melihatnya, berusaha memaksakan senyum di wajahku. "Seira, kamu tahu kan, kadang menjadi zombie itu lebih menyenangkan daripada menghadapi kenyataan." "Kenyataan apa?" tanyanya, suaranya sedikit terputus-putus karena mulutnya yang masih penuh dengan makanan, seolah-olah dia sedang berusaha menyelesaikan misi menghabiskan makan siangnya sambil berbincang. "Kamu nggak perlu tahu. Lanjutkan saja makan siangmu," jawabku sambil menghempaskan kepala kembali ke meja, seolah berharap dapat menarik perhatian kantin yang penuh dengan suara ramai. "Oh iya, kamu sudah lihat pesan di grup kelas? Hari ini ada ulangan kimia," lanjut Seira, sambil mengunyah sisa makanan di mulutnya dengan ekspresi tak peduli. "Apa?! Ulangan kimia?!" Aku bangkit dari tempat dudukku dengan panik, hampir menjatuhkan kursi. Semua orang di kantin tiba-tiba menoleh, seolah aku baru saja mengumumkan akhir dunia. Seira menahan tawanya sambil menepuk bahuku. "Ya ampun, Alya. Ulangan kimia udah diumumin sejak kemarin, kali!" Aku melotot padanya, "Kenapa nggak ada yang ngasih tahu aku?!" Seira mengangkat alisnya, mulutnya masih penuh makanan. "Kamu nggak baca grup? Ketua kelas udah ngasih tahu berkali-kali. Tapi kayaknya kamu lebih sibuk ngelamun daripada buka chat." Aku mengerang, menjatuhkan diriku kembali ke kursi. "Kenapa sih hidupku selalu ribet?" Seira tersenyum licik. "Yah, mungkin karena kamu terlalu fokus mikirin hal lain. Apa sih yang bikin kamu ngelamun mulu akhir-akhir ini?" Aku hanya menghela napas, berusaha menyembunyikan kenyataan soal perjodohanku dengan Revan. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma... sibuk aja." Seira terkikik sambil menyeruput jusnya. "Sibuk ngelamun, maksudnya? Jangan-jangan kamu lagi mikirin cowok, ya?" Dia menatapku dengan tatapan menggoda, jelas berniat meledek lebih jauh. Aku hanya memutar bola mata, berharap bisa mengalihkan topik sebelum dia semakin gencar. Seira tidak melepaskan tatapan isengnya, sementara aku berusaha keras untuk menghindari pertanyaannya yang semakin mendekati kebenaran. Dia menyenggol lenganku, masih dengan senyum lebar yang semakin membuatku terpojok. "Jadi... siapa dia? Ayolah, aku tahu kamu sembunyiin sesuatu," ujarnya, nadanya menggoda. "Jangan-jangan si cowok misterius ini sekolah disini juga?" Aku nyaris tersedak air minumku mendengar ledekan itu. Kalau saja dia tahu siapa 'cowok misterius' yang sebenarnya. "Hah, apaan sih? Enggak ada cowok. Kamu ini kebanyakan nonton drama." Seira tertawa, jelas tidak percaya dengan bantahanku. "Oh ayolah, Alya. Aku tahu kamu lebih dari yang kamu kira. Wajahmu itu nggak bisa bohong, apalagi kalau soal cowok!" Aku terdiam, mencoba mencari alasan untuk keluar dari situasi ini. Namun sebelum aku sempat membuka mulut, suara bel berbunyi, menyelamatkanku dari interogasi Seira. "Ugh, bel berbunyi! Saatnya kita menghadapi ulangan kimia," kataku cepat, langsung berdiri sambil merapikan tas. "Ayo buruan, kita nanti telat!" Seira melirikku dengan alis terangkat, seolah tahu aku sengaja menghindar. "Hmm, ini nggak akan berakhir di sini, Alya. Kita bakal lanjutin nanti." Aku hanya tersenyum canggung sambil menarik lengannya. "Iya, iya. Nanti aja. Sekarang kita harus selamat dari Pak Revan dulu." Senyum Seira semakin lebar saat mendengar namanya. "Pak Revan, ya? Kamu pasti nggak mau ngecewain si guru killer itu." Aku meringis, jantungku berdebar lebih cepat saat namanya disebut. Ah, andai saja dia tahu alasan sebenarnya aku panik dengan ulangan kimia ini. Aku berdoa dalam hati, berharap Revan tidak masuk kelas hari ini. Rasanya aku belum siap bertemu dengannya, apalagi setelah makan siang penuh ketegangan di rumahnya kemarin. Sial! Semoga ada keajaiban yang membuatnya sibuk di tempat lain, mungkin seminar mendadak atau tugas guru super penting yang memaksanya absen. Aku tidak butuh dia di sini, mengawasi setiap gerakku dengan tatapan dinginnya yang seperti mampu menembus dinding. Tapi harapanku sia-sia. Tubuh jangkung Revan melangkah dengan tenang menuju kelas, tampak begitu tenang dan profesional, sebaliknya, aku merasa perutku bergejolak seperti akan meletus. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang, lalu duduk di barisan depan bersama Seira. "Yah, sepertinya mimpiku untuk hari bebas Revan tinggal mimpi," gumamku pelan, sambil membuka buku catatan yang sepertinya juga ikut gugup. Seira menatapku sekilas sambil menyunggingkan senyum jahil. "Kamu kayaknya benci banget sama Pak Revan. Eh, atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" godanya, melirikku dengan penuh arti. Aku hampir tersedak mendengar ledekan Seira. "Apaan sih! Nggak ada apa-apa. Aku cuma... nggak suka ulangan, itu saja," jawabku cepat, mencoba mengalihkan topik. Namun, Revan yang berdiri di depan kelas langsung menatap ke arahku, dan aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Seolah-olah dia tahu apa yang barusan Seira katakan, dan itu membuatku semakin gelisah. "Kalian sudah tahu kalau hari ini ada ulangan kimia, kan?" ucap Revan dengan tenang, tatapannya menyapu seluruh kelas. "Tapi, saya tidak akan memberi kalian soal tertulis seperti biasa. Kali ini, kalian akan maju satu per satu ke depan, dan saya akan menuliskan soal di papan tulis. Siap-siap." Suasana kelas langsung tegang. Aku bisa merasakan jantungku mulai berpacu lebih cepat, dan rasanya setiap orang di kelas menahan napas, termasuk aku. Teman-teman di sekitarku mulai berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Mereka jelas tidak menyangka ulangan kimia kali ini akan berbeda. "Apa? Maju satu-satu?" suara lirih dari bangku belakang terdengar, penuh ketidakpercayaan. "Ini bakal kacau banget," bisik yang lain. Aku hanya bisa menghela napas panjang, menatap papan tulis seakan-akan itu adalah medan perang yang akan segera kumasuki. Sial, Revan benar-benar tahu cara membuat semuanya jadi lebih menegangkan. Revan berdiri di depan kelas dengan santai, mengambil spidol dan mulai menulis tiga soal kimia di papan tulis. Gerakannya lambat, seakan ingin memperpanjang ketegangan yang semakin terasa. Setiap goresan spidol itu seperti membangun ketakutan di antara kami, murid-muridnya. "Baiklah," katanya setelah selesai menulis, suaranya terdengar tegas namun tenang. "Saya ingin tiga orang maju ke depan dan masing-masing menyelesaikan satu soal." Ruangan terasa makin sunyi, bahkan suara berbisik yang tadi terdengar mulai mereda. Aku bisa merasakan ketegangan memenuhi udara, seolah semua orang sedang berdoa agar namanya tidak dipanggil pertama kali. Revan mengangkat kepalanya dari papan tulis dan memandang ke arah kami, seolah mengamati reaksi setiap muridnya. "Dino, Rian, dan... Alya. Silakan maju ke depan." Ketika namaku disebut, rasanya seperti seluruh dunia berputar. Satu detak jantungku berdengung keras dalam telinga, dan mataku seolah membelalak. "Apa?! Kenapa harus aku?" pikirku dalam hati, seakan tak percaya dengan keputusan yang baru saja keluar dari bibirnya. "Jangan cuma berdiri di sana, Alya! Ayo, maju!" Seira berbisik, menggoda sambil menyemangatiku. Dengan langkah kaki yang terasa seberat batu, aku akhirnya maju ke depan. Mengerjakan soal kimia yang terlihat paling sulit di antara yang lainnya. Rasanya seperti melangkah ke arena perang, dan papan tulis itu menjadi medan pertempuranku. Aku melirik ke arah Dino, drummer kami, dan melihat wajahnya yang seolah ingin menangis. Dia menggigit bibirnya, matanya membulat lebar seperti melihat hantu. "Duh, Alya, semoga kamu berhasil!" bisiknya dengan nada panik. Aku melihat soal yang tertulis di papan tulis: Reaksi berikut adalah reaksi redoks antara asam klorida (HCl) dan seng (Zn): Zn + 2HCl —> ZnCl2 + H2 Jelaskan proses oksidasi dan reduksi yang terjadi dalam reaksi ini! Mataku melebar saat membaca soal itu. Proses oksidasi dan reduksi? Aku hanya tahu sedikit, aku menunduk berusaha mengingat setiap pelajaran kimia. Dia pasti ingin balas dendam tentang kemarin. Sambil berusaha menenangkan diri, aku berkata dalam hati. "Oke, Alya, ini cuma soal. Ambil napas dalam-dalam dan cari cara untuk menjelaskan." Aku mulai menjelaskan