Share

3. Mertua yang menyebalkan

"Memangnya saya, Bu, yang berkehendak tidak mau hamil? Perlu Ibu tahu, saya belum hamil ini bukan hanya karena faktor dari saya tapi juga faktor dari Mas Fikri." Kuberanikan untuk membela diri.

"Terus maksudmu yang mandul Fikri begitu? Perlu kamu tahu ya, Ra. Fikri sudah terbukti tidak mandul."

"Darimana ibu membuktikan?"

"Aku ini ibunya. Aku bisa jamin Fikri sehat."

"Saya nggak bilang Mas Fikri mandul, Bu. Cuma Mas Fikri saja nggak pernah di rumah. Sering keluar kota bagaimana saya bisa hamil."

"Kamu lihat itu Kartika. Suaminya juga nggak pernah di rumah tapi nyatanya sekali tancap langsung jadi. Sebulan setelah pernikahannya, dia langsung isi, Ra."

Rasanya sakit dibanding bandingin tapi tak ada guna membela diri. Aku akan selalu di posisi yang salah. Lebih baik pulang saja daripada semakin sakit hati.

"Bu, Tiara pulang dulu ya. Sudah sore," pamitku sambil mencium tangan Ibu. Tetapi baru saja mau beranjak, tiba-tiba hujan turun sangat deras.

"Hujan, jangan pulang dulu." Ibu menahanku yang membuat rasa kesal ini sedikit melentur.

Akhirnya aku masuk ke rumah menunggu hujan reda. Tapi sampai menjelang magrib hujan belum juga berhenti.

"Sudah, Ra. Kamu nginep di sini saja. Sudah mau malem. Hujannya juga awet itu. Lagian kamu juga di rumah sendiri, kan?"

"Tapi Tiara nggak bawa ganti, Bu."

"Pakai dulu punya Kartika. Kegedhean dikit nggak pa pa, kan. Lagian kamu punya badan kok kerempeng begitu. Perempuan itu yang padet gitu, Ra, keliatan seger biar suami suka. Kayak Kartika itu."

Rasanya pengin kubungkam pakai lakban seandainya mulut itu bukan punya mertua. Kayaknya kok nggak ada sisi baikku di mata Ibu.

"Kerempeng-kerempeng begini toh anakmu juga dulu yang tergila gila padaku, Bu. Bahkan baru kenal sebulan langsung ngebet pengin ngelamar," batinku kesal tapi berusaha menahan diri.

Akhirnya kuputuskan menginap juga. Setelah mandi aku berniat pinjam baju Kartika pada Ibu.

"Mbak, Ibu mana?" tanyaku pada si Mbak yang lagi memandikan anak-anak Kartika.

"Di kamar Bu Kartika."

Aku bergegas ke kamar Kartika. Pintunya terbuka, terlihat Ibu sedang berbaring memeluk Vania.

"Bu ..." panggilku sambil mengetuk pintu.

"Eh, Tiara. Ada apa?"

"Tiara mau pinjem baju Kartika."

"Tunggu di situ. Nggak usah masuk. Biar Ibu yang ambilkan." tiba-tiba Ibu menutup pintu kamar membiarkanku menunggu di luar pintu.

Aneh. Apa aku ini dianggap punya jiwa maling sampe segitu takutnya kalau aku masuk kamar Kartika.

"Nih bajunya!" Ibu menyodorkan baju setelah pintu kamar dibuka.

Dan benar saja kata Ibu, baju Kartika kedodoran kupake di tubuhku. Tak apalah daripada nggak ganti baju.

Baru menyadari, malam ini adalah pertama kali aku nginap di rumah mertua setelah 10 tahun menikah. Entahlah Mas Fikri tidak pernah mengajakku menginap di sini. Dan bagiku itu kebetulan karena aku juga malas nginep di rumah mertua.

Anak-anak sudah tidur. Aku dan Ibu duduk di ruang tengah. Sedikit membosankan ketika menemani Ibu menonton acara sinetron di televisi yang tidak kusuka.

"Bu, Tiara boleh lihat album foto keluarga ini? Pengin tahu masa kecil Mas Fikri," kucoba mencari kesibukan untuk menghilangkan kebosanan.

"Tuh, ambil di lemari itu," jawab Ibu sambil menunjuk lemari kaca di samping rak tv.

Dengan berjinjit kuambil beberapa album foto. Membuka album pertama, sebuah foto yang terpampang membuat degup di dada tiba-tiba berdenyut cepat. Mas Fikri yang memakai seragam SMA terlihat memeluk Kartika dari belakang yang masih memakai seragam SD.

Itu hanyalah pelukan seorang kakak pada adiknya. Tapi tetap saja dada ini terasa nyeri karena meski masih SD tapi badan Kartika terlihat bongsor dan dadanya sudah terlihat seperti seorang gadis remaja. Buru-buru kubalik saja lembar berikutnya.

Dan benar kata Mas Fikri kalau dia dan Kartika itu dari kecil sangat dekat dan selalu bersama dalam suka dan duka. Terlihat di album ini yang dipenuhi dengan foto Mas Fikri dan Kartika yang tak terpisahkan. Kartika kecil yang digendong Mas Fikri, disuapin dan di pangku. Terlihat sekali rasa sayang Mas Fikri pada Kartika.

Dan saat Kartika sudah memakai seragam SMA pun masih saja mereka dekat dan kompak. Terlihat foto Mas Fikri yang sepertinya sudah kuliah dan menggandeng tangan Kartika yang memakai seragam SMA. Selain itu banyak sekali foto-foto kebersamaan dan keceriaan mereka.

Entahlah, apa itu berarti aku bersalah sudah melarang Mas Fikri untuk mempedulikan Kartika bahkan menyuruhnya untuk menjauhinya.

Sudah seharusnya aku menerima kenyataan bahwa mereka adalah 2 bersaudara yang tidak terpisahkan. Mereka kakak adik yang saling menyayangi sampai sekarang. Mas Fikri hanya ingin tetap melindungi dan membantu Kartika disaat suaminya tidak ada.

Apa aku yang terlalu berlebihan sudah cemburu dengan Kartika. Tapi aku memang sangat iri dengan Kartika. Beruntungnya dia punya kakak yang sangat menyayanginya dan punya suami yang begitu memanjakannya. Begitu sempurna kehidupan Kartika.

"Bu, nggak ada foto-foto pernikahan Kartika yang kemarin? Tiara pengin lihat. Kan dulu Tiara nggak datang." Tiba-tiba aku kembali penasaran dengan suami Kartika yang begitu memanjakan Kartika.

"Ya, ada. Disimpan sama Kartika," jawab Ibu dengan mata yang masih fokus pada sinetron di televisi.

Akhirnya aku memilih tidur setelah puas melihat album foto.

Besoknya pagi-pagi aku sudah bersiap untuk pulang ketika terdengar suara tangisan Randi dan Dimas seperti sedang berantem.

"Ini punya Randi!"

"Kata Ayah itu buat Dimas!"

"Buat Randi!"

"Sudah! Sudah! Kalian rebutan apa sih?" Aku mencoba melerai Dimas yang berusaha merebut sebuah mainan dari tangan Randi sambil menjambak rambut Randi

"Dimas, sini mainannya kasih Budhe."

"Nggak mau kata Ayah Fikri ini buat Dimas." Aku tersentak ketika nama Mas Fikri disebut Dimas.

"Dimas, Ayah Dimas itu bukan Fikri. Fikri itu pakdhenya Dimas. Jangan panggil Ayah Fikri! Panggil Pakdhe Fikri!" teriakku geram, aku tidak rela mereka menyebut Mas Fikri Ayah.

"Nggak mau! Ayah Dimas Ayah Fikri." Masih saja anak itu ngeyel.

"Dimas kan sudah punya ayah baru. Coba budhe tanya siapa nama ayah baru Dimas dan Randi?"

"Ayah Fikri!" jawab Dimas yang membuatku semakin geram.

"Randi, Budhe tanya siapa nama ayah barumu?!" bentakku pada Randi berharap Randi yang umurnya lebih tua bisa paham pertanyaanku.

"Randi nggak punya ayah baru. Ayah Randi Ayah Fikri!" teriak Randi yang membuat kesabaranku akhirnya hilang.

Dengan reflek, tanganku mencubit pelan paha Randi tapi membuat Randi menangis kencang.

"Nenek! Budhe Tiara jahat! Sakit Nenek! Neneeeek!" Ibu yang sedang dibelakang pun akhirnya datang mendengar teriakan Randi yang melengking.

"Tiara, kamu apain anak-anak?!"

"Tiara cuma nggak rela, Bu mereka memanggil Mas Fikri dengan sebutan Ayah Fikri! Mereka sudah punya ayah baru. Tiara hanya pengin membiasakan mereka menyebut Ayah baru mereka bukan Ayah Fikri."

"Kamu itu seorang guru harusnya bisa mengerti dong, Tiara. Mereka masih anak-anak yang tidak bisa dipaksa. Randi dan Dimas sudah terbiasa menyebut Fikri ayah. Dan sebenarnya mereka memang belum bisa menerima kehadiran ayah baru mereka. Keadaan dimana ayah barunya yang 6 bulan sekali baru bisa pulang membuat mereka belum bisa dekat dengan ayah barunya. Berbeda dengan Fikri yang tiap hari ke sini menemui anak-anak."

"Apa, Bu?! Mas Fikri tiap hari kesini?!" Dadaku bergemuruh mendengar ucapan Ibu, bagaimana mungkin Mas Fikri membohongiku.

"Maksud Ibu ... Maksud Ibu anak-anak lebih sering bertemu Fikri daripada Ayah barunya, Ra." Kutatap tajam mata Ibu yang dari tadi seperti orang kebingungan.

"Itu berarti Mas Fikri tiap hari ke sini kan, Bu? Iya kan, Bu?!" Tanyaku sedikit membentak dan Ibu tertunduk diam.

"Jawab, Bu!" Aku terus berusaha mendesak Ibu karena aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan Ibu.

"Iya, Ra. Tapi seringnya cuma mampir sebentar pas istirahat atau pas pulang kerja. Apa salah seorang anak yang pengin nengok ibunya? Salah, Ra?!"

"Tiara hanya tidak suka dibohongi, Bu. Apa susahnya Mas Fikri pamit pada Tiara!"

"Karena Fikri yakin kalau pamit bakalan tidak kamu ijinkan!" jawab Ibu.

"Tentu saja! Buat Tiara saja Mas Fikri kekurangan waktu kenapa masih sempat dan ada waktu main ke sini?! Bahkan hampir tiap hari! Jangan-jangan ini alasan Mas Fikri tiap hari pulang malam! Karena ingin menyenangkan hati Ibu dan anak anak Kartika. Padahal istrinya yang di rumah merana dan kesepian!"

"Jangan jadi istri egois kamu, Ra. Bagaimanapun Fikri itu punya Ibu yang masih hidup. Tolong kamu mengerti, Fikri itu satu satunya anak Ibu. Wajar kalau dia pengin membahagiakan ibunya."

"Tiara nggak pernah melarang Mas Fikri membahagiakan Ibu tapi semua ada porsinya, Bu, karena Mas Fikri sudah berkeluarga. Mas Fikri punya istri!"

"Dan kamu tidak pernah mau tahu, kan, kalau Fikri itu sebenarnya kesepian di rumah. Dia merindukan pulang kerja disambut anak-anak, merindukan rumah yang ramai dengan anak-anak. Makanya pulang kerja dia lebih suka ke sini daripada pulang ke rumah! Paham kamu?! Jangan jadi istri egois yang cuma mementingkan kebahagiaan sendiri,Ra!"

"Tolong, Bu, jangan campuri urusan rumah tangga Tiara! Tiara yakin Mas Fikri tidak seperti itu kalau tidak dipengaruhi Ibu! Tiara permisi. Assalamu'alaikum!" Kutinggalkan rumah itu dengan membawa perasaan yang tercabik cabik, bergemuruh, campur aduk antara rasa marah, kecewa, benci, tidak terima dengan keadaan.

Aku lalu melajukan motor dengan cepat sambil sesekali menyeka airmata yang tak mau berhenti meluncur di pipi.

Rumah tanggaku yang seharusnya baik-baik saja, bebas dari pelakor, orang ketiga atau apalah. Tapi kenapa justru dirusuhi oleh ibu mertua dan saudara sendiri. Mereka seperti duri yang akan terus melukaiku.

Lamunanku dibuyarkan oleh sebuah mobil yang berpapasan denganku. Aku tidak asing dengan mobil itu karena ada ciri khas yang membedakannya dengan yang lain.

Mas Fikri? Bukankah seharusnya besok pulangnya? Kok nggak ngabarin aku juga kalau pulang hari ini. Lalu mau kemana dia? Pasti ke rumah ibunya. Kemana lagi.

Sangat menyakitkan ketika tahu ternyata Mas Fikri selama ini menomorduakanku. Bahkan setelah pergi beberapa hari dia langsung ke rumah ibu bukannya pulang menemui istrinya dulu. Apa kamu tidak kangen dengan istrimu ini, Mas.

Kuputar balik motorku mengejar mobil Mas Fikri yang melaju sangat cepat. Kali ini aku akan memergoki kebohonganmu selama ini, Mas. Lihat saja!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status