Ndaru sialan! Dalam hati Shana kembali mengumpat. Bagaimana bisa Handaru Atmadjiwo yang terkenal dingin dan tak banyak bicara bisa melakukan hal semanis itu? Tentu saja bisa! Hati Shana yang menjawab pertanyaan dari kepalanya saat ini. Bahkan Shana pernah merasakan hal yang lebih dari ini. Biar bagaimana pun Ndaru adalah seorang pria dewasa. Begitu juga dirinya yang juga wanita dewasa. "Selesai." Lamunan Shana buyar saat mendengar ucapan Ndaru. Dia berbalik melihat beberapa buah yang sudah dipotong oleh pria itu. "Tolong taruh di meja makan aja, Pak. Bapak tunggu di sana, biar saya selesaikan ini." Ndaru menurut. Namun dia tidak duduk di sana, melainkan kembali ke dapur dan menghampiri Shana. "Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanyanya tepat di belakang Shana. Membuat wanita itu tersentak karena terkejut. "Nggak ada. Bapak tunggu aja di sana." Shana menolak, lebih tepatnya dia tidak mau kehilangan fokus karena keberadaan Ndaru. Ndaru mengabaikan usiran Shana. Di
Langkah beriringan itu mulai memasuki rumah. Entah kenapa rasa rindu itu sangat terasa. Mungkin peristiwa penculikan yang menjadi penyebabnya. Kembali ke rumah seolah menjadi hal yang paling diinginkan Shana. Langkah kaki Shana melambat. Dia menatap keadaan rumah dengan kening berkerut. Suasana sangat hening, tidak ada yang menyambut mereka seperti biasanya. "Kok sepi? Orang-orang ke mana, Pak? Bibi Lasmi di mana?" Shana meletakkan tasnya di atas sofa dan berjalan ke dapur. Bermaksud mencari Bibi Lasmi. "Mereka libur." Ndaru mengikuti Shana ke dapur dan membuka lemari pendingin. Dia meraih air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas. "Semua?" Ndaru mengangguk. "Pulang kampung," jelasnya sambil meminum air putihnya. "Mereka harus menggunakan hak suaranya." Shana mengangguk mengerti. Dia berbalik meninggalkan Ndaru dan berlari kecil menaiki tangga. Senyum cerah mulai muncul di wajahnya. Semakin melebar saat melihat pintu kamarnya. Shana membuka pintu itu dan berlari menu
Berhadapan dengan kamera memang sudah biasa. Shana sudah sering mengalaminya. Memberikan senyum terbaik yang ia punya. Namun entah kenapa hari ini terasa berbeda. Yang ia rasa malah gemuruh di dada. Di balik bilik suara, sesekali Shana melempar senyum pada wartawan yang meneriakkan namanya. Dari jauh, Shana bisa melihat kerumuman wartawan yang berdiri di balik pagar pembatas. Untuk pertama kalinya Shana muncul di kamera dalam ajang politik. Meski ia membenci politik, tetapi dia harus ingat bahwa dia adalah seorang Atmadjiwo sekarang. Keluarga pembisnis yang mulai menunjukkan eksistensinya di dunia politik. "Sudah?" tanya Ndaru yang berdiri di sampingnya. Pria itu juga tengah memberikan suaranya saat ini. Shana mengangguk setelah selesai melipat kertas suaranya. Uluran tangan Ndaru menyambutnya. Awalnya Shana ragu, tetapi dia tetap menerima uluran tangan itu. Meski sempat kebingungan, Shana mengikuti apa yang Ndaru lakukan. Pria itu berdiri di depan kotak pengumpulan suara dan
"Mampus!" umpat Guna untuk yang kesekian kalinya. Dia sangat puas melihat manusia yang mengusik keluarganya akhir-akhir ini berhasil ditumbangkan. Ini bukan lagi tentang bisnis, melainkan nyawa adiknya, Haryadi Atmadjiwo. "Hukuman mati bisa, kan?" ucapnya lagi pada Radit, pengacara keluarga. "Untuk yang satu itu masih sulit karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, tapi untuk penjara seumur hidup akan saya usahakan," jawab Radit. "Untuk keluarganya?" tanya Ndaru yang masih fokus pada televisi. "Pihak berwajib akan menyelidiki semuanya, Pak. Seperti keinginan kalian, sedikit apapun keterlibatan keluarga Hasan, baik keluarga jauh atau dekat, pasti akan mendapatkan hukuman juga." "Jangan puas dulu. Nurdin masih punya banyak orang penting di belakangnya." Harris mengusap dagunya. Di tengah kemenangan yang perlahan mereka raih, dia berusaha berpikir realistis dengan gebrakan apa lagi yang akan Nurdin lalukan. Biar bagaimana pun, Nurdin memiliki banyak orang kuat yang ber
Rasa canggung memang sudah tidak ada. Namun rasanya tetap berbeda. Shana sedang tidak tinggal di rumahnya, yang artinya terbatas juga pergerakannya. Namun tak apa, semua ini demi keamanannya. Hari berlalu begitu cepat. Malam juga sudah dekat. Namun lagi-lagi tak bisa membuat mata Shana tertutup rapat. Dia malah berkerliaran ke beberapa tempat, yang berakhir bertemu seseorang yang akhir-akhir ini belum sempat ia lihat. Di taman belakang rumah, Shana mengeratkan kardigannya. Dia melangkah mendekat, menghampiri wanita yang tengah duduk sendirian di bangku taman. Tampak melamun dengan sesekali menarik napas dalam. "Nggak bisa tidur?" Shana berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu tidak menoleh. Dia kembali menarik napas dalam sebelum berbicara. "Memang kamu bisa tidur?" Shana menggeleng dan memilih untuk duduk di samping wanita itu. "Kita berdua terjebak di sini." Putri, wanita itu lagi-lagi menghela napas. "Apa ada tempat yang lebih aman dari rumah ini?" "Kenapa kamu men
"Jadi gimana kemarin? Kenapa kamu bisa tiba-tiba di rumah?" Guna mulai bertanya. Dia penasaran dengan apa yang Shana lalui. Shana mengedikan bahunya dan menghela napas pelan. "Setelah berita tentang Nurdin ramai, Mas Nendra minta aku pergi sebelum ayahnya datang." "Jadi selama ini Nendra juga di sana?" Yanti menggelengkan kepala tidak percaya. Shana mengangguk membenarkan. "Mereka siksa kamu?" tanya Guna tiba-tiba. Berhasil membuat Ndaru mendelik padanya. Pemilihan kata yang buruk. "Apa?" tanya Guna polos. "Kalau Shana terluka, bisa buat hukuman mereka semakin berat." "Mas!" Yanti mencubit lengan Guna. "Sepertinya kamu baik-baik saja." Harris mulai berbicara, dia menatap keadaan Shana yang tak ada luka maupun goresan. "Sudah pasti Nendra melindungi kamu di sana. Dia kan suka kamu." "Pa?" tegur Ndaru jengah. Ndaru meminta Shana sarapan bersama bukan untuk hal ini. "Oke. Dengarkan Papa." Harris meletakkan sendoknya. "Selama Nurdin dan Darma belum tertangkap.