Share

13. Celaka

ā€œYatim piatu?ā€

Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan.

ā€œIbunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.ā€

ā€œAjeng punya nenek?ā€

ā€œIya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.ā€

ā€œOh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?ā€

ā€œSetiap hari,ā€ katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. ā€œBapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-buahan yang murah karena beliau punya toko kue. Peninggalan istrinya.ā€

Kalimat diakhir itu memberikan rasa kejut yang alami. ā€œMaksudmu, Rico juga nggak punya Ibu?ā€ tanyaku hati-hati. Esa pun membenarkan.

ā€œBeliau meninggal saat melahirkan Nana.ā€

ā€œNana ini adiknya Rico?ā€

ā€œIya. Memang kamu pikir adiknya siapa?ā€

ā€œKupikir adiknya Ajeng karena mereka mirip.ā€

ā€œKebanyakan anak kecil memang punya wajah yang mirip-mirip. Mangkanya rawan tertukar kalau di rumah sakit.ā€

ā€œItu kan yang baru lahir memang sulit dibedakan. Tapi ini, mereka benar-benar mirip, lho,ā€ tukasku berusaha membandingkan keduanya. Esa hanya terkekeh sambil menenggak minuman kalengnya.

ā€œSudah ditakdirkan bertemu mungkin. Mangkanya mirip.ā€

Cukup menarik. Aku jadi ingin berdiskusi padanya tentang pertemuan kami juga yang apakah diatur oleh takdir atau tidak, namun bibir ini hanya menyuarakan hal lain.

ā€œTerus, kamu kenal ayahnya Rico dari mana?ā€

Ia tengah asyik merasakan bagaimana kedua kakinya menggesek-gesek rumput yang baunya menjelang senja terasa dingin. Senyuman canggung yang terlihat selalu sama disetiap waktu itu pun seolah tengah menegurku karena banyak bertanya. Tapi anehnya ia selalu sanggup menjawab dengan sepenuh hati.

ā€œAku mantan karyawannya,ā€ katanya sambil meletakkan kaleng minumannya yang sudah habis. ā€œTapi sudah resign setahun yang lalu.ā€

Mungkin mempertanyakan kenapa dia resign hanya akan membuatku terlihat seperti penguntit sungguhan. Kalau begitu, mengangguk pelan adalah cara terbaik.

ā€œKamu nggak bertanya, kenapa aku resign atau perusahaan apa yang ayahnya Rico punya?ā€

Batinku terlonjak. Antusiasme pun mulai bergejolak. ā€œBoleh?ā€ tanyaku dengan kedua mata membulat. Esa pun tertawa.

ā€œBoleh lah. Kita, ā€˜kan, bakal kerja bareng. Jadi harus terbuka.ā€

ā€œMemang apa jawabannya dari dua pertanyaan tadi?ā€

ā€œAku resign karena bosan lalu perusahaan ayahnya Rico bergerak di bidang Properti.ā€

ā€œKamu bagian apa di sana?ā€

ā€œTidak tahu juga disebut bagian apa. Aku hanya melakukan ini dan itu sesuai perintah beliau.ā€

ā€œMungkin kamu sudah menjadi tangan kanannya. Tapi, kamu bosan karena itu?ā€

Ia menggeleng.ā€œBukan,ā€ ucapnya dengan dagu yang mengkerut, kemudian berkata dengan nada yang pelan.

ā€œAku hanya takut masuk penjara.ā€

Aku menaikkan alis lebih ke atas. Jelas tidak mengerti maksudnya.

ā€œMaksudmu?ā€

ā€œIni sebenarnya rahasia besar. Kamu bisa jaga rahasia?ā€

ā€œAku nggak yakin, tapi bakal kuusahakan sebaik mungkin.ā€

Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan sangat hati-hati. Berpikir keras.

ā€œPerusahaan ini letaknya di Jakarta. Namun dikelola oleh ayahnya Rico dari jarak jauh untuk bersembunyi. Entah sejak kapan aku dimanfaatkan Ayahnya Rico untuk mencuri data-data perusahaan yang lain demi keuntungan perusahaan. Gajiku besar. Bahkan cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Tapi aku tidak tahu dan cukup gelisah kapan seandainya bom waktu akan menimpaku lalu gaji dan kerja kerasku hanya dibuang percuma. Aku ingin kabur tapi tidak bisa.ā€

 Cerita yang cukup singkat untuk sebuah rahasia, tapi ter-arsir jelas di wajahnya bahwa ia memiliki kecemasan yang cukup mendalam.

ā€œKatanya aku harus berlindung di bawahnya agar aman.ā€

ā€œKamu, seorang hacker?ā€ tanyaku mengetuk fakta. Ia pun terkejut.

ā€œKamu tahu istilah itu?ā€

ā€œOrang beranggapan itu pekerjaan haram, hei, sembilan dari sepuluh orang juga tahu istilah itu.ā€

Bisa-bisanya ia menggerakkan bahu saat terkekeh. Bukan, maksudku, bahkan sempat-sempatnya ia terkekeh.

ā€œItu bukan pekerjaan haram, Nom. Hanya saja peluang untuk mendapatkan uang dari pekerjaan itu yang haram.ā€

ā€œPantas saja Bu Ros mengatakan kalau kamu orang yang berbahaya.ā€

ā€œBu Ros bilang begitu?ā€ Ia mulai gusar. Tatapannya pun menjadi tajam. ā€œBerarti aku harus pindah lagi.ā€

ā€œKenapa?ā€ tanyaku. Ia menampik hal itu dengan menggeleng. Kemudian menimpa pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

ā€œBu Ros bilang apa ke kamu?ā€

ā€œKatanya kamu itu semacam mafia yang gemar menjual anak-anak kecil.ā€

Gusarnya mendadak hilang tergantikan dengan suara tawa yang membeludak.

ā€œKenapa?ā€ tanyaku heran.

ā€œKalau aku menjual anak-anak, kenapa juga harus repot-repot merekrutmu?ā€

ā€œApa aku berbakat menjadi penjahat?ā€

ā€œNah itu dia.ā€

Sebenarnya, ceritanya barusan yang tanpa sengaja menunjukkan bahwa ia seorang hacker sudah mengagetkan Sembilan puluh Sembilan persen dari kesadaranku. Aku seolah punya kebiasaan untuk menyerap emosi yang orang simpan dan salah satunya adalah rasa khawatir. Hal itu diam-diam mengalir padaku lebih kuat dan yang bisa kulakukan hanya berusaha berpikir lebih hati-hati untuk mengambil keputusan terbaik nantinya.

ā€œLalu sekarang kamu masih di dalam pengawasannya?ā€

ā€œHm. Aku dialihkan menjadi guru privat-nya Rico dan sebenarnya diberi tempat tinggal di sana.ā€

ā€œTerus? kenapa kamu menyewa kos yang hanya enam ratus ribu per bulan?ā€

ā€œRumahnya Rico terasa lebih menyeramkan. Aku lebih takut tertangkap badan intelijen Negara saat berada di rumah itu dibanding menyamar jadi orang sederhana yang tinggal di kos. Entah bagaimana pun caranya ayahnya Rico akan melindungi privasiku, yang pasti untuk sekarang aku hanya ingin hidup bebas. Rico dan Nana tidak punya baby siter karena katanya trauma anaknya pernah dianiaya. Sedangkan mau mencari pengasuh bersertifikat pun tidak ada di Lombok.ā€

ā€œAyahnya Rico tidak punya waktu untuk mengurusi anaknya?ā€

ā€œDua kali seminggu ia pergi bolak-balik ke luar daerah bahkan luar negeri. Mana tega ia bawa anaknya ke sana ke mari, biarpun pengawalnya ada seratus orang.ā€

ā€œIa tidak punya saudara?ā€

ā€œItu aku tidak tahu. Ia hanya mempercayakanku seolah menjadikan anak-anaknya jaminan apabila ia tidak berhasil melindungiku. Katanya aku bisa membawa kabur atau menyandra atau semacamnya apabila hal yang tidak diinginkan terjadi padaku. Tapi aku mana tega berbuat begitu pada anak-anak.ā€

ā€œBenar-benar gila,ā€ pikirku. Namun kulontarkan.

ā€œSiapa?ā€ tanya Esa.

Aku tersadar. ā€œAku.ā€

Kemudian ia memiringkan kepalanya.ā€œKenapa kamu yang jadi gila?ā€

ā€œSebab semua informasi yang kamu berikan itu masih belum bisa kupercaya namun mustahil kamu mengarangnya dalam sekali tarikan napas begitu saja tadi.ā€

Esa menggeleng-geleng sambil mencabut rumput satu per satu. Mengisi jeda dengan membuat sesuatu yang tak berarti.

ā€œKalau mau, kamu boleh mengundurkan diri dari sekarang.ā€

ā€œKenapa? apakah ini membahayakanku juga?ā€

Ia melihatku prihatin, sebelum kemudian mengangguk pelan. ā€œBisa jadi.ā€

Aku tercenung dengan kaki yang terasa kebas karena kesemutan. Mengambil napas perlahan untuk mencoba menyikapinya dengan kepala dingin.

ā€œLalu kenapa kamu minta bantuanku dari awal kalau kamu sudah tahu aku akan dalam bahaya?ā€

Esa melihatku. Melihatku tanpa ada niatan sedikitpun untuk memberikan alasannya yang selalu terdengar masuk akal di kepalaku.

ā€œMaafkan aku.ā€

Bukan ini yang kumau.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status