Share

5. Melahirkan di Kota

Marlina tak kuat lagi berdiri, rasanya seperti ingin kencing, seperti ingin buang air besar tapi tak bisa. Klinik itu belum terlihat dari posisinya berada saat ini. Dia harus sampai ke sana sebelum bayinya lahir. Dengan terpaksa dia berjalan merangkak, pelan, sesekali berhenti meringkuk di jalan. Peluh di seluruh tubuh meski malam ini dingin. Dia sempat tertidur saat rasa sakit itu hilang, lalu terbangun lagi saat rasa sakit itu datang lagi. 

Marlina menggeliat di jalan sendiri dan berharap ada orang yang lewat dan membantunya. Tapi tak ada satupun orang yang lewat. Dengan segenap kekuatan yang ada dia mencoba berdiri dan berjalan. Tas yang dibawanya didekap kencang, lalu berlari pelan.

Dari kejauhan Marlina melihat neon box bertuliskan ‘Bidan Delima”. Semangatnya datang lagi, lalu mempercepat langkah menuju klinik tersebut. 

Rasa sakitnya datang lagi, sesat berhenti menahan rasa sakit lalu dia ambruk lagi. Marlina merasakan sesuatu yang lengket di antara kedua pahanya.

Pagar klinik sudah sangat dekat, tapi dia kesulitan untuk sampai ke situ. Marlina mengatur nafas di tengah-tengah kontraksi perut ini. Dia kembali mengumpulkan tenaga lalu berjalan cepat hingga menggapai pintu pagar yang bertuliskan ‘ada bidan’.

Marlina menggerak-gerakkan pintu pagar yang terkunci, tak ada balasan dari dalam, lalu dia mengguncangkan pintu pagar lebih kencang lagi sambil berteriak, “Bu Bidan, tolong aku mau melahirkan!”

Masih tak ada jawaban, Marlina bergetar meremas pintu pagar lalu menunduk dan menangis kencang, masih tak ada jawaban dari dalam.

Sekilas Marlina melihat tulisan ‘pencet bel’ di pinggir pagar. Ah, kenapa aku tak melihatnya dari tadi, batin Marlina. Kemudian Marlina langsung memencet bel itu berulang kali.

Dari dalam kulihat hordeng jendela tersingkap. Melihat kedatangan Marlina, orang yang berada di dalam membuka pintu klinik dan mendekatinya. “Siapa?” tanyanya meneliti wajah Marlina dari balik pagar.

“Tolong aku, aku mau melahirkan!” Marlina memperlihatkan dasternya yang sudah mulai basah di bagian bawah.

“Oh, iya. Sini masuk!” wanita itu membukakan pintu gerbang.

Wanita itu menuntun Marlina ke sebuah ruangan di dalam klinik itu, lalu memeriksanya dengan seksama. Marlina mengeluarkan uang dari dalam tas lalu memberikan pada wanita itu, “saya hanya punya ini, tak ada yang lain. Tolong bantu saya!” pinta Marlina sambil menggenggam tangannya, menyerahkan semua uang tabungan yang ia miliki.

“Simpan ini dulu ya. