"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
Apa yang cukup dengan air yang hanya satu ember, di saat kau harus memasak, mencuci, punya bayi dan ingin mandi.*Mungkin impian untuk menikah dan membangun keluarga bahagia jauh dari harapan bak jauhnya gunung Tambora dan pulau Moyo. Aku yang tadinya datang ke dalam keluarga ini dengan penuh asa serta sukacita sebagai menantu baru yang akan dibahagiakan dan coba berbakti pada semua orang, harus pupus harapan. Tadinya mereka baik, tapi setelah beberapa purnama bergulir, sifat asli mereka terlihat sempurna. Bagaimana tidak, aku diboyong tinggal ke sebuah lingkungan yang terdiri dari beberapa rumah, di mana rumah orang tua dikelilingi oleh rumah anak anak mereka. Semua anak mantu berada dalam pantauan orang tua Kak Aidil suamiku. Semua kegiatan, pekerjaan kebun, tugas kebersihan rumah, pembagian hasil, terlebih jumlah uang ditentukan oleh mertua, ibu mertua.Tadinya aku ikut ikut saja, seperti menantu lain yang hanya manut diatur sedemikian rupa. Tapi setelah lama kelamaan, ha
Karena tidak punya pilihan lain, ditambah baju bayi yang terbatas, aku terpaksa kembali ke rumah. Kuperiksa bayi Rima yang masih tertidur di buaian, lalu dengan cepat, setengah terseok, aku menuju sumur yang ada di tengah-tengah pekarangan rumah. Sumur itu adalah satu satunya sumber air keluarga, karena kampung ini termasuk daerah kering, jadi di musim kemarau airnya terbatas. Meski begitu, tandon dan kebutuhan lima rumah tetap terpenuhi.Ibu mertua beruntung bisa memiliki rumah sekaligus sumur Karena untuk menemukan sumber air itu susah sekali. Keadaan di tempat ini sangat nyaman Kalau kau punya sumber air sendiri tapi kalau tidak punya, maka akan susah sekali. Warga kampung yang tidak memiliki sumur biasanya mengantri air di bak ledeng yang dibuat pemerintah tapi airnya jarang terisi oleh kendala mesin dan malasnya petugas pengurus, jika sudah begitu maka tidak ada pilihan lain selain pergi pergi mengangkat air dari sumber air dekat bukit, jaraknya cukup jauh, sekitar 500 meter.
Betapa teganya ibu mertua tidak mengangkat cucianku, sementara dia sendiri tahu bahwa bagiku hanya memiliki sedikit pakaian, dia sendiri juga melarang diri ini untuk memakaikan bayi Rima pospak dengan alasan pemborosan. Kulirik keranjang pakaian, yang tersisa hanya 3 popok kain, ada empat bedong, Aku tidak yakin pakai yang itu akan cukup sampai malam nanti bahkan esok pagi. Pergi kupandangi cucianku yang tengah melayang di tiup badai dan angin hujan deras dengan hati remuk redam. Mungkin karena aku berlatar belakang yatim piatu miskin sehinggaa ibu mertua sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Mungkin aku tidak seperti menantu menantu nya yang lain yang berasal dari keluarga kaya dan kerabat dekatnya. Pernikahan kami nyaris tidak disetujui andai kak Aidil tidak nekat menyatakan keinginannya.Kabarnya suamiku yang anak bungsu hendak dijodohkan dengan seorang bidan, tapi karena kaidah lebih mencintai diri ini maka urung lah mertua bermenantukan seorang petugas kesehatan.Mungkin
Suamiku kembali ke rumah degan wajah sedih dan kecewa, dari kejauhan dia terlihat gontai sementara ada rasa iba sekaligus sedih juga melihat dia terpaksa bertengkar dengan sang ibu karena aku. Kutunggu diambang pintu dan ketika netranya bersitatap denganku, dia tetap berpura-pura menyungginggakan senyum dan mengangguk, berusaha menenangkanku padahal aku sendiri tahu dia tengah berperang dengan batinnya sendiri.Ingin kucoba mengajaknya pindah dari lingkungan ini tapi aku sendiri paham bahwa kami tidak memiliki uang atau simpanan. Rasanya akan memberatkan sekali kalau dalam kondisi sakit begini harus pindah, bingung memikirkan biaya, belum kebutuhan makan dan biaya lainnya. Kepalaku pusing, terhimpit oleh beban yang rasanya tak bisa kutanggung. Belum lagi rasa iba dan bersalah pada suamiku, rasanya aku telah menjadi istri yang begitu menyusahkannya.Namun bukankah Tuhan tahu persis bahu mana yang harus Dia berikan beban, bukankah manusia diberi ujian sesuai kadar kemampuannya? Apakah
"Bayimu popoknya basah, tolong diganti dek," ucap kak Tina memperlihatkan popok Rima."Oh iya baiklah," jawabku dengan suara parau karena habis menangis."Kamu kenapa, apa kamu habis menangis?""Tidak juga," jawabku pelan. Kakak ipar lalu bangun, memeriksa sudut rumah membuka kamar mandiku. Ingin sekali kucegah dia karena tidak ingin kakaknya Kak Aidil melihat pemandangan yang ada di sana. Ketika pintu kamar mandi berderit dan terbuka langsung saja terlihat pemandangan yang tidak mengenakkan mata tumpukan cucian yang penuh di dalam bak, lalu ada cucian piring di dalam bak lain, dan ember air yang kosong melompong.Sialnya dia melihat sarungku yang bekas darah, lalu kakak iparku nampak syok dan menggeleng pelan."Apa kamu tidak punya air di rumah?""Udah habis Kak Kakak tahulah kalau ibu nifas, kami membutuhkan banyak air bahkan untuk membersihkan diri sendiri pun membutuhkan air berkali-kali hingga bersih," jawabku menunduk."Rumahmu terlihat kotor dan berantakan, kamar mandimu juga
Keesokan harinya, Setelah azan berkumandang terdengar bunyi ketukan air yang jatuh di permukaan ember kosong, menyadari itu, aku dan suami langsung bangun. Bahu membahu kami mengisi air, dia mencuci bajuku dan anak, sementara aku mencuci piring. Dibantunya juga diri ini untuk mandi dengan puas lantas diisinya dua ember besar itu hingga penuh.Hari ini aku merasa sedikit segar, sedikit gembira dan lega, sakit punggung yang kemari nyaris membuatku tak bisa duduk kini terasa lebih lentur dan lega. Sebelum berangkat ke kebun dan Empang ayahnya, Kak Aidil menyiapkan sarapan seadanya, mie sakura dan telur yang terasa nikmat sekali karena disiapkan suami sendiri. Kami makan dari mangkuk yang sama sambil sesekali bercanda dan saling berebut telur."Hati hati di rumah ya, akan kusuruh bibi penjual ikan untuk mengantarkan cakalang asap, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiangi ikan dan mengolahnya.""Harus juga kak, dibikin sambal, enak," jawabku."Baiklah, jangan lupa ajak Rina berjemur
Kreeek ....Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana."Ember baru?""I-iya.""Sejak kapan?""Semalam.""Uang dari mana?""Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember."Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan."Tidak tahu