Beranda / Romansa / Dosa Dibalik Cadar / DDC 4: Tertangkap

Share

DDC 4: Tertangkap

Penulis: Ana_miauw
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-18 11:49:38

Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya.  

   

Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.

 

“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."

  

Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. 

    

Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. 

Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. 

   

“Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-besok, sebelum kakak pergi, kakak usahain mentingin kamu dulu.” 

  

Sammy hanya merespon dengan menepuk-nepuk tangannya dan bergumam tidak jelas. Sammy memang tidak bisa berbicara. 

 

 “Kamu tidur lagi ya Sam, ini masih terlalu pagi.”   

    

Salwa melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Salwa yakin, dalam diamnya Sammy mengerti ucapannya. Sehingga tak tunggu lama, Sammy merebahkan dirinya di sofa lalu mencoba memejamkan mata. 

   

Giliran dirinya yang juga sudah teramat lelah, ikut merebahkan diri di kamar. Ia sengaja tak menutup pintunya agar masih bisa mendengar gerak-gerik Sammy sambil mengawasinya. 

   

*** 

    

“Sal, aku duluan ya. Udah dijemput,” ucap Jihan. Di depannya sudah ada mobil putih yang baru saja berhenti. 

   

“Iya Ji, kamu hati-hati ya.” 

   

“Oke.” 

    

Salwa pun pergi meninggalkan dirinya dengan banyak teman-teman yang lain yang sedang menghiasi taman malam. Seperti biasa, menunggu pria berdompet tebal datang. 

    

Awalnya, Salwa tak berpikiran macam-macam semua terlihat baik-baik saja. Namun beberapa detik kemudian, Salwa tak menyadari kedatangan Satpol-PP yang bergerak cepat menggerebek sejumlah orang-orang di sekitarnya. 

   

“Woy, kaburr!” 

   

“Ada satpol!” 

   

“Semuanya lari?!” 

    

“Kabur!!” Sahut suara teman-teman, mengingatkan yang lain agar segera meninggalkan tempat itu. 

 

  Semua terlihat berhamburan, kelimpungan dan panik tak terkecuali dirinya. Banyak juga yang sudah tertangkap basah da ndimasukkan ke dalam mobil untuk di gelandang ke kantor Satpol PP. 

 

  

Salwa berlari secepat mungkin hingga masuk ke gang-gang kecil untuk menghindari penangkapan. Terus memacu langkah kakinya sejauh mungkin, tak peduli sudah sampai di mana. 

   

“Huft…” saat merasa lelah, Salwa berhenti di lorong gang. Merasa aman, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Mengatur nafas yang terdengar, Salwa memejamkan mata.      

“Jangan sampai aku tertangkap, Ya Tuhan … gimana nanti nasib Sammy.”   

 

Namun nahas, pada saat dirinya lengah, tiba-tiba dia sudah diapit oleh kedua laki-laki berseragam. 

   

“Mau ke mana kamu, Mbak?” 

 

Sontak Salwa merasa syok. Dia hanya berharap agar nanti ia cepat di pulangkan tanpa alasan yang memberatkan.

    

*** 

 

Tak pernah menyangka bahwa Salwa berada di tempat seperti ini, yaitu terjaring razia oleh Satpol-PP.

Ini adalah pengalaman terburuknya menjadi bahan tontonan warga setempat dan juga disorot oleh kamera.

Yang mungkin keesokan harinya akan disebar melalui media televisi atau jejak digital. Benar-benarteramat memalukan. 

    

Bersikap kooperatif adalah satu-satunya jalan agar ia bisa cepat keluar dari kantor ini. Dan merupakan termasuk proses yang cepat, karena saat ini, Salwa langsung dipindahkan ke markas untuk kemudian didata dan dimintai keterangan. 

    

“Baik, semuanya sudah selesai, terima kasih karena sudah bersikap kooperatif. Ini memudahkan kami untuk melakukan pendataan.”   

  

“Kalau begitu, kamu sudah diperbolehkan pulang,” ucap petugas yang berjenis kelamin laki-laki itu. 

   

“Terima kasih, Pak,” kata Salwa amat bersyukur. 

  

“Sama-sama, Bu.”   

  

Perasaan lega saat Salwa bisa pulang ke rumah, meskipun hari sudah berganti, matahari sudah menyingsing ke atas, pertanda hari sudah cukup siang. 

    

Salwa menghentikan angkutan umum untuk mengantarkannya sampai ke depan gapura gang masuk tempat tinggalnya.  

    

“Oh jadi ini yang semalam kena razia,” bisik ibu-ibu yang sedang melintas. 

    

“Iya bu-ibu, ih nggak tahu malu ya, kok masih aja berkeliaran.” 

 

  

“Orang tuh masuk TV karena prestasi, ini masuk TV karena terjaring razia prostitusi.” 

 

  

Rupanya dugaannya benar, pasti video penggerebekan semalam sudah tersebar luas ke mana-mana.

Sial. 

   

“Malu-maluin kampung kita aja.” 

   

“Iya, malu-maluin!” 

    

Banyak yang sedang mencibirnya ketika ia melewati perkampungan. Menghakimi pekerjaannya yang hina seolah-olah merekalah yang paling benar. Salwa hanya mampu membatin dalam diam.  

    

Semua tahu, pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang menjijikkan. Tapi sebagian dari mereka hanya bisa menilai dari sisi gelapnya saja.

Hanya bisa mencela terus-terusan bahwa pekerjaannya kotor. Tapi tidak ada niat untuk membantu ataupun mengulurkan tangan.

Padahal jelas mereka tahu seperti apa kehidupan Salwa yang serba kekurangan itu. Sebaliknya, mereka malah menjauhi seperti melihat layaknya sebuah bahaya yang mengancam. 

    

Setiap orang mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Kita sering kali menjadi hakim dan jaksa kesalahan orang lain, tanpa mau mengetahui penyebab ia melakukan itu.  

    

Salwa terus berjalan dengan menutup telinga kanan kirinya. Hingga sampai ia di depan rumah, tiba-tiba ia dikagetkan dengan beberapa orang yang sudah berkumpul di depan rumahnya. 

    

“Maaf Pak, ini ada apa ya?” tanya Salwa. Dilihatnya, pintu rumah sudah rusak tergeletak di tanah karena didobrak paksa. Ya Tuhan, ada apa ini? Batinnya tak tenang. 

   

“Yang sabar ya, mbak Salwa,” ucap pak RT setempat. 

 

“Seharusnya, kalau punya adik seperti itu jangan ditinggal terlalu lama, Mbak,” sahut yang lain. 

  

Salwa semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya mampuberdiri dengan raut wajah kebingungan. Berusaha mencerna apa yang sedang mereka sampaikan.

Tapi entah mengapa otaknya tak mampu memproses apa yang mereka maksud? Kenapa mereka tidak menjelaskannya secara gamblang? 

   

“Sekali lagi yang sabar mbak Salwa,” ucap Pak RT. 

    

“Maaf kami menemukan dia dalam keadaan sudah—”   

  

“Apa sih, kalian!” selak Salwa cepat, “ngomong itu yang jelas.”   

  

“Kami sempat mendengar Sammy teriak-teriak, makanya kami curiga. Pak Dahlan yang mendengarnya pertama kali,” kata Pak RT menjelaskan. “Setelah mengumpulkan orang kami datang kesini, tapi karena pintu dikunci, kami terpaksa mendobraknya. Tapi nahas, nyawa—”  

 

  

“Sammy!” pekik Salwa. Ia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihatnya di depan mata kini menjadi tragedi yang paling dahsyat dalam hidupnya. Meruntuhkan seluruh harapan dan impian. Membuat hatinya kosong melompong dalam sekejap. Bahwa memang ia harus menerima, hari esok, ia sudah benar-benar sebatang kara. Ia melihat Sammy terbaring menghadap utara dengan tubuh yang sudah ditutup kain jarik miliknya. 

   

“Aaaaaaaaaaahhhhhh Sammyyyyyy,” raungnya begitu kencang melihat sosok yang telah tiada tersebut. Sungguh memilukan. Sakit tak terperi.

  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 77: End

    Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 76: Menjemput Kesayangan

    Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 75: With You

    Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 74: Penyesalan Seorang Pengkhianat

    “Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 73: Meminta Maaf

    “Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 72: Menguping Pembicaraan Maryam

    Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status