Handaru Gama Atmadjiwo tidak tahu jika keputusannya untuk kembali ke Ibu Kota menimbulkan petaka. Baru satu hari tiba, dia sudah terlibat skandal dengan seorang gadis muda. Skandal yang membuat citra keluarga Atmadjiwo ternoda. Sialnya, dia harus bertanggung jawab untuk menikahinya. Pernikahan yang awalnya hanya sebatas di atas surat harus berubah ketika perasaan mulai terlibat. Tanpa Ndaru ketahui jika benang merah ternyata sudah lama terikat. Lalu ia pun dibuat bimbang untuk tetap memilih tinggal atau tak terlibat. "Apa yang kamu inginkan, Shana?" tanya Ndaru. "Saya mau Pak Ndaru menikahi saya." ***
View MoreSuara gemercik air mengalun indah di telinga. Menggetarkan hati yang merindukan ketenangan jiwa. Aroma air hujan juga ikut menyapa. Membuat mata indah itu akhirnya terbuka. Lengkap dengan senyuman manis di muka.
Shana menyukai ketenangan. Dia juga menyukai aroma hujan. Di saat seperti ini dia bisa bekerja dengan nyaman. Namun sayang, seseorang tiba-tiba datang menghancurkan. "Sayang?" sapa seorang pria yang datang dengan napas terengah. Shana hanya meliriknya sekilas. Dia membenarkan letak kacamatanya dan kembali fokus pada laptop yang menyala. Pemandangan yang jauh lebih menarik. "Aku minta maaf." Lagi. Entah sudah berapa kali Shana mendengar kalimat itu keluar dari mulut kekasihnya. Sudah berkali-kali juga dia memaafkannya. Namun untuk kali ini, jangan harap ia akan diam saja. Gadis itu tidak akan memberikan maafnya secara cuma-cuma. "Jangan diemin aku, dong." Pria itu mulai memohon. "Alasan kamu telat kali ini apa lagi?" tanya Shana tanpa menatap pria di hadapannya. "Aku habis meeting sama produser," jelas Dito. Shana mengalihkan pandangannya dari laptop. Dia menatap kekasihnya dengan lekat. Mencoba menemukan celah kebohongan. Namun hanya wajah sedih yang ia tangkap. Bukannya kasihan, Shana malah mendengkus keras. Sepertinya Dito juga cocok menjadi seorang aktor. "Tanpa Kiki?" Shana menaikkan sebelah alisnya. Perubahan raut wajah Dito membuktikan kebohongannya. Shana tersenyum masam. "Asisten kamu itu di rumah, lagi maraton nonton N*****x. Dan setau aku, kamu juga belum ada proyek film baru." "Maaf." Kalimat itu lagi. "Sayang, maaf kalau aku bohong." Dito terlihat frustrasi. "Oke, aku jujur. Aku habis dari rumah Jodi tadi. Dia galau habis diputusin Tesa." "Terus, kalau yang semalam nggak dateng alasannya apa?" "Ah, untuk semalam!" Dito teringat dan mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa. Sebuah kotak berwarna merah yang indah. "Selamat ulang tahun, Sayang." Shana menerima kotak itu tanpa ekspresi. Tidak ada rasa senang di hatinya saat menerima hadiah dari kekasihnya. Jujur, Shana tidak berharap apa-apa lagi dari Dito. Pria itu sudah terlalu banyak mengecewakannya. "Kamu tau aku nggak butuh hadiah, Dito." Dito menarik tangan Shana dan menggenggamnya erat. "Aku tau, Sayang. Aku benar-benar minta maaf nggak bisa dateng semalam." "Karena Jodi lagi?" Dito meringis, "Ya, dia mabuk dan bikin ulah. Aku harus jemput dia." "Aku masak makanan kesukaan kamu semalam." Shana meletakkan hadiah pemberian Dito. Tidak berniat untuk membukanya. "Dan aku harus buang semuanya." "Sayang—" "Kemarin hari ulang tahun aku, Dito. Bisa-bisanya kamu nggak ada di samping aku?" Dito menunduk dalam, tak lupa dengan wajah sedihnya. Sekali lagi, Shana tidak akan tertipu lagi. Kesabarannya sudah benar-benar habis. Semalam adalah momen penting dalam hidupnya. Dia berulang tahun yang ke-26. Bukan pesta besar karena Shana hanya mengundang Kakaknya dan Dito untuk makan malam di apartemennya. Namun pria yang seharusnya ada di momen penting itu mendadak hilang tanpa kabar. Shana harus menahan malu di depan Erina, Kakaknya. Sampai sekarang pun Shana masih kesal dibuatnya. "Bisa kamu maafin aku? Aku nggak mau kita bertengkar, Shana." "Kamu yang mulai." Shana mendengkus. "Aku sudah minta maaf." Dito masih menggenggam tangan Shana. "Hari ini aku free. Kamu mau apa? Belanja?" "Aku mau kamu pergi." Shana menarik tangannya cepat. "Sayang, jangan gini, dong." "Aku lagi nggak mau ngapa-ngapain, Dito. Aku masih kesel sama kamu. Mending kamu pergi. Aku harus lanjut nulis lagi." Dito menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. "Oke, aku pergi." Dito mengangkat tangannya pasrah. "Telepon aku kalau kamu sudah nggak marah." Shana menatap kepergian Dito dengan datar. Setelah pria itu pergi, dia kembali mendapatkan ketenangan. Entah kenapa melihat Dito hanya membuatnya kesal. Pria itu sudah banyak melakukan kesalahan yang membuat Shana mulai muak. "Mbak Shana, kopinya, Mbak." Shana tersenyum tipis. "Kok lama, Yu?" Ayu, salah satu karyawan di kafe itu meringis. "Takut ganggu Mbak Shana sama Mas Dito. Kayaknya lagi tegang." Shana tersenyum tipis. "Biasa lah." "Oh, iya." Ayu mengeluarkan sesuatu dari kantong apron-nya. "Selamat ulang tahun, Mbak." Berbeda saat bersama Dito tadi, Shana menerima kado Ayu dengan senyuman manis. "Makasih, Yu. Kok repot-repot, sih?" "Nggak repot sama sekali, Mbak." "Aku buka, boleh?" tanya Shana. Mendapat izin dari Ayu, akhirnya Shana membuka kado itu. Matanya membulat melihat earbuds yang Ayu beri. "Yu, ini kan mahal?" Shana merasa tidak enak. "Nggak ada apa-apanya sama kebaikan Mbak Shana selama ini. Lagian ini yang versi murah." Ayu tertawa. "Suaranya jernih, kok. Aku sendiri juga pake. Mbak Shana harus mengikuti perkembangan teknologi. Jangan pake yang kabel terus." Shana tertawa dan mengangguk mantap. "Makasih, ya. Pasti aku pake." "Biar Mbak Shana juga bisa konsentrasi nulis kalau lagi rame. Atau bisa dipake pas Mas Dito lagi mohon-mohon minta maaf kayak tadi." Celetukan Ayu kembali membuat Shana tertawa. "Sekali lagi, makasih, ya." "Sama-sama, Mbak. Kalau gitu aku kerja lagi." Begitu Ayu pergi, Shana tidak bisa kembali fokus pada laptopnya. Sekarang berganti Bagas, manager kafe yang menghampirinya. "Gimana, Mbak? Mau diganti susunya?" tanya Bagas. Shana menepuk keningnya pelan. "Gue lupa tanya." Bagas berdecak. "Stok tinggal sedikit, loh, Mbak. Udah harus pesen lagi. Mau pake yang lama atau baru? Salesnya udah tanyain terus." "Nanti gue tanyain Mbak Erina dulu." "Pake yang baru aja, Mbak. Harganya oke, tuh." Shana menggeleng. "Rasa juga penting, Gas." "Ya udah, nanti tanyain Chef Erina. Jangan sampe lupa." Shana mengangguk. Meskipun dia adalah pemilik kafe, tetapi dia tidak begitu paham dengan pemilihan produk untuk makanan. Oleh, karena itu dia harus bertanya pada Erina, Kakaknya yang merupakan seorang koki. Begitu Bagas pergi, Shana benar-benar bebas. Dia kembali fokus pada laptopnya dan mulai berkonsentrasi. Butuh beberapa menit untuknya mengembalikan suasana hati. Beruntung Shana bisa melakukannya. Jika tidak bisa, dapat dipastikan dia tidak akan menghasilkan apa-apa hari ini. Menjadi penulis memang terdengar mudah, tetapi percaya lah. Masalah utamanya adalah pada diri sendiri. Jika keadaan diri sendiri tidak baik, maka jangan harap tulisan yang dihasilkan akan menarik. "Breaking News." "Pemirsa, baru saja kami menerima informasi dari lapangan bahwa Haryadi Atmadjiwo, Hakim yang menangani kasus Korupsi Proyek Benasaka terlibat kecelakaan beruntun. Kecelakaan tersebut menewaskan dirinya, beserta supir pribadinya. Hingga saat ini, informasi yang kami dapat korban meninggal dunia sebanyak dua orang dan delapan orang lainnya mengalami luka-luka. Para korban akan—" Gerakan jari tangan Shana di atas laptop terhenti. Dengan cepat dia menatap televisi yang tersedia di ruang kerjanya. Berita kecelakaan itu membuatnya seketika terdiam. Rasa terkejut itu membuatnya tak bisa berkata-kata. "Haryadi," gumam Shana. "Dia meninggal," lanjutnya dengan tangan bergetar. *** Semua tampak tergesa. Akibat dari berita menggemparkan yang ada. Sesak di dada semakin terasa. Ketika rasa bersalah mulai menerpa. Langkah kaki Ndaru tampak begitu lebar. Sesekali dia melirik jam tangan untuk memastikan. Gilang, asisten pribadinya berkata jika pesawat pribadi telah tiba. Bertujuan untuk membawanya ke Ibu kota. Seharusnya pesawat itu datang untuk mengantar Arya menemuinya. Namun siapa sangka justru Ndaru yang harus datang ke pemakamannya. Haryadi Djanu Atmadjiwo, hakim yang dikenal publik karena banyak menangani kasus besar itu adalah kakaknya. Ia meninggal saat perjalanan ke bandara. Yang ingin menemuinya karena masalah yang tak seberapa. Ndaru benar-benar menyesal. Namun dalam keadaan seperti ini dia tidak bisa tumbang. Meski matanya memerah karena tangisan, dia harus tetap tegar. Beruntung kacamata hitam berhasil menutupi semuanya. "Pak Ndaru?" panggil Gilang. "Sudah siap semuanya?" "Sudah, Pak. Tapi kita harus lewat pintu lain. Wartawan lokal sudah ramai ingin meliput Bapak." "Kalau gitu kita lewat pintu lain." "Ikuti saya, Pak." Gilang pun berjalan lebih dulu, ditemani dua petugas bandara yang mengantarnya. Tidak sulit untuknya mendapatkan keistimewaan. Hanya dengan menyebut nama Handaru Gama Atmadjiwo maka semua akan tersedia dalam sekali jentikan. Begitu berhasil masuk ke dalam pesawat, Ndaru melepas kacamatanya. Tangan kanannya bergerak untuk memijat keningnya serta tangan kiri yang melepas dua kancing teratas kemejanya. Rasanya begitu sesak. Membuatnya tak kuasa kembali meneteskan air mata. "Pak Ndaru bisa istirahat selama perjalanan," ucap Gilang. "Bagaimana saya bisa istirahat, Lang? Kakak saya meninggal." Ndaru menarik napas dalam. "Dan itu karena saya." "Bukan salah Bapak." Ndaru memilih untuk menyandarkan kepalanya. Dia merasakan pesawat sudah mulai terbang. Matanya terpejam erat untuk mengenyahkan rasa pusing yang melayang. Jujur, sudah hampir dua hari dia tidak memejamkan mata. "Gimana Mas Juna nanti?" Seketika Ndaru teringat dengan anaknya yang terbaring di rumah sakit. "Setelah diperbolehkan pulang, Mas Juna akan menyusul Bapak ke Jakarta bersama Suster Nur." "Pastikan semua aman, Lang. Saya nggak mau mereka dikejar wartawan juga." "Pasti, Pak." Gilang bergerak memberikan selimut. "Sekarang Pak Ndaru istirahat. Jangan sampai Bapak tumbang di pemakaman Pak Arya." *** Malam ini, suasana hati Shana terlihat baik. Dia seolah lupa dengan kekesalannya pada Dito siang tadi. Bahkan dia tidak mengingat nama pria itu sama sekali. Sambil bersenandung, Shana masih berkutat di dapur. Dia menganggukkan kepala mengikuti irama musik yang keluar dari earbuds yang ia pakai. Ternyata kado pemberian Ayu sangat berguna. Bahkan Shana sudah mulai menikmatinya. Tepukan pada bahu mengejutkan Shana. Dia berbalik dan menghela napas lega. Ternyata Erina yang berada di belakangnya. "Lo ngapain di rumah gue?" tanya Erina bingung. Gadis itu baru saja pulang dari syuting menjadi juri di salah satu acara memasak. Lalu ia menemukan adiknya membuat kekacauan di dapur rumahnya. Shana melepas earbuds-nya dan tersenyum manis. "Gue lagi nyoba resep baru." Mata Erina menyipit. "Tumben." Shana berjalan ke meja makan yang sudah tersedia beberapa masakan. "Gue masakin makan malem. Lo pasti capek." Keanehan Shana semakin membuat Erina curiga. Dia masih mengingat jelas wajah adiknya yang tertekuk karena ulah kekasih bodohnya semalam. Namun lihat sekarang, wajahnya tampak berseri-seri. "Ada sesuatu?" tanya Erina masih ingin mengulik. "Lo nggak liat berita, Mbak?" "Berita?" "Haryadi meninggal." Erina sekarang paham. Dia menatap adiknya dengan satu tangan yang bertumpu pada pinggang. "Lo nggak lagi ngerayain kematiannya Haryadi, kan?" Shana mengedikkan bahunya pelan. "Emang nggak boleh, ya?" "Oke, kita rayain malem ini." Lalu yang terjadi dua gadis itu terlihat seperti psikopat sekarang. Yang berbahagia di atas duka seseorang. *** TBCTepat di pinggir sebuah danau, terdapat keramaian yang mencuri perhatian. Banyak anak-anak berlarian, para wanita sibuk dengan pergosipan, dan para pria yang sibuk dengan daging yang dipanggang. Namun ada hal lain yang lebih menarik perhatian. Harris Atmadjiwo. Pria itu tampak serius mengajari bayi untuk belajar berdiri. Bayi itu adalah Kanaya, anak kedua dari Putra bungsunya. Anak dari menantu yang dulu tak pernah ia anggap ada. "Ayo, Naya. Berdiri." Harris tampak bersemangat. Dia terkekeh begitu Naya kembali jatuh di rerumputan hijau. "Nggak apa-apa. Ayo, dicoba lagi. Nanti biar bisa main kejar-kejaran sama Mas Juna dan Mas Satria." Dari jauh, aksi Harris menjadi perbincangan para wanita. Mereka tampak duduk santai di gazebo dengan teh hangat di tangan. "Lihat, Papa." Yanti menunjuk Harris dengan dagunya. Shana terkekeh. "Tau gini, dari dulu aku suap pake bayi lucu." "Papa memang suka anak-anak," sahut Putri. "Oh, ya. Gimana sama Rama? Dia beneran mau kenalan sam
Hari yang Shana tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari di mana film-nya akan tayang segera. Semua kesulitan dan prahara yang menimpa selama produksi seolah terbayar sudah. Rasa puas dan bangga pada diri sendiri pun menggetarkan semangat jiwa. Bisa dibilang film kedua Shana ini menguras tenaga dan pikiran. Mulai dari masalah Dito hingga masalah keluarganya ikut berperan. Shana bersyukur jika produksi film masih bisa dijalankan. Sampai akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun sudah melambaikan tangan. Kilat cahaya kamera mulai menyerang begitu Shana tiba. Tidak sendiri, dia datang bersama suami dan anaknya. Untuk pertama kalinya Ndaru mendampingi di acara istrinya. Selama ini Shana yang selalu menemani Ndaru. Namun khusus malam ini, di hari istimewa Shana, Ndaru siap sedia di sisinya. Menyisihkan segala kesibukannya di kantor untuk sang ratu hatinya. "Mbak Shana gimana perasaannya, Mbak?" tanya salah satu wartawan. "Seneng banget!" Shana memberikan senyum lebarnya. "Nggak sabar nonto
Suara benda jatuh membuat mata indah itu terbuka. Cahaya terang pun langsung menerpa. Sebenarnya lampu kamar belum menyala sepenuhnya. Hanya saja cahaya yang ada belum membuat matanya terbiasa. Shana menoleh pada sumber suara. Di sana seorang pria tampak berjongkok untuk mengambil sesuatu. Setelah itu pria itu menoleh padanya dan tersenyum tipis. "Maaf," ujarnya mendekat. "Jadi ganggu tidur kamu." Shana menggeleng dan merenggangkan tubuhnya. Dia mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya untuk menghalau rasa dingin. Dia tidak bohong, pagi ini memang terasa dingin. "Jam berapa?" tanya Shana mencari keberadaan ponselnya. "Setengah enam." Ah, pantas saja Ndaru sudah siap. Hari memang sudah pagi. Matahari pun juga sudah bekerja sedari tadi. "Lanjut tidur aja." Ndaru yang sudah berdiri di sisi kasur mengusap kepala istrinya. Shana menggeleng dan mulai tersenyum manis. "Selamat pagi, Mas." Ndaru membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Pemandangan indah
Hari ini Ndaru mengambil cuti setengah hari. Bukan untuk keluarga, melainkan ia akan hadir dalam pelantikan presiden. Sebagai wajah pengusaha yang peduli akan politik, dia harus menampakkan diri. Mewakili ayahnya yang memilih untuk bermain di belakang layar dan menikmati masa purnanya. Jalanan hari ini pasti akan penuh dengan para pendukung. Tentu kemacetan akan ikut mengurung. Oleh karena itu, Ndaru memilih untuk cepat bangun. Bersiap di kala langit masih gelap dan mendung. Ndaru masih sibuk bersiap, sedangkan Shana sibuk dengan masakan. Secara mendadak, Bibi Lasmi izin pulang kampung semalam. Dengan alasan cucunya yang berada di pondok pesantren sakit. Yang membuatnya khawatir dan memilih untuk pulang. Tak masalah bagi Shana dan Ndaru, toh Bibi Lasmi hanya izin satu hari. "Dasinya yang mana?" Ndaru muncul ke dapur dengan dua dasi di tangannya. Warnanya sama tetapi dengan motif yang berbeda. "Yang garis aja," ujar Shana kembali fokus memasak. Dia tengah membuat nasi go
Seruan lagu ulang tahun mulai menggema. Tepukan tangan juga ikut menyerta. Tak lupa dengan kue ulang tahun yang tinggi bak menara. Menandakan jika yang merayakan bukanlah orang biasa. Harris Atmadjiwo tengah berulang tahun hari ini. Usianya tepat menginjak 70 tahun. Meski sudah lanjut usia, tak membuatnya lupa untuk merayakan. Bersama teman dan keluarga, dia mengadakan pesta. Cukup besar tetapi diadakan secara intim. "Selamat ulang tahun, Pak Harris. Semoga panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, semua doa yang terbaik buat Bapak." Salah satu ucapan yang terdengar jelas di telinga. Begitu banyak ucapan yang terlontar malam ini. Terdengar klasik, tetapi semuanya terucap dari bibir orang-orang penting. Lalu Shana Arkadewi juga hadir di sana. Sebagai pendamping dari anak bungsu tercinta. Jika bukan karena suaminya, mungkin dia tidak akan hadir di sana, berada di tengah orang-orang yang bergelimang harta. Ayo lah, meski hidup Shana tidak kekurangan, tetap saja dia merasa ada
Akhirnya hari ini tiba, hari di mana Erina akan melepas masa lajangnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia juga mendapatkan kebahagiaannya. Bukan tanpa alasan Erina mendunda. Dulu, dia harus fokus pada Shana. Jujur saja, apa yang dialami Shana cukup membuatnya sakit kepala. Mulai dari skandal yang ada, pernikahan kontraknya, yang kemudian berakhir dengan terbongkarnya tersangka utama penghancur keluarga mereka. Namun Erina tak menyesalinya. Semua itu tak berakhir sia-sia. Secara perlahan, satu-persatu dari mereka mendapatkan kebahagiannya. Dengan balutan kebaya bewarna merah hati, Shana tampak jauh kebih menawan. Kulitnya yang bersih tampak kontras dengan warna kebayanya. Tak lupa juga dengan rambut panjangnya yang digulung sederhana tetapi tetap terkesan mewah. Intinya, aura kecantikan Shana Arkadewi benar-benar terpancar. "Di mana jam tangan saya?" tanya Ndaru membongkar isi kopernya. "Ada di sana. Semalam udah saya masukin," jawab Shana masih fokus dengan lensa ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments