Astaghfirullah Al Adzim ... Ya Allah apa itu berarti tadi malam mereka ... Ya Allah. Kuat, Tiara. Kamu harus tetap kuat. Tugasmu belum selesai. Dengan sekuat tenaga aku berjuang untuk tetap bersikap manis pada perempuan jahana* ini. "Mbak, kok malah bengong, ayo, Mbak, dicoba jilbabnya." Suara Kartika mengagetkan lamunanku. Lalu dengan hati yang porak poranda, menangis dalam batin, aku memakai jilbab Kartika. "MasyaAlloh, Mbak Tiara cantik sekali. Saya anter jilbab nanti ya, Mbak. Mulai sekarang Mbak Tiara pakai jilbab. Pasti Mas Fikri senang sekali.""Nggak usah! Nanti aku beli sendiri saja." Kucopot jilbab Kartika kembali."Nih, Kartika jilbabmu. Makasih ya. Sekarang kamu boleh pergi. Nanti bayimu rewel. Aku mau istirahat.""Iya, Mbak."Sepeninggal Kartika, sambil memeluk guling, kutumpahkan tangis yang sedari tadi kutahan sambil berpikir keras. Aku harus tahu apa yang terjadi di kamar Kartika. Tapi bagaimana caranya. Kuambil handphoneku yang tergeletak di atas nakas. Aku mulai
Pintu berhasil kudobrak. Terlihat baju dan pakaian dalam berserakan di lantai. Dengan hati remuk, mataku nanar menatap 2 makhluk tanpa sehelai kain sedang bergulat hebat di atas ranjang berbalut sprei yang berantakan. Mata mereka tampak terpejam dengan suara menjijikkan yang saling bersahutan. Kututup telinga, kupalingkan wajah tak sanggup melihat. Bahkan saking gilanya mereka bergulat sampai tidak menyadari kehadiranku di kamar ini. "Bia*** kalian!" teriakku dengan tangis histeris yang tak bisa kutahan.Mas Fikri dan Kartika tersentak. Dengan panik, keduanya berebut menarik selimut dan sprei berusaha menutupi tubuh mereka. "Tiara?!" Apa yang kamu lakukan di sini?! Keluar!" Teriak Mas Fikri terlihat panik sibuk memungut baju dan celana lalu memakainya di balik selimut."Tanpa kamu suruh pun aku akan keluar, Mas! Jijik melihat kalian! Kalian tak ubahnya seperti bina****! cuiiih!" Aku meludah di lantai kamar."Jaga mulutmu,Tiara! Apa yang kamu lihat ini ... " "Stop!" Bentakku menghe
"Fikri, ajak istrimu ke kamarnya. Jelaskan padanya yang sebenarnya. Sudah saatnya dia tahu!" "Tapi, Bu ..." "Sudah, sana!" Bentak Ibu lalu Mas Fikri menggandengku keluar tapi kutepis, aku berjalan cepat ke kamar.Sampai di kamar, setelah Mas Fikri menutup pintu kamar, kuhampiri Mas Fikri, "Sekarang, jelaskan padaku, Mas, siapa Kartika?!" "Tenang dulu, Tiara. Iya aku akan jelaskan tapi kamu tenangkan diri dulu, ya. Kamu berbaring dulu. Ingat ada buah cinta kita di perut kamu. Aku nggak pengin terjadi apa-apa dengannya. Kita bicara baik-baik." Mas Fikri memegang bahuku lalu menuntunku ke ranjang. Aku duduk di ranjang. Kusandarkan kepala yang terasa berat pada headboard yang diganjal bantal oleh Mas Fikri. Aku diam menahan gejolak dan tangis yang dari tadi mengguncang batinku seolah bisa merasakan firasat akan apa yang diceritakan Mas Fikri.Mas Fikri duduk di tepi ranjang di sebelahku sambil mengusap kepalaku dengan linangan airmata. Entah airmata buaya atau air mata sungguhan. Kute
"Jadi menurut Mas Fikri, aku yang bersalah, Mas?!""Tentu saja tidak, Ra Seandainya aku tahu kamu akan hamil, ini semua tidak perlu terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Percayalah, secepatnya aku akan ceraikan Kartika. Biarlah anakku dan Kartika diurus Kartika. Kita fokus mengurus bayi kita. Kamu mau kan memaafkan aku?"Janji Mas Fikri membuat batinku kembali berkecamuk, bimbang antara mundur atau bertahan. Keputusanku tadi yang begitu bulat untuk menuntut cerai tiba-tiba memudar berganti sebuah harapan bahwa rumah tanggaku akan kembali baik-baik saja. Kami pasti bisa melupakan semuanya dan akan berbahagia menyambut buah hati kami. Sebuah impian yang begitu indah.Tapi bagaimana mungkin aku lupa dengan perlakuan Mas Fikri pada Kartika di ruang bersalin, di gazebo dan di ranjang tadi. Sorot mata Mas Fikri bukan hanya tersirat nafsu tapi juga cinta. Entah hanya sekedar cinta seorang kakak pada adiknya atau cinta seorang suami pada istrinya. Tapi yang jelas, sorot mata itu menyaya
Dan hari ini akhirnya aku punya kesempatan untuk mengambil diary itu. Kartika, Ibu dan anak-anak sedang ke posyandu. Bergegas aku membuka kamar Kartika tapi ternyata terkunci rapat. Untunglah kamar Ibu tidak terkunci. Masih sangat ingat di kamera pengintai, Mas Fikri bisa masuk ke kamar Kartika melalui kamar Ibu.Setelah masuk ke kamar Ibu atau lebih tepatnya kamar anak-anak Kartika karena semua anak Kartika tidur di sini, aku mulai mencari pintu itu di dinding pembatas kamar Ibu dan Kartika. Tak terlihat ada pintu. Cuma ada kaca tinggi seukuran pintu. Apa ini pintunya. Aku mencoba mendorongnya. Dan ternyata benar kaca ini terbuka. Tidak seperti pintu biasa yang engselnya di pinggir. Pintu kaca ini engselnya di atas bagian tengah. Sehingga kalau dibuka separo ke kamar Ibu, separo ke kamar Kartika. Sama sekali tak terlihat seperti pintu. Dasar laki-laki penipu, demi bisa tidur dengan Kartika sampe dibela belain bikin pintu unik ini. Setelah masuk ke kamar Kartika, aku buru-buru meng
Kuhentikan membaca. Batinku hancur berkeping keping. Ternyata aku bukan perempuan pertama yang dia sentuh. Pantas saja di malam pertama kami dulu dia sudah lihai sekali membahagianku. Dengan terisak, kukuatkan hati untuk melanjutkan membaca lagi. Lembar-lembar berikutnya, Kartika banyak menceritakan kebersamaannya dengan Mas Fikri. Mereka resmi berpacaran diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku yakin foto-foto yang terpasang di album yang dulu kulihat adalah foto-foto mereka setelah resmi berpacaran. Mereka pun ternyata berkali kali mengulangi perbuatan laknat itu di kamar Kartika. Bahkan Mas Fikri sering menyelinap tidur di kamar Kartika tanpa sepengetahuan ibunya. Seolah mereka pasangan suami istri.Astaghfirullah Al Adzim ... Aku seperti tidak percaya, Mas Fikri sanggup melakukan perbuatan nista itu. Inikah kamu yang asli, Mas. Sampai pada halaman setelah sebulan kemudian. ***Jakarta, 30 April 2009Hancur sudah masa depanku. Sebuah kenyataan aku telah hamil di saat belum
Setelah diboyong suamiku ke rumahnya, malamnya pertama kali aku harus melayani suamiku yang ternyata begitu bringas. Membuatku kewalahan karena semalam utuh dia menyerangku tanpa henti. Mungkin karena pertama kali dia menyentuh perempuan dan dia juga tidak tahu tentang kehamilanku. Janinku yang baru berusia 5 minggu seperti berontak karena aksi brutalnya. Perutku mengalami kontraksi hebat. Dan paginya aku mengalami pendarahan. Akhirnya janinku luruh tanpa bisa dicegah dan aku pun harus di kuret. Tangisku tak berhenti kehilangan buah cintaku dengan Mas Fikri walaupun masih berwujud gumpalan. Lalu untuk apa aku menikah kalau akhirnya harus kehilangan anakku. Aku begitu membenci suamiku yang kuanggap sudah melenyapkan janin ini, bersikeras menuntutnya untuk menceraikanku berharap bisa kembali pada Mas Fikri.Tapi dengan sabarnya, dia menghadapi dan merawatku. Bahkan dia tidak marah setelah mengetahui aku hamil. Dan dia juga tidak pernah mempermasalahkan mahkotaku yang sudah terkoyak.
Tak bisa dipungkiri aku sangat bahagia dengan rencana Ibu. Aku yakin Mas Fikri juga pasti bahagia. Bersamaku pasti dia akan mendapatkan banyak anak. Mimpi di masa remaja kami akan terwujud.Tapi dugaanku salah. Ternyata Mas Fikri menolak mentah-mentah permintaan Ibu. Dia tidak mau menikahiku karena tidak mau menyakiti Mbak Tiara. Sakit mendengarnya ... Ternyata posisiku di hatinya sudah tergantikan. Aku sangat kecewa. Tapi itu tak lama karena pada akhirnya aku dan Mas Fikri menikah walaupun bagi Mas Fikri itu keterpaksaan. Tapi aku begitu yakin, dalam waktu dekat bisa menjeratnya dalam pelukanku kembali.Setelah ijab qobul, malamnya ketika kami akan melakukan hubungan suami istri tiba-tiba Mas Fikri mendorong tubuhku."Maaf, Kartika, aku belum bisa." "Kenapa, Mas? Mas Fikri tidak mau mengulangi betapa dulu kita sangat bergairah?""Sekarang keadaan kita tidak sama lagi, Kartika. Aku sudah punya Tiara. Aku tidak tega mengkhianati Tiara. Maaf, kalau malam ini aku mengecewakanmu," ucapn