soal yang diberikan Revan. "Oke, jadi... besi itu berkarat, kan? Itu kayak... kayak saat kamu lupa pakai sunblock di pantai, terus kulitmu... eh, maksudku, besi itu jadi... korosi." Revan mengangkat alisnya, tampak bingung dan sedikit geli dengan analogi anehku. "Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa korosi itu sama dengan terbakar matahari? Menarik." Aku melihat Seira dan teman sekelas tidak bisa menahan tawa mendengar penjelasanku. Beberapa dari mereka bahkan terpingkal-pingkal, dan aku merasakan pipiku memanas. Sementara itu, Revan masih berdiri di depan kelas dengan ekspresi datar, seolah-olah dia berusaha menyembunyikan senyum yang hampir muncul di wajahnya. Aku berusaha mengabaikan mereka dan melanjutkan penjelasanku. "Hmm... jadi, besi itu bereaksi dengan oksigen di udara... dan kemudian... jadi... Oksida besi! Atau bisa juga disebut karat, gitu. Jadi, bayangkan saja seperti kamu pergi ke pantai tanpa sunblock. Pertama, kamu tampak cerah dan bersinar, tapi setelah beberapa jam, kulitmu mulai mengelupas dan berubah jadi warna merah, kan? Nah, besi itu juga sama! Tanpa 'perlindungan' yang tepat, dia bakal jadi korosi, seperti kulitmu yang terbakar matahari. Ingat, jangan sekali-kali lupa pakai sunblock, atau hasilnya sama saja—merah, mengelupas, dan terlihat tidak bagus!" Dino yang juga berdiri di depan langsung nyeletuk, "Jadi, jika aku pakai sunblock di besi, bisakah dia selamat dari karat? Mungkin aku bisa jual sunblock khusus untuk besi!" Aku menatap kesal ke arah Dino. "Serius, Dino? Ini bukan waktu untuk bercanda!" Namun, dia seolah tidak peduli dengan ekspresi kesalku dan malah melanjutkan. "Bayangkan saja, "Sunblock untuk Besi, Dijamin Bebas Karat!" katanya dengan nada bersemangat, matanya berbinar-binar seperti sedang membayangkan masa depan cemerlang. "Ya, dan setiap kali kita jual, kita bisa bilang, 'Mau besi awet dan bebas karat? Jangan lupa pakai sunblock, ya!' Seira menambahkan dengan ekspresi konyol, mengangkat tangannya seolah-olah menjadi juru bicara produk. "Wah! Mereka benar-benar meledekku habis-habisan. Aku sumpahin kalian berjodoh!" ucapku dalam hati, sambil menatap Seira dan Dino dengan ekspresi penuh kemenangan. "Dino, kerjakan soalmu," ujar Revan, suaranya datar namun tegas. Dalam sekejap, tawa dan canda di kelas mendadak sirna. Dino dan teman-teman sekelas lainnya langsung terdiam, seolah-olah ada sirene yang berbunyi, memperingatkan mereka bahwa waktu bersenang-senang telah berakhir. Dino kembali menatap papan tulis dengan spidol di tangannya, tampak bingung, seperti seseorang yang baru saja tersesat di tengah labirin. Ia mengerutkan dahi, berusaha keras mencari inspirasi yang sepertinya menghindar darinya. "Ayo, otak! Bekerja!" gumamnya pelan, terlihat hampir seperti berbicara kepada spidolnya yang bersinar cerah. Aku melirik Revan, seakan meminta pendapatnya tentang jawabanku. Dia menghela napas, "Inilah yang terjadi jika kamu tidak belajar.", katanya. "Siapa yang bilang saya tidak belajar? Saya menjelaskan... dengan metode yang berbeda!" balasku, tidak terima dengan tuduhannya. Revan menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap datar. "Metode yang berbeda? Menggunakan sunblock untuk menjelaskan reaksi kimia? Sangat inovatif, Alya." Ia menekankan namaku dengan nada sinis, membuatku ingin menyembunyikan wajahku di bawah meja. "Setidaknya saya membawa sedikit kreativitas ke dalam pelajaran!" sahutku, berusaha mempertahankan semangat meski rasa malu sudah menjalar ke seluruh tubuh. "Ya, dan kita semua tahu bagaimana kreativitasmu membuat kamu kehilangan poin-poin penting tentang kimia. Jadi, bersiaplah untuk tidak lulus ulangan ini." Aku menatapnya, seolah ingin mengatakan, "Ini semua salahmu!" Namun, semua yang keluar dari mulutku hanyalah, "Yah, siapa tahu? Mungkin sunblock bisa jadi solusi untuk semua masalah kami." Kelas mulai tertawa, dan aku merasa sedikit lega bisa menciptakan momen konyol yang membuat Revan menatapku lebih tajam.“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu