Share

2. Cemburu

last update Last Updated: 2022-05-23 22:36:16

"Itu buat ... Maksudku itu titipan orang, Ra."

"Titipan siapa, Mas?!"

"Sudahlah, Ra. Lupakan. Nggak penting buat kita."

"Titipan Kartika kan, Mas? Iya, kan?!"

"Kok kamu tahu, Ra?"

"Siapa lagi perempuan yang selalu ngrepotin Mas Fikri kalau bukan Kartika!"

"Ibu, Ra, yang nitip susu itu buat Kartika."

"Ibu lagi! Ibu lagi! Ibumu itu maunya apa sih, Mas! Jelas-jelas Kartika itu sudah punya suami, masih saja melibatkan kamu di kehidupan Kartika!"

"Kan tadi sudah kuceritakan, suami Kartika nggak ada di rumah, Ra."

"Alah, itu bukan alasan, Mas! Kalau cuma beli susu mereka juga bisa pergi sendiri, kok. Nyatanya aku kemarin ketemu mereka belanja kebutuhan sehari-hari. Kenapa nggak beli susu sekalian!"

"Istri Fikri kalau lagi marah-marah gini tambah cantik dan ngegemesin." Sambil mengemudikan kemudi mobil keluar dari POM bensin, tangan kiri Mas Fikri nyolek-nyolek daguku sambil senyum-senyum menyebalkan.

Kukibaskan saja tangannya dari daguku. Tapi Mas Fikri nggak menyerah.

"Coba lihat, mana cantiknya," Dia mulai menggodaku.

Tangannya mengangkat daguku diarahkan padanya dengan tatapannya yang selalu membuatku meleleh. Tapi nggak, kali ini aku nggak boleh meleleh sampai urusan Kartika ini beres.

"Bisa nggak, Mas, mulai hari ini Mas Fikri nggak berurusan lagi dengan Kartika dan anak anaknya?! Sampai kapan Mas Fikri harus punya kewajiban menanggung hidup mereka?! Ingat, Mas! Mas Fikri sudah punya istri dan Kartika pun sudah punya suami! Sudah ada orang yang bertanggung jawab atas Kartika dan anak anaknya! Jadi sudah saatnya Mas Fikri melepas tanggung jawab seorang kakak ke adik!"

"Kamu kan tahu, Ra. Aku dan Kartika hidup bersama dari kecil. Susah senang kami lewati bersama. Kami sudah terbiasa saling membantu. Kebiasaanku melindungi Kartika dari waktu kita kecil masih terbawa sampai sekarang. Mas minta maaf, ya, kalau itu menyakitimu."

"Aku nggak butuh kata maaf, Mas! Yang kubutuhkan ketegasanmu! Bersikaplah layaknya suami yang gentle. Tahu diri mana yang harus diprioritaskan! Di akhirat nanti Mas Fikri nggak ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada saudara. Tapi yang ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada Istri!"

"Aku kan nggak menelantarkan kamu, Ra. Semua kebutuhanmu tercukupi. Kamu juga nggak kekurangan kasih sayangku, kan?"

"Pokoknya aku nggak ridho, Mas, kalau Mas Fikri masih ngurusin Kartika dan anak anaknya, titik! Anak Kartika manggil kamu ayah itu pun sebenarnya aku juga nggak ridho! Itu sangat menyakitiku, Mas! Sakit di sini." Kupukul dadaku dan akhirnya tangisku tumpah tak tertahan.

"Hanya anak kita nanti yang boleh manggil Mas Fikri ayah!" isakku sambil terus mengusap airmata yang nggak berhenti meluncur di pipi.

"Tiara, lha kok malah nangis. Sudah berhenti nangisnya, cup, cup." Tangannya mengusap air mataku tapi buru-buru kusingkirkan dari pipi ini.

Setelah itu aku memilih membisu, memberi kesempatan pada Mas Fikri untuk merenungkan semua kata kataku sampai mobil masuk ke halaman rumah kami. Aku bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju kamar. Pengin segera tidur untuk meredam rasa amarah dan sesak di dada.

Tiba-tiba sebuah lengan memelukku erat dari belakang, menahan langkahku, "Lepaskan aku, Mas!" Kucoba melepaskan lengan kekar Mas Fikri dari tubuh kecilku walaupun aku tahu kekuatanku tak ada apa apanya.

Dan akhirnya aku pun tak berkutik dalam pelukan Mas Fikri.

"Katanya tadi malam kangen. Mau nggak?" rayunya sambil bibirnya bermain di leherku, membuatku meronta kegelian.

"Sudah nggak nafsu! Nafsuku hilang gara-gara Kartika!"

"Masak, sih. Kalau begini masak iya nggak nafsu." Dengan sigap Mas Fikri membopongku masuk ke kamar.

"Ih, lepasin, Mas, aku nggak mau!" kupukul pukul dadanya.

"Nggak mau apa nggak mau."

"Nggak mau!" Teriakku.

Tubuh kecilku tiba-tiba dihempaskannya di ranjang dan aku pun tak berdaya mengikuti permainan Mas Fikri, melayang layang lupa segalanya. Sampai Mas Fikri senyum-senyum menatapku di akhir permainan kami.

"Beuh, katanya nggak nafsu tapi beringas begitu, kecil-kecil galak juga," ledeknya, kupukul pukul saja tubuhnya.

.

.

.

"Ra, aku berangkat kerja dulu, ya. Nanti aku pulang rada malem. Ada meeting. Nggak usah kamu tunggu. Kalau mau makan, makan duluan. Hati-hati kalau mau berangkat ngajar ya. Jangan lupa bawa mantel nanti kehujanan lagi," pamitnya pagi ini.

Dan begitulah keseharian kami. Mas Fikri yang berangkat lebih pagi dari aku dan seringnya pulang malam. Posisinya sebagai Project Manager menuntutnya harus bersikap loyalitas pada perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak dalam bidang konstruksi itu.

Bahkan hampir sebagian besar waktunya dihabiskan Mas Fikri untuk bekerja. Ibarat kata aku hanya dapat sisa waktunya. Mungkin ini juga penyebab aku susah hamil. Tapi Ibu mertua mana mau mengerti. Dia lebih suka menyalahkanku.

Untuk mengusir kesepian itulah aku merengek pada Mas Fikri untuk diijinkan mengajar di salah satu SMP Swasta. Sangat membosankan di rumah sendirian. Apalagi juga sering ditinggal ke luar kota.

Seperti seminggu kemudian Mas Fikri harus tugas luar kota lagi.

"Baru juga seminggu di rumah, Mas, sudah pergi lagi. Begini kok pengin punya momongan," gerutuku.

"Lha gimana lagi, Ra. Ini sudah tugasku. Aku harus mantau proyek yang di luar kota. Nggak lama kok, sayang, paling 5 hari doang. Sudah nggak usah manyun begitu, tambah kayak anak SMP."

Dengan sedih aku pun melepas kepergian Mas Fikri. Tapi sepertinya nggak ada raut sedih di wajah Mas Fikri. Dasar memang laki-laki, pasti kegirangan karena akan menikmati kebebasan. Bebas nggak ada yang ngomel ngomel, nggak ada yang ngatur-ngatur.

Besoknya, aku libur mengajar. Entahlah tiba-tiba terbersit pengin main ke rumah Ibu mertua sekalian balikin wadah kemarin. Ingat sikap baiknya ibu mertua kemarin jadi kangen pengin ngobrol banyak.

Sebenarnya dari dulu aku merindukan kasih sayang mertua karena aku sudah kehilangan Ibu saat kelas 1 SMP. Buru-buru aku masak bubur kacang hijau kesukaan Ibu biar wadah nggak kembali dalam keadaan kosong. Sekali kali nyenengin hati mertua biar disayang mertua.

Setelah bubur matang, dengan mengendarai motor, aku menuju rumah Ibu. Tidak sampai satu jam sudah sampai lewat jalan karena lewat jalan tikus.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku pada Ibu yang kebetulan sedang duduk di teras menemani anak-anak Kartika bermain.

"W*'alaikumsalam, Tiara?! Tumben?" Ibu tampak terkejut melihat kedatanganku.

"Iya, Bu. Ini mau balikin wadah. Sama tadi Tiara bikin bubur kacang hijau kesukaan Ibu. Ini mumpung masih anget dimakan dulu buburnya."

"Makasih ya, Tiara," jawab Ibu sambil menenteng wadah bubur ke dalam rumah.

Aku memilih duduk-duduk di teras sambil memperhatikan Randi dan adiknya yang sedang asyik bermain mobil mobilan. Mereka yang seperti kembar tampak rukun bermain.

Sepertinya selisih umur mereka hanya sekitar 1 tahunan. Benar-benar subur sekali Kartika itu. Kayaknya setiap tahun Kartika hamil dan melahirkan. Habis menikah pun juga langsung hamil. Bahagianya jadi Kartika yang gampang punya anak tidak seperti aku. Lamunanku dikagetkan dengan kehadiran Ibu.

"Tiara, buburmu enak. Pinter juga kamu bikin bubur." ucap Ibu sambil membawa semangkuk bubur yang membuatku terharu karena baru kali ini dipuji mertua.

"Nenek, Randi mau bubur."

"Dimas juga, Nek."

"Kalian mau? Sebentar, biar diambilin Mbak, ya."

"Mbak!" teriak Ibu lalu seorang perempuan keluar dari rumah sambil menggendong anak Kartika yang bayi.

"Iya, Bu?"

"Sini, biar Vania kugendong. Kamu ambilin anak-anak bubur kacang hijau di meja makan, ya."

"Baik, Bu," jawab perempuan itu sambil menyerahkan Vania pada Ibu.

"Mbak itu siapa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Yang ngasuh anak-anak."

"O, sekarang ada yang ngasuh?"

"Iya, suaminya Kartika nggak pengin Kartika capek-capek karena sedang hamil."

"Terus Kartika kemana, Bu? Kok nggak kelihatan."

"Kartika ..." Belum juga Ibu melanjutkan ucapannya, Randi nyaut menjawab.

"Bunda pergi sama Ayah bawa tas gede, dari kemarin belum pulang-pulang," jawab Randi polos sambil makan bubur kacang hijau yang disuapi si Mbak.

"O, Ayah Randi pulang?"

"Ayah Randi nggak kemana mana," jawab Randi yang sedikit membuatku bingung.

"Randi! Sudah itu dimakan buburnya. Kalau makan tidak boleh sambil ngomong nanti kesedak." teriak Ibu.

"Suaminya Kartika pulang, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Iya, makanya mumpung pulang, ngajak Kartika refreshing katanya. Liburan berdua."

Beruntung sekali Kartika. Begitu kali ya kalau sedang hamil. Dimanja suami. Ah, tapi Mas Fikri juga memanjakanku walaupun aku nggak pernah di ajak liburan.

Kalau Mas Fikri tugas luar kota sebenarnya sekali kali pengin ikut, sekalian liburan tapi nggak boleh. Mungkin karena setiap harinya kita juga cuma berdua jadi nggak butuh liburan berdua.

"Kenapa, Ra? Kok, malah ngelamun?" tanya Ibu membuyarkan pergulatan di pikiranku.

"Nggak pa pa, Bu. Suami Kartika sangat memanjakan Kartika ya, Bu?"

"Kamu pengin dimanja suami juga kayak Kartika? Makanya kamu hamil biar dimanja suami," ucap Ibu yang membuat dadaku nyeri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditipu Mertua dan Suami    99. Akhir yang indah

    "Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas

  • Ditipu Mertua dan Suami    98. Bulan madu (3)

    And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis

  • Ditipu Mertua dan Suami    97. Bulan madu (2)

    Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k

  • Ditipu Mertua dan Suami    96. Bulan madu

    Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb

  • Ditipu Mertua dan Suami    95. Kembali ke masa lalu (2)

    Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N

  • Ditipu Mertua dan Suami    94. Kembali ke masa lalu

    Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status