Tentu saja perih dan sakit ketika air dingin menyentuh luka yang melepuh dan terkelupas. Jangan dibayangkan betapa sakit dan berdenyutnya semua itu. Pantas saja ibu kejang dan berteriak-teriak.Ibu yang menjerit membuat Kak Aidil terkejut dan segera berlari untuk membantuku membangunkan Ibu."Ibu, kok bisa jatuh," tanya suamiku dengan muka syok."Istrimu ini tidak becus memegangiku, dia hanya sekedar membantu dengan separuh hati," tudingnya meragukan pengabdianku. Andai tidak lebih muda diri ini darinya sudah kupukulkan baskom ke wajahnya agar dia tahu rasa."Aku sudah memintanya memakai sandal tapi itu menolak," sanggahku membela diri. "Kau mendorongku dengan keras!" teriaknya sambil menangis di depan Kak Aidil."Kak ... alangkah hancurnya saya kalau kakak sampai percaya," ujarku pada suami.Betapa sedih dan perihnya hati ini difitnah demikian oleh ibu mertua. Mungkin karena paham sifat ibunya, suamiku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, memberiku alasan agar aku memaafkan oran
Kutitipkan Rima kepada kakak iparku Tania lalu diri ini segera bergegas mengambil motor ke garasi dan pergi membelikan sate untuk ibu mertua. Kak Tania yang melihatku membawa kunci gudang mengeluarkan motor sempat kaget dan melongo mungkin untuk pertama kalinya sejak menjadi menantu diri ini berhak memakai motor."Hati-hati di jalan Dik," ucap kak tania sambil melambai kecil dan menggendong Rima.Untuk pertama kalinya aku merasa senang diberikan sejumlah uang oleh ayah mertua dan dibiarkan seperti menantu menantu lain berhak melakukan apapun dalam hidup berhak memakai fasilitas seperti yang dilakukan kakakku yang lain.Sekembalinya dari membeli sate ku lihat di rumah induk sedang ada tamu. Aku pikir mungkin tetangga yang ingin menjenguk ibu tapi ternyata itu adalah petugas kebersihan tempat pembuangan umum. Entah apa yang dia lakukan aku tidak paham."Ini makanannya Bu," kataku sambil meletakkan nasi dan sate, setelah sempat menyiapkannya dari dapur."Kamu kenal dia.""Iya dia Paman S
Kabar yang kudengar, hari ini Kak Yanto, kakak ipar sulungku akan dibawa pulang ke rumahnya. Keadaannya sudah membaik jadi pria itu akan dirawat jalan saja. Sebenarnya aku lebih menikmati waktu saat pria itu tidak di rumah, aku bisa leluasa membully orang tuanya, tanpa ketakutan sedikitpun. Lagipula orang jahat dan kejam sesekali memang harus dikejamkan agar tahu rasa.Setelah selesai mencuci pakaian aku segera menjemur dan mengisi air, aku bagikan jatah makanan seperti biasa dari gudang makanan ibu, ke rumah tiga iparku. Aku merasa menguasai segalanya dengan memegang kunci gudang dan garasi. Padang heran juga padahal ada kak Tina sebagai anak kandung mengapa Ibu tidak menyerahkan kunci itu kepada putrinya. Mungkinkah karena dia mengetahui putrinya yang guru itu amat sibuk?Tok ... Tok ....Kuketuk pintu rumah Kak Tania, tidak lama kemudian wanita itu datang dan menyunggingkan senyum lebar padaku. Kusodorkan keranjang makanan kearahnya lalu wanita itu berbinar melihat isinya."Wah
Siang harinya.Baru saja keluar dari rumah ibu mertua, baru saja usai mengerjakan tugas rumah yang menumpuk, tiba-tiba mobil ambulans datang dan menurunkan Kak Yanto dari sana bersama dengan istri dan seorang putranya yang sudah duduk di bangku SMP. Mereka nampak setia menemani kepala keluarga mereka yang terlihat lemah tertidur di tandu ambulance."Dik, segera ambil Rima, aku mau bantu Kakak," ucap suamiku sambil menyerahkan bayiku."Iya, Kak._" dengan sigap kuterima Rima dipelukanku lalu menyaksikan Kak Aidil dengan cekatan membantu petugas ambulan menurunkan tandu dan membawa Kak Yanto masuk ke dalam rumahnya."Kira-kira pria jahat itu akan berubah atau tidak ya, setelah mendapatkan musibah seperti itu?" Aku membatin sambil melihat proses pria yang diperban kepalanya itu dimasukkan pelan pelan lewat pintu depan.Kak Yanto sempat bersitatap denganku tapi ekspresinya datar saja, dia melihat diri ini tapi entahlah ... apa yang dia rasakan.Mengetahui bahwa anak mertuaku sudah pulang
Jilbabku basah, wajahku juga panas oleh bekas sayur yang disiram habis ke depan mukaku. Kuahnya membasahi pakaian sementara isinya rontok dari atas kepalaku, termasuk beberapa helai bihun yang kemudian kuusap dan kulempar kasar."Kau terlalu banyak membantah," desis Ibu. " "banyak membantah sama dengan melawan orang tua!" sambungnya."Maafkan saya, saya hanya membela diri," balasku pelan. Bukannya takut pada wanita itu, tapi aku masih punya sedikit rasa hormat pada Ayah mertua yang mulai baik dan lembut pada diri ini."Membela diri dengan cara mencela mertua?" tanyanya dengan nada tinggi."Tidak.""Andai aku tak sakit, tak sudi diri ini membiarkan kau masuk kemari!"Karena tak mau memperpanjang perdebatan yang pada akhirnya yang menumpuk dosa dan menguras hati, akhirnya kuputuskan untuk menjauh dan mengalah saja."Iya, maaf, kalau begitu, saya pulang dulu Ibu," ucapku lirih."Pergi saja, memangnya siapa yang menahanmu?" "Baiklah, kalau butuh apa apa Ibu tinggal menelpon Kak Aidil.""
Seperti biasa kujalani rutinitas baru tiap pagi. Ya, selama semua orang sakit , aku bangun pagi-pagi lalu menyalakan mesin air dan memastikan semua orang mengisi baknya. Lantas tepat ketika matahari akan terbit aku pergi ke gudang makanan untuk mengambil beras dan stok makanan lain, lalu dibagikan ke lima rumah dengan takaran yang sama banyaknya sesuai dengan jumlah penghuni rumah.Setelah semua itu selesai akan kukunci kembali gudang dan kusimpan penguncinya di lemari pribadiku. Kulakukan semua itu dengan senang dan menikmatinya selagi bisa karena jika Ibu sudah sembuh maka semuanya akan kembali seperti semula, kaku dan penuh larangan."Assalamualaikum," ucapku ketika membuka pintu rumah ibu."Waalaikumsalam," ucapnya sambil menatapku lekat, "pagi sekali kau dayang?""Aku sengaja meninggalkan pekerjaan rumah untuk mendahulukan mengisi air dan membagikan makanan karena khawatir bahwa ipar iparku akan masak lebih cepat sebab suami mereka sedang sakit, orang yang sakit harus sarapan l
Usai membersihkan rumah dan memastikan bahwa kedua mau mertuaku sudah kenyang, segera aku bereskan piring dan pergi memanggil Mbak Devi dan Kak Tania untuk membantuku memandikan ayah dan ibu. Memang ayah bisa mandi sendiri tapi beliau harus dibantu untuk ke kamar mandi, sementara ibu, harus kami papah dan mandikan dengan baik. "Mbak Devi, Kak Tania, mohon bantu saya," ucapku ketika melihat kedua iparku yang kebetulan sedang bicara berdua."Memandikan ibu ya Dik?""Iya Kak.""Hangatkan saja dulu airnya kami akan datang sebentar lagi," perintah kedua iparku itu"Baik, Kak, saya tunggu ya."Aku segera beralih ke dapur ibu, menghangatkan sedandang air yang begitu berat di angkat ke atas kompor. Kuperiksa lagi keadaan bayi mungilku, putri cantikku terlihat menggemaskan dengan bando di kepalanya, ia terdiam memperhatikan sambil tersenyum kecil ketika sang Kakek membercandainya, ci luk ba!"Pintar sekali, sekecil itu sudah pandai merespon," gumamku sambil beranjak lagi mengambil ember da
"Astaga, apa yang membuatmu menangis nyai?" tanya Pak Haji dengan wajah gemas."Aku benar benar tidak pernah diperlakukan sekasar ini, kalian mempermalukanku," balasnya di sela Isak tangis."Siapa yang mempermalukan dirimu Nyai di sini tidak ada orang lain selain aku dan menantu!""Kau menginjak wibawaku di depannya dan membuat dia tidak akan takut lagi denganku, kau keterlaluan sekali haji," ucapnya sambil menutupkan tangan ke wajah. Wanita itu menangis, nada tangisnya makin lama makin meninggi dan terdengar pilu, seakan ia ingin mengundang orang orang untuk datang kemari dan melihat dia meratap-ratap."Bu, pelankan suara ibu, kita bisa malu," ucapku "Diam kamu, pergi kamu dari sini!""Saya tidak akan pergi kalau ibu belum mandi, ibu harus ganti pakaian karena pakaian yang itu sudah lengket oleh darah dan nanah.""Sudah tahu aku sakit, tapi kalian malah menyakiti hati dan mengejek diriku," keluhnya."Maafkan kami, Bu. Sekarang saya mohon, ayo bangun Bu, saya harus memandikan Ibu se