āYatim piatu?ā
Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan.
āIbunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.ā
āAjeng punya nenek?ā
āIya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.ā
āOh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?ā
āSetiap hari,ā katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. āBapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-buahan yang murah karena beliau punya toko kue. Peninggalan istrinya.ā
Kalimat diakhir itu memberikan rasa kejut yang alami. āMaksudmu, Rico juga nggak punya Ibu?ā tanyaku hati-hati. Esa pun membenarkan.
āBeliau meninggal saat melahirkan Nana.ā
āNana ini adiknya Rico?ā
āIya. Memang kamu pikir adiknya siapa?ā
āKupikir adiknya Ajeng karena mereka mirip.ā
āKebanyakan anak kecil memang punya wajah yang mirip-mirip. Mangkanya rawan tertukar kalau di rumah sakit.ā
āItu kan yang baru lahir memang sulit dibedakan. Tapi ini, mereka benar-benar mirip, lho,ā tukasku berusaha membandingkan keduanya. Esa hanya terkekeh sambil menenggak minuman kalengnya.
āSudah ditakdirkan bertemu mungkin. Mangkanya mirip.ā
Cukup menarik. Aku jadi ingin berdiskusi padanya tentang pertemuan kami juga yang apakah diatur oleh takdir atau tidak, namun bibir ini hanya menyuarakan hal lain.
āTerus, kamu kenal ayahnya Rico dari mana?ā
Ia tengah asyik merasakan bagaimana kedua kakinya menggesek-gesek rumput yang baunya menjelang senja terasa dingin. Senyuman canggung yang terlihat selalu sama disetiap waktu itu pun seolah tengah menegurku karena banyak bertanya. Tapi anehnya ia selalu sanggup menjawab dengan sepenuh hati.
āAku mantan karyawannya,ā katanya sambil meletakkan kaleng minumannya yang sudah habis. āTapi sudah resign setahun yang lalu.ā
Mungkin mempertanyakan kenapa dia resign hanya akan membuatku terlihat seperti penguntit sungguhan. Kalau begitu, mengangguk pelan adalah cara terbaik.
āKamu nggak bertanya, kenapa aku resign atau perusahaan apa yang ayahnya Rico punya?ā
Batinku terlonjak. Antusiasme pun mulai bergejolak. āBoleh?ā tanyaku dengan kedua mata membulat. Esa pun tertawa.
āBoleh lah. Kita, ākan, bakal kerja bareng. Jadi harus terbuka.ā
āMemang apa jawabannya dari dua pertanyaan tadi?ā
āAku resign karena bosan lalu perusahaan ayahnya Rico bergerak di bidang Properti.ā
āKamu bagian apa di sana?ā
āTidak tahu juga disebut bagian apa. Aku hanya melakukan ini dan itu sesuai perintah beliau.ā
āMungkin kamu sudah menjadi tangan kanannya. Tapi, kamu bosan karena itu?ā
Ia menggeleng.āBukan,ā ucapnya dengan dagu yang mengkerut, kemudian berkata dengan nada yang pelan.
āAku hanya takut masuk penjara.ā
Aku menaikkan alis lebih ke atas. Jelas tidak mengerti maksudnya.
āMaksudmu?ā
āIni sebenarnya rahasia besar. Kamu bisa jaga rahasia?ā
āAku nggak yakin, tapi bakal kuusahakan sebaik mungkin.ā
Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan sangat hati-hati. Berpikir keras.
āPerusahaan ini letaknya di Jakarta. Namun dikelola oleh ayahnya Rico dari jarak jauh untuk bersembunyi. Entah sejak kapan aku dimanfaatkan Ayahnya Rico untuk mencuri data-data perusahaan yang lain demi keuntungan perusahaan. Gajiku besar. Bahkan cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Tapi aku tidak tahu dan cukup gelisah kapan seandainya bom waktu akan menimpaku lalu gaji dan kerja kerasku hanya dibuang percuma. Aku ingin kabur tapi tidak bisa.ā
Cerita yang cukup singkat untuk sebuah rahasia, tapi ter-arsir jelas di wajahnya bahwa ia memiliki kecemasan yang cukup mendalam.
āKatanya aku harus berlindung di bawahnya agar aman.ā
āKamu, seorang hacker?ā tanyaku mengetuk fakta. Ia pun terkejut.
āKamu tahu istilah itu?ā
āOrang beranggapan itu pekerjaan haram, hei, sembilan dari sepuluh orang juga tahu istilah itu.ā
Bisa-bisanya ia menggerakkan bahu saat terkekeh. Bukan, maksudku, bahkan sempat-sempatnya ia terkekeh.
āItu bukan pekerjaan haram, Nom. Hanya saja peluang untuk mendapatkan uang dari pekerjaan itu yang haram.ā
āPantas saja Bu Ros mengatakan kalau kamu orang yang berbahaya.ā
āBu Ros bilang begitu?ā Ia mulai gusar. Tatapannya pun menjadi tajam. āBerarti aku harus pindah lagi.ā
āKenapa?ā tanyaku. Ia menampik hal itu dengan menggeleng. Kemudian menimpa pertanyaanku dengan pertanyaan lain.
