Hujan mengguyur sekujur tubuh. Tubuh yang semula panas sebab ego yang membara. Mengikis batu yang enggan dikikis air, sebab terlalu keras oleh ambisi untuk mengubah takdir.
Selepas turun dari gunung batu, waktu begitu membingungkan. Elzora bertanya pada sudut kamar tempat berkumpulnya carrier, sepatu, dan aksesoris lama kesayangan yang sebagian telah pudar warnanya. Tiba-tiba dilema mengingat orang tua yang entah bagaimana kabarnya. Nasib tugas perkuliahan yang lebih sering diabaikan ketimbang dikerjakan. Dikejar sosok mengerikan spesies mantan. Masih setia sendiri dalam singgasana ternyaman. Ingin pulang tapi takut bukan mendapat senang malah terkekang. Telah cukup beban hidup, telah sangat mengenyangkan. Rumit untuk diikuti tapi bimbang untuk ditinggalkan.
Gemericik hujan pukul lima sore menenangkan kegalauan. Ditambah secangkir teh tawar hijau yang masih panas. Aroma petrikor yang kian waktu kian mengobat rindu menjadi candu. Nyeri sendi sesekali kumat dibagian kaki sebelah kiri. Tentu penyebabnya karena sudah terlalu sering diajak melangkah dan menginjak berbagai jenis tanah. Mulai dari tanah kering, bebatuan hingga tanah basah.
"Setiap tetesan yang jatuh ke bumi selalu menjanjikan ketenangan pada setiap aroma khasnya."
Elzora menyembunyikan separuh pandangan dibalik gorden putih. Perlahan menghirup, merasakan, lalu menjatuhkan hatinya ke bumi selayaknya butiran hujan. Luruh bersamaan dengan sisa air di atas dedaunan pohon mangga pada pekarangan depan. Bebatuan yang semula sempurna perlahan dimakan waktu lalu berlubang ditetesi hujan. Hawa dingin membawa kalbu untuk tetap melangkahkan kaki ke luar. Tak kuasa untuk menahan, merasakan setiap aroma khas yang tinggal tersisa gerimis. Mengucur menciptakan bebauan alami yang keluar dari pori-pori bumi. Suasana kesukaannya bersama mendiang kakek.
Menggunakan celana berbahan katun cantung, lengkap dengan sweater dan kupluk abu-abu. Kaki yang semula nyeri dipaksa melangkah beralaskan swalow hitam bertuliskan E.G.O bermaksud menyingkat nama pemiliknya. Ialah Elzora Giandra Oktaviani. Setiap barang kesayangannya diberi tanda dengan tulisan demikian. Payung, gelas, keset, sapu tangan, dan perlengkapan pribadi lainnya.
Berjalan menyusuri taman kecil di ujung gang. Untuk sekedar duduk di bawah pohon rindang. Pohon yang tengah basah dan tampak lebih segar, tak pucat macam biasanya. Rupanya hujan mengobati akasia tua yang hampir renta itu. Jadi teringat beberapa pohon yang tinggal ranting kering di sepanjang jalan menuju sekret. Apakah telah tumbuh pucuk daun? Atau bahkan putik bunga? Semoga saja jawaban dari pertanyaan itu iya.
Kursi disana sering dijadikan tempat pasangan bermesraan. Elzora tak mau kalah, seorang diri ia menyewa taman kepada hujan untuk bercumbu dan bercengkrama bersama gerimis. Menatap kuntum bunga yang mulai merekah setelah seharian bermandikan ultraviolet. Hujan memang menyenangkan, terlebih ketika menghirup sedap aromanya ketika jatuh ke tanah kering.
"Betul apa yang dibilang manusia bumi, bahwa bahagia itu sederhana dan kita sendiri yang membuatnya bukan orang lain."
Monolog dibawah gerimis membuat kemarau cemburu. Elzora berusaha menjadi gadis pada umumnya yang mencintai hal-hal romantis. Seperti hujan, senja, secangkir teh, dan kopi. Ditambah lagi aroma petrikor pada setiap tanah kering yang belum kebagian diguyur hujan. Di sudut jalan melintas Ardan. Baru pulang dari kedai untuk membeli beberapa makanan ringan. Ia segera memutar arah, sebab tak sengaja melihat sahabatnya termangu menatap gerimis seorang diri.
"Zo! Ngapain disana?" teriaknya cemas, duduk diatas motor.
"Ngadem," balas Elzoran singkat.
"Dasar cewek aneh, ngadem waktu gerimis gini di bawah pohon, Mamski gue bilang pamali tau," berusaha mengingatkan.
Elzora tak mengubrisnya, tetap menikmati segarnya suasana sore itu. Ardan mendekat untuk memastikan Elzora masih dalam keadaan baik-baik saja. Kadang takut dengan sikap sahabatnya yang kadang aneh. Sikap yang kadang hangat tapi lebih sering dingin, lebih dari dinginnya hujan es. Dipaksa kembali menuju indekos untuk istirahat. Esok hari Ardan tahu bahwa sahabatnya itu akan memulai petualangan baru. Ardan sosok sahabat yang menyebalkan walaupun sebetulnya sangat perhatian.
Tidak puas mencium aroma petrikor di taman. Elzora kembali duduk di depan teras rumah bersama Ardan. Untuk sedikit berbincang sembari menghirup segelas teh atau kopi hangat.
"Mau dibikinin kopi nggak?" Elzora menawarkan.
"Teh aja Zo, boleh nggak?"
Membalas dengan mengangguk lalu berjalan masuk. Mengambil secangkir air panas, diaduk bersama bubuk kopi arabika, gula dan krimer. Disisi lain ada mug berwarna coklat, dicelupkannya teh hijau gantung. Dilanjutkan bersama dengan 3 gula batu, lalu diberi guyuran air panas dari termos kecil yang telah menemani Elzora sejak awal hidup di Jakarta. Selesai menyeduh kopi dan teh, obrolan kecil dilanjutkan menyambung pembicaraan sebelumnya.
"Sedep banget teh buatan lu Zo!" Ardan memuji.
Elzora hanya membalas dengan senyuman malas.
"Besok jadi terbang ke Bali?"
"Jadi dong!"
"Sama siapa?"
"Sendiri."
"Mau berapa lama disana?"
"Belum tau, yang pasti sampe ketemu Bang Danu. Nggak naik pesawat Dan, mau naik kereta aja kayaknya lebih seru dan hemat."
"Mau gue anter apa gimana?"
"Pake nanya lagi, ya anterlah! Apa gunanya punya temen. Besok ngampus nggak?"
"Ngampus dong, gue kan nggak kayak elu yang doyan bolos hehe," Ardan menyindir.
"Dih gitu yaa, ternyata..."
"Yeee... Ngambek dia, ya pasti gue anter Zo, tenang aja!"
"Itu baru temen, jangan dateng kalo lagi ada maunya aja," Elzora balas menyindir.
Ardan meringis Lalu pamit. Menghirup sisa teh terakhirnya.
"Gue pamit Zo, besok jam berapa ke stasiun?"
"Jam 8 teng, jangan telat lagi!"
"Siap komandan."
Esok akan ada hari baru dan cerita baru. Kembali berjalan dengan sejuta angan. Akan ada hal unik akan kembali tertulis dalam jurnal Elzora. Bagi Elzora lelah hanya untuk orang payah! Hidup tentang tantangan bukan keluhan. Banyak hal yang harus dicoba dan dinilai. Bertemu Bang Danu bukan tujuan utama, yang terpenting hati dan pikirannya kembali pulih.
Sesak yang sempat dirasakan, sebab keluarga dan kisah cinta yang berantakan diharap sembuh. Setiap orang berhak bahagia dengan caranya sendiri. Meski dengan hal paling sederhana sekalipun. Sesederhana duduk menatap hujan. Merasakan hawa dingin bersamaan dengan menghirup sedap aromanya.
Kemanakah Elzora akan pergi? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!
Dipetiknya dawai dari kunci A minor. Lirik-lirik yang sendu pengantar rindu. Tumpukan buku, jurnal, makalah, dan catatan yang isinya lebih banyak sketsa ketimbang tulisan. Ujian terakhir di semester ganjil akan segera selesai esok hari. Namun, ujian hidup tak kunjung berakhir. Ponselnya sesekali menyala, ada pesan yang tak kunjung diberi balasan. Mama dan Papa, dua orang yang dirasa tak pernah sungguh memberi kasih kepadanya. Masih menikmati nada-nada yang sedang dimainkan. Seseorang menyalakan klakson berulang dari gerbang depan. Sudah dapat dipastikan, orang yang selalu membawa keributan ditengan keheningan sudah pasti Ardan.Tinnnnnn tinnnnn tinnnnnnnnn!!!!!!!"Apaan sih Dan, berisikkkk!""Gue masuk ya Zo..."Deru mesin motornya lebih mirip suara bajaj bobrok. Entah kapan terakhir kali motor itu diservis. Tanpa salam dan permisi segera ia duduk meneguk minuman dan kue kering di atas meja. Napasnya tersengal-sengal."Ada
"Zoraaaaa Zoraa..." Teriak Ardan dari gerbang depan."Iyaa bentar... Tumben banget lo nggak telat." ucapnya sambil mengikat tali sepatu ketsnya di depan pintu."Hari ini ujian dari dosen nyebelin yang sering gue ceritain ke lo. Mati gue kalo sampe telat terus dikeluarin lagi.""Oh, Ibu Jawa itu...""Namanya Bu Ratih!""Eyang Ratih?""Bu Ratih Zo, dia belum setua itu mau lo panggil Eyang. Udah ayo buruan!"Setengah perjalanan sebuah mobil mewah mencegat di ujung jalan keluar dari gang. Mobil itu milik Andrean. Tak ada bosannya ia menganggu padahal sudah dianggap benalu dari masa lalu. Tak pernah bosan mengejar orang yang hatinya telah ia buat terlantar.Tinnn tinnnn tinn...."Woy minggir gue telat nih..," teriak Ardan."Gue nggak ada urusan sama lo! Kalo mau pergi ya pergi sana..." Serunya."Zo, gimana nih cecunguk!" Sahut Ardan mengadu."Udah duluan aja Dan, nggak apa-apa,"
Di ruang sembilu ku titip rinduKepada tuan yang entah dimana kini ia berlabuhAkan ada waktu untuk biduk patah kembali tegakMenunggu meski entah sampai jantung tak berdetakHarusnya yang datang terlambat tak perlu pergi dengan cepat. Tapi kenyataan tidak ada yang bisa memastikan. Jika kumpulan bonsai di teras depan mampu katakan. Tentu, Elzora tak akan kesepian. Bisik-bisik gerimis pun hanya turun sesekali. Padahal ia tahu, kehadirannya menjadi alasan gadis itu mampu meredam amarah. Secangkir kopi jadi teman ngobrol yang paling mengasyikan, meskipun sendirian. Tanpa permisi, terdengar suara klakson dari gerbang depan. Memecah fokus dari suara lagu Be Who You Are. Mengejutkan Elzora yang sedang fokus menikmasi lembayung senja.Tinnnnnnn tinnnnnn tinnn... "Pakettt..." Sahut kurir mengintip dari celah jeruji gerbang depan.
Pepohonan rindang berdiri kokoh. Gadis itu bersandar kepadanya. Hembusan angin menerpa helai rambutnya yang tergerai. Membaca sebuah novel romansa tahun 90-an. Earphone di telinga membuatnya tak peduli berisik dan lalu lalang orang bertebaran. Seakan punya hidupnya sendiri tanpa peduli orang sekitarnya. Ketenangan sederhana itu seketika pecah. Si laki-laki yang tampangnya menyebalkan sebab merasa jadi manusia paling tampan.Diraihnya earphone di telinga sebelah kanan Elzora. Tanpa permisi tangannya hampir pula merangkul. Untungnya gadis dengan baju berkaos hitam itu segera menyadari kehadirannya."Apa-apaan nih!" Menepis tangan yang hampir merangkulnya. Sebelah earphone dari telinga laki-laki itupun terlepas."Apa kabar Zo? Aku cuma kangen, memang nggak boleh ya...""Eng..nggak!" Membalik badannya lalu lekas pergi. Pergelangan tangannya diraih dengan cepat."Nanti dulu, aku mau ngomong," seru Andrean."Apa lagi Ndre!?" balasnya ketus. Membua
"Terima kasih sudah menjadikan Elzora bagian dari keluarga ini, Eyang.""Semoga kamu ndak kapok main kemari ya El."Perpisahan untuk yang ke sekian kalinya. Pelukan hangat untuk yang terakhir kalinya. Namun, Elzora yakin bahwa ia harus kembali ke tempat itu. Mendapatkan pelukan yang sama dari orang yang sama. Hanya sebuah lukisan yang mampu ia tingalkan disana. Karya Elzora lekas dipajang dan terpampang jelas di ruang tamu. Eyang Ratih sangat mengaharapkan Gadis itu. Elzora diantar menuju bandara. Benar-benar semacam perpisahan keluarga."Kamu harus kembali El, atau aku yang akan menyusul kamu." ucap Morgan sebelum gadis itu beranjak."In sya allah, Gan.""Eyang akan sangat kecewa kalau kamu ndak kembali El," ucap Eyang Ratih teramat lirih. Ia raih tubuh mungil Elzora masuk dalam dekapannya. Menangis diatas pundak Elzora, tumpah ruah semuanya. Hal paling menyebalkan adalah perpisahan. Apalagi disaat sudah terlanjur dibuat nyaman. Eyang Rat
"Kamu belum tidur?" sahutnya dari depan muka jendela balkon. "Eh iya nih, kamu juga belum tidur mas?" balas Elzora yang sedang berdiri menatap bintang. "Panggil Morgan atau Agan aja! Barusan aku dari luar beli sesuatu, eh dari bawah liat kamu masih di balkon, makanya aku samperin," ujarnya. "Lagi cari angin aja!" balas Elzora murung. "Oh, atau kamu mau salat yaa? Aku simpen alat salat loh, soalnya suka ada temen arisan Eyang yang salat disini." "Emm kebetulan aku lagi datang bulan jadi nggak salat. Kamu tahu aku muslim?" tanya Elzora. "Dari cara kamu nanyain menu makan malam, aku bisa nebak, Eyang aja yang kurang peka. Malah bilang kamu vegetarian." "Aku nggak enak ngomong langsung di depan Eyang," ucapnya lirih. "Kenapa harus nggak enak? Kamu nggak akan di usir Zora hahaa, justru Eyang akan sangat senang dapat tamu spesial. Keluarga kami ini cinta damai dan sangat menghargai toleransi kok, kamu nggak perlu khawatir ya!
Perempuan yang selalu haus tantangan. Tentu tidak menolak jika hanya diajak lomba melukis. Elzora merasa beruntung bisa melukis bersama seniman. Tangannya gemetar takut salah menempatkan dan memadukan warna. Setangkai bunga mawar yang diguyur hujan menjadi andalan Elzora. Sama seperti lukisan pertama yang diajarkan mendiang Kakek padanya."Wahhh, lukisan kamu cantik sama seperti pelukisnya." Ujar Eyang Ratih memuji."Nggak sebagus lukisan Eyang.""Ah, nggak mungkin. Selera seni jaman sekarang sudah nggak seperti zaman Eyang El.""El?" "Lihat kamu dan namamu, buat Eyang rindu Elsa, adik Morgan. Apa Morgan sudah cerita?" tanya Eyang Ratih."Iya sudah, Morgan banyak cerita tentang Elsa dan Mamanya. Barusan di taman belakang," balas Elzora."Morgan pernah bilang sama Eyang, Gan sudah kehilangan dua bidadari, masih tersi
"Adik aku suka pantai, apa kamu juga suka?""Iya, aku sering main pasir dan melukis bareng kakek kalo main di pantai."Dari pertanyaan itu Elzora sudah menebak. Itu adalah kode, dan perasaannya mengatakan ia akan di bawa ke pantai. Ia hanya berharap ada pantai yang mungkin belum pernah ia kunjungi. Mobilnya tiba-tiba berhenti pada sebuah taman. Awalnya ia mengira itu taman, ternyata itu hanya halaman depan. Di dalamnya ada sebuah rumah dengan arsitektur yang sangat elegan dan tradisional. Banyak aksen batik dan keris. Dipenuhi beraneka ragam tanaman rambat maupun tanaman pot. Beberapa bonsai disana mirip seperti yang ada di indekos Elzora. Tempat itu sangat sejuk. Rumahnya tampak sederhana, tidak terlalu besar, tapi elegan. Tampak sangat terawat dengan baik. Mobil diparkir pada garasi yang lumayan luas. Banyak benda dan beberapa tempat ditulis dengan aksara Jawa."Ini rumah, taman, atau penginapan?" tanya Elzora."Mari masuk," Morgan hanya menjawab dengan
Gemerincing gelang kaki delman lewat dengan sopan. Sudah hampir setahun gadis itu tak mengunjungi daerah istimewa itu. Kali ini yang ia harapkan bukan kesenangan melihat pemandangan. Bukan sekedar jalan-jalan atau memburu buah tangan. Hanya ada satu harapan yang ingin segera ia pastikan. Pertemuan dengan sosok pencipta art style. Berhari-hari memburu wartawan itu, tapi tak berujung temu. Elzora bingung apakah harus sesulit ini. Hanya untuk menemui kakak tingkat organisasi. Rasanya meski terpaut usia tiga puluh tahun lebih diatasnya, itu bukan hambatan. Semacam memang takdir yang enggan mempertemukan mereka. Yogya, harus menjadi titik pertemuan. Gadis itu sudah tidak punya banyak waktu lagi. Tugas akademik sudah menumpuk. Hidupnya bukan hanya untuk menjawab satu pertanyaan itu saja. Ada pertanyaan lain yang harus diselesaikan. Ujian akhir semester.Di depan derertan ruko tak berpenghuni, Elzora jalan kaki. Langkahnya berhenti pada sebuah gerobak es durian. Setelah pes