Semoga bisa konsisten menamatkan buku ini. Amin
Keesokan harinya, aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit kota memberitahukan bahwa hari ini Olin sudah bisa pulang. Dan aku dengan Esa masih belum selesai memikirkan bagaimana cara memberitahukan Olin secara hati-hati bahwa kakaknya sudah meninggal. Terlebih meningggalnya karena dibunuh teman kakaknya sendiri. Tadi malam Esa mengacak-ngacak rambutnya sambil memohon. Ia sama sekali belum siap dengan kenyataan bahwa Olin bisa saja membencinya seumur hidup. โBagaimana kalau kita sembunyikan dulu untuk saat ini?โ โSampai kapan? Sampai Olin dewasa?โ kataku seolah tanpa emosi. Menaikan kedua kaki di atas sofa untuk bersila. โCepat atau lambat, mau tidak mau, seberapa lama pun disembunyikan, ia akan tetap membenci kamu karena telah membunuh kakaknya.โ โTapi anak itu masih sangat kecil buat merasakan sakit, Nom. Aku sayang banget sama dia dan dia juga sayang banget sama aku. Aku nggak siap untuk dibenci sekarang.โ โKita bisa ngomong pelan-pelan, Sa. Kita jelaskan ken
โTapi aku ngerti, kok, kalau semua pasti ada waktunya. Olin belum cukup pulih, sementara kamu juga sedang sakit. Kalau Olin diberitahu sekarang, mungkin dia akan membenci kamu dan malah menyakiti dirinya sendiri. Ia tidak akan bertumbuh dengan maksimal. Anak-anak belum punya kemampuan berpikir yang mumpuni tentang dunia orang dewasa, kan. Dan lebih-lebih jika kamu memberitahukan semuanya sekarang, mungkin skizofreniamu akan semakin menjadi-jadi. Mungkin semua akan lebih hancur dari sekarang. Itu mangkanya kamu bersikukuh agar semua tetap stabil, kan?โ Esa tak bergeming. Bibirnya pucat sedangkan kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku mengelus lengannya pelan. โSemua orang di dunia ini ternyata sakit, Sa. Kamu nggak boleh berpikir kamu sedang sendiri, nanti kamu cepat capek. Keberadaan aku di sini bukan hanya sekadar menemani kamu, Tapi juga menemani rasa sakitmu. Karena aku punya itu.โ Esa pun akhirnya mengusap air mata yang menetes di pipinya. Mengangguk membenarkan perkataanku lalu m
โBu guru nggak tahu Rico. Mungkin bisa jadi karena malas makan,โ terangku dengan hati-hati. Melihat Esa yang masih membeku sudah cukup membuatku ketar-ketir setengah mati. โKasihan kakak Olin, ya. Nggak punya siapa-siapa,โ lanjut mereka lagi yang sukses membuat kencingku keluar. Esa terdiam jadi sekali. Postur wajahnya kaku dan ia tidak bisa melihatku dengan santai. โGimana kalau sekarang kita sarapan saja, yuk!โ โSarapan?โ Dengan mudah anak-anak teralihkan fokusnya. Aku langsung membantu Rico turun setelah menurunkan Ajeng dari gendonganku. Menggenggam tangan mereka berdua untuk berjalan ke arah dapur. Merasa heroik setelahnya karena seolah berhasil menyelamatkan nyawa anak kecil. Beberapa saat kemudian, kutengok Esa dari belakang menunduk cukup lama sambil melihat kedua tangannya. Aku tak tahu persis apa yang sedang berputar di dalam kepala sang pemikir itu namun yang pasti terakhir kali teringat di kepalaku sendiri adalah pisau kecil tajam yang bersembunyi dibalik selimut rumah
โHarus banget sekarang, ya? Anak-anak bisa sakit, lho, Noumi.โAku melihat anak-anak dengan tatapan putus asa, namun Ajeng selalu peka terhadap apa yang aku rasakan.โKita yang mau sekarang, Pak guru,โ sergahnya membelaku. Esa seketika jadi memiringkan kepalanya. Agak heran dengan pernyataan Ajeng yang tidak biasa.โKenapa? Kamu nggak lihat di luar hujan begitu, sayang? Kalau kesamber petir gimana?โAku agak terkejut mendengar kalimatnya di akhir jadi aku sedikit menaikan nada suara. โEsa! Apa-apaan, sih?โโApanya?!โ tanyanya dengan sedikit melotot. Seperti sudah mulai naik darah. Aku langsung terhenyak. Nana yang merasa gelisah langsung minta digendong olehnya. Anak itu seperti mengisyaratkan untuk jangan berkelahi karena ia jadi ketakutan. Tapi Esa mengelus punggungnya sambil menodongkan kekecawaannya padaku. โLagian kamu ngapain, sih, pakai ide aneh-aneh mau keluar sekarang. Nggak bilang-bilang lagi dari sebelumnya. Kan ada aku di sini!โBibirku terasa kelu. โAku juga nggak ada kep
Petir menyamba-nyambar. Hujan deras berderai bersama air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipi. Aku memeluk anak-anak dalam keadaan basah kuyup oleh keringat dan air mata sendiriโmeringkuk duduk di atas lantai marmer yang dingin. โPak guru โฆ. Pak guru โฆ.โ Mereka terus menangisi Esa yang telah angkat kaki dari rumahnya sendiri sekitar lima belas menit yang lalu. Meninggalkan kami semua dalam kondisi mental yang tidak baik. Tak lama, beberapa saat kemudian, kami mendengar bunyi alat-alat melayang dan terbentur di dinding dari balik pintu gelap Olin. Aku segera menggeser tubuh anak-anak ke samping untuk lekas berdiri. Mendekat dengan ketakutan yang terasa pekat namun lantang menggebrak pintu itu secara lebar-lebar. โAstaga! Olin!โ Kulihat dengan mata kepala sendiri anak itu duduk mepet berhadapan dengan dinding bersama kursi roda tengah membentur-benturkan kepalanya sendiri yang masih di bungkus perban. โOlin! Olin!โ Jantungku tak habis-habisnya terkejut. Segera kusin
Esa terkekeh saat menyadari sesuatu.โKau tahu, yang lebih mencengangkannya lagi?โ tanyanya tapi bukan bertanya. Seperti hanya mengikuti caraku berbicara. โMakasi atas Quotesnya. Cukup menghibur.โKuterima dengan gaya anak indie yang mencintai senja. Tidak menyangka pula bahwa kata-kata itu malah menghiburnya.โTapi kamu gimana dulu? Katamu pernah berada di posisi Olin waktuโeh, keadaan Olin gimana?โIa keburu mengubah topik saat menyebut anak tersebut. Ada kekhawatiran sekaligus ketakutan yang cukup pekat di matanya. Aku spontan menjawab. โBaik.โ Membuatnya tidak percaya.โSeriusan? Nggak mungkin. Pagi ini gimana keadaannya?โโSedang tidur setelah minum obat sehabis sarapan.โโDia bilang apa tentangku?โโNggak ada.โโSeriusan?โโSerius .โฆโAku memang tidak ingin membebani pikirannya dengan rasa sakit yang sudah-sudah. Namun setiap kali bertatapan lama, ia seolah mendesakku untuk berbicara jujur.โAku ini laki-laki, sayang. Nggak apa-apa. Bicara aja secara jujur. Justru saat aku tahu