āBu Ros bilang apa ke kamu?ā
āKatanya kamu itu semacam mafia yang gemar menjual anak-anak kecil.ā
Gusarnya mendadak hilang tergantikan dengan suara tawa yang membeludak.
āKenapa?ā tanyaku heran.
āKalau aku menjual anak-anak, kenapa juga harus repot-repot merekrutmu?ā
āApa aku berbakat menjadi penjahat?ā
āNah itu dia.ā
Sebenarnya, ceritanya barusan yang tanpa sengaja menunjukkan bahwa ia seorang hacker sudah mengagetkan Sembilan puluh Sembilan persen dari kesadaranku. Aku seolah punya kebiasaan untuk menyerap emosi yang orang simpan dan salah satunya adalah rasa khawatir. Hal itu diam-diam mengalir padaku lebih kuat dan yang bisa kulakukan hanya berusaha berpikir lebih hati-hati untuk mengambil keputusan terbaik nantinya.
āLalu sekarang kamu masih di dalam pengawasannya?ā
āHm. Aku dialihkan menjadi guru privat-nya Rico dan sebenarnya diberi tempat tinggal di sana.ā
āTerus? kenapa kamu menyewa kos yang hanya enam ratus ribu per bulan?ā
āRumahnya Rico terasa lebih menyeramkan. Aku lebih takut tertangkap badan intelijen Negara saat berada di rumah itu dibanding menyamar jadi orang sederhana yang tinggal di kos. Entah bagaimana pun caranya ayahnya Rico akan melindungi privasiku, yang pasti untuk sekarang aku hanya ingin hidup bebas. Rico dan Nana tidak punya baby siter karena katanya trauma anaknya pernah dianiaya. Sedangkan mau mencari pengasuh bersertifikat pun tidak ada di Lombok.ā
āAyahnya Rico tidak punya waktu untuk mengurusi anaknya?ā
āDua kali seminggu ia pergi bolak-balik ke luar daerah bahkan luar negeri. Mana tega ia bawa anaknya ke sana ke mari, biarpun pengawalnya ada seratus orang.ā
āIa tidak punya saudara?ā
āItu aku tidak tahu. Ia hanya mempercayakanku seolah menjadikan anak-anaknya jaminan apabila ia tidak berhasil melindungiku. Katanya aku bisa membawa kabur atau menyandra atau semacamnya apabila hal yang tidak diinginkan terjadi padaku. Tapi aku mana tega berbuat begitu pada anak-anak.ā
āBenar-benar gila,ā pikirku. Namun kulontarkan.
āSiapa?ā tanya Esa.
Aku tersadar. āAku.ā
Kemudian ia memiringkan kepalanya.āKenapa kamu yang jadi gila?ā
āSebab semua informasi yang kamu berikan itu masih belum bisa kupercaya namun mustahil kamu mengarangnya dalam sekali tarikan napas begitu saja tadi.ā
Esa menggeleng-geleng sambil mencabut rumput satu per satu. Mengisi jeda dengan membuat sesuatu yang tak berarti.
āKalau mau, kamu boleh mengundurkan diri dari sekarang.ā
āKenapa? apakah ini membahayakanku juga?ā
Ia melihatku prihatin, sebelum kemudian mengangguk pelan. āBisa jadi.ā
Aku tercenung dengan kaki yang terasa kebas karena kesemutan. Mengambil napas perlahan untuk mencoba menyikapinya dengan kepala dingin.
āLalu kenapa kamu minta bantuanku dari awal kalau kamu sudah tahu aku akan dalam bahaya?ā
Esa melihatku. Melihatku tanpa ada niatan sedikitpun untuk memberikan alasannya yang selalu terdengar masuk akal di kepalaku.
āMaafkan aku.ā
Bukan ini yang kumau.
***
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. āNoumi,ā panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. āKamu masuk dulu,ā katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. āHai, sayang,ā sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
āEsaā¦!ā panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. āApa?ā āKamu mau taruh anak-anak di mana?ā āDi kamarku.ā āKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. āHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. āAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā āKasurku tidak muat buat lima anak.ā āYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā āKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah cafĆ©. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. āHai, Noumi.ā āHai,ā jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. āKapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?ā tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. āKamu sama temanmu waktu itu, bukan?ā Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. āTeman?ā lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. āI
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. āIni hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
āIni kartu namamu,ā ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. āHati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.ā āIya,ā kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. āAku boleh ke toilet sebentar?ā āBoleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.ā āHm,ā jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya cafĆ© ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. āKakā¦ā āOh!ā Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. āSaya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,ā katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. āTes.ā Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. āKamu yakin?ā āYakin.ā Kira-kira, begitu dialognya. āOke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?ā Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid