Share

BAB 4

Hujan mengguyur sekujur tubuh. Tubuh yang semula panas sebab ego yang membara. Mengikis batu yang enggan dikikis air, sebab terlalu keras oleh ambisi untuk mengubah takdir.

Selepas turun dari gunung batu, waktu begitu membingungkan. Elzora bertanya pada sudut kamar tempat berkumpulnya carrier, sepatu, dan aksesoris lama kesayangan yang sebagian telah pudar warnanya. Tiba-tiba dilema mengingat orang tua yang entah bagaimana kabarnya. Nasib tugas perkuliahan yang lebih sering diabaikan ketimbang dikerjakan. Dikejar sosok mengerikan spesies mantan. Masih setia sendiri dalam singgasana ternyaman. Ingin pulang tapi takut bukan mendapat senang malah terkekang. Telah cukup beban hidup, telah sangat mengenyangkan. Rumit untuk diikuti tapi bimbang untuk ditinggalkan.

Gemericik hujan pukul lima sore menenangkan kegalauan. Ditambah secangkir teh tawar hijau yang masih panas. Aroma petrikor yang kian waktu kian mengobat rindu menjadi candu. Nyeri sendi sesekali kumat dibagian kaki sebelah kiri. Tentu penyebabnya karena sudah terlalu sering diajak melangkah dan menginjak berbagai jenis tanah. Mulai dari tanah kering, bebatuan hingga tanah basah.

"Setiap tetesan yang jatuh ke bumi selalu menjanjikan ketenangan pada setiap aroma khasnya."

Elzora menyembunyikan separuh pandangan dibalik gorden putih. Perlahan menghirup, merasakan, lalu menjatuhkan hatinya ke bumi selayaknya butiran hujan. Luruh bersamaan dengan sisa air di atas dedaunan pohon mangga pada pekarangan depan. Bebatuan yang semula sempurna perlahan dimakan waktu lalu berlubang ditetesi hujan. Hawa dingin membawa kalbu untuk tetap melangkahkan kaki ke luar. Tak kuasa untuk menahan, merasakan setiap aroma khas yang tinggal tersisa gerimis. Mengucur menciptakan bebauan alami yang keluar dari pori-pori bumi. Suasana kesukaannya bersama mendiang kakek.

Menggunakan celana berbahan katun cantung, lengkap dengan sweater dan kupluk abu-abu. Kaki yang semula nyeri dipaksa melangkah beralaskan swalow hitam bertuliskan E.G.O bermaksud menyingkat nama pemiliknya. Ialah Elzora Giandra Oktaviani. Setiap barang kesayangannya diberi tanda dengan tulisan demikian. Payung, gelas, keset, sapu tangan, dan perlengkapan pribadi lainnya.

Berjalan menyusuri taman kecil di ujung gang. Untuk sekedar duduk di bawah pohon rindang. Pohon yang tengah basah dan tampak lebih segar, tak pucat macam biasanya. Rupanya hujan mengobati akasia tua yang hampir renta itu. Jadi teringat beberapa pohon yang tinggal ranting kering di sepanjang jalan menuju sekret. Apakah telah tumbuh pucuk daun? Atau bahkan putik bunga? Semoga saja jawaban dari pertanyaan itu iya.

Kursi disana sering dijadikan tempat pasangan bermesraan. Elzora tak mau kalah, seorang diri ia menyewa taman kepada hujan untuk bercumbu dan bercengkrama bersama gerimis. Menatap kuntum bunga yang mulai merekah setelah seharian bermandikan ultraviolet. Hujan memang menyenangkan, terlebih ketika menghirup sedap aromanya ketika jatuh ke tanah kering.

"Betul apa yang dibilang manusia bumi, bahwa bahagia itu sederhana dan kita sendiri yang membuatnya bukan orang lain."

Monolog dibawah gerimis membuat kemarau cemburu. Elzora berusaha menjadi gadis pada umumnya yang mencintai hal-hal romantis. Seperti hujan, senja, secangkir teh, dan kopi. Ditambah lagi aroma petrikor pada setiap tanah kering yang belum kebagian diguyur hujan. Di sudut jalan melintas Ardan. Baru pulang dari kedai untuk membeli beberapa makanan ringan. Ia segera memutar arah, sebab tak sengaja melihat sahabatnya termangu menatap gerimis seorang diri.

"Zo! Ngapain disana?" teriaknya cemas, duduk diatas motor.

"Ngadem," balas Elzoran singkat.

"Dasar cewek aneh, ngadem waktu gerimis gini di bawah pohon, Mamski gue bilang pamali tau," berusaha mengingatkan.

Elzora tak mengubrisnya, tetap menikmati segarnya suasana sore itu. Ardan mendekat untuk memastikan Elzora masih dalam keadaan baik-baik saja. Kadang takut dengan sikap sahabatnya yang kadang aneh. Sikap yang kadang hangat tapi lebih sering dingin, lebih dari dinginnya hujan es. Dipaksa kembali menuju indekos untuk istirahat. Esok hari Ardan tahu bahwa sahabatnya itu akan memulai petualangan baru. Ardan sosok sahabat yang menyebalkan walaupun sebetulnya sangat perhatian.

Tidak puas mencium aroma petrikor di taman. Elzora kembali duduk di depan teras rumah bersama Ardan. Untuk sedikit berbincang sembari menghirup segelas teh atau kopi hangat.

"Mau dibikinin kopi nggak?" Elzora menawarkan.

"Teh aja Zo, boleh nggak?"

Membalas dengan mengangguk lalu berjalan masuk. Mengambil secangkir air panas, diaduk bersama bubuk kopi arabika, gula dan krimer. Disisi lain ada mug berwarna coklat, dicelupkannya teh hijau gantung. Dilanjutkan bersama dengan 3 gula batu, lalu diberi guyuran air panas dari termos kecil yang telah menemani Elzora sejak awal hidup di Jakarta. Selesai menyeduh kopi dan teh, obrolan kecil dilanjutkan menyambung pembicaraan sebelumnya.

"Sedep banget teh buatan lu Zo!" Ardan memuji.

Elzora hanya membalas dengan senyuman malas.

"Besok jadi terbang ke Bali?"

"Jadi dong!"

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Mau berapa lama disana?"

"Belum tau, yang pasti sampe ketemu Bang Danu. Nggak naik pesawat Dan, mau naik kereta aja kayaknya lebih seru dan hemat."

"Mau gue anter apa gimana?"

"Pake nanya lagi, ya anterlah! Apa gunanya punya temen. Besok ngampus nggak?"

"Ngampus dong, gue kan nggak kayak elu yang doyan bolos hehe," Ardan menyindir.

"Dih gitu yaa, ternyata..."

"Yeee... Ngambek dia, ya pasti gue anter Zo, tenang aja!"

"Itu baru temen, jangan dateng kalo lagi ada maunya aja," Elzora balas menyindir.

Ardan meringis Lalu pamit. Menghirup sisa teh terakhirnya.

"Gue pamit Zo, besok jam berapa ke stasiun?"

"Jam 8 teng, jangan telat lagi!"

"Siap komandan."

Esok akan ada hari baru dan cerita baru. Kembali berjalan dengan sejuta angan. Akan ada hal unik akan kembali tertulis dalam jurnal Elzora. Bagi Elzora lelah hanya untuk orang payah! Hidup tentang tantangan bukan keluhan. Banyak hal yang harus dicoba dan dinilai. Bertemu Bang Danu bukan tujuan utama, yang terpenting hati dan pikirannya kembali pulih.

Sesak yang sempat dirasakan, sebab keluarga dan kisah cinta yang berantakan diharap sembuh. Setiap orang berhak bahagia dengan caranya sendiri. Meski dengan hal paling sederhana sekalipun. Sesederhana duduk menatap hujan. Merasakan hawa dingin bersamaan dengan menghirup sedap aromanya.

Mae Takata

Kemanakah Elzora akan pergi? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status