โPertanyaan itu juga yang sering muncul dikepalaku belakangan ini,โ akuku beberapa saat ketika ia nyaris menumpahkan air matanya. Kemudian tersenyum lebar-lebar ketika ia melihatku dengan wajah parau. โTernyata aku nggak sendiri.โ Membuatnya mengelap air mata cepat-cepat bagai anak kecil yang dimarahi Ibunya karena terlalu banyak menangis sementara aku melompat kecil untuk menjongkok kemudian duduk tepat di depannya. โUdah jangan sedih,โ cetusku mengambang. Mengulurkan singsingan lengan panjang hingga punggung tangan untuk ikut mengelap air matanya. โItโs okay. Bukan masalah besar ketika kita nggak tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Kamu nggak punya masa lalu? Nggak jadi masalah! Kita bisa buat masa lalu itu dari sekarang.โ Aku mengangkat alis. Tersenyum sampai menyentuh pipi. โGimana?โ Membuatnya berkeluh kesah. โKenapa kamu begitu positif, Nom?โ โHm?โ Aku berpikir. Kemudian mengendikan bahu. โNggak tahu. Aku Cuma pengen bahagia. Karena mau senang atau sedih, ujung-ujungnya jug
Esa masih belum siap memampangkan muka dihadapan anak-anak. Jadi aku berinisiatif masuk lebih dulu untuk perlahan menyelipkannya kedalam perbincangan kami. Di ruang tengah, TV sedang menyala. Segala jenis mainan berhamburan. Saluran channel dari salah satu youtuber luar negeri tentang pengenalan hewan di kebun binatang menjadi tontonan mereka semua. Aku bergeming. Berpikir kapan waktu yang tepat untuk berbicara saat suara TV mendominasi pikiran dan imajinasi hingga sepenuhnya mengambil alih fokus anak-anak begini. โWah! itu gajah afrika, ya?โ tanyaku bersorak seru. Mereka malah tidak menanggapi. Kudiamkan beberapa menit dengan kaki yang mulai bergerak-gerak saat kuselonjorkan di atas karpet buludru. โOh, jadi begitu caranya memberi makan kudanil,โ kataku sambil mengangguk-angguk. โIya, iya.โ Mencoba santai namun terkesan seperti orang mabuk. โMakanannya semangka utuh, ya! Wah, hebat-hebat!โ Aku pun membuat suara ribut dengan bertepuk tangan sendiri kala melihat Monyet bergelantunga
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. โKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.โ Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. โAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?โ โMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaโmenghalalkan segala cara.โKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama โฆ. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.โIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. โAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. โKamu nggak menyesal, kan?โ tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. โAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.โ *** Wush~ โAyo kejar aku!โ kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
โBapak ada siapa aja nih, di rumah?โ tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.โIstri sama anak saya, si Soleh.โ Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.โBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!โ Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. โAyo! Ayo! mari masuk dulu.โSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.โNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?โโSendiri.โโOke, deh. Ayo kita letโs go!โSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaโmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
โTapi โฆ. tapiโโโUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.โEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.โKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,โ katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. โUpload di sini gambarnya,โ jelasnya. โPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.โโKamu kan mau memberi, bukan menjual.โโIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.โ Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
โDi sini ada yang suka baca?โ Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. โAda yang mau jadi penulis?โ tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. โSiapa namanya, sayang?โ โAli.โ โOh, Ali,โ sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. โKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?โ Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. โAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?โ Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. โTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?โ Ia mengangguk. โKira-kira, penulis itu apa, sih?โ pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. โYang nulis cerita?โ tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. โKamu baca whatssapp-ku, ya?โ tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. โHm, anu, akuโโ โLain kali jangan kayak gitu, ya.โ Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. โOke!โ seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. โTapi, untuk beberapa hari ke depan โฆ. kamu bakal membahas hal ini, kan?โ Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. โNggak dulu,โ katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. โAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir โฆ. mungkin aku bakal bahas itu.โ *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. โHei,โ kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. โAku minta maaf, ya.โ Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. โโฆ.โ Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. โItu kenapa?โ tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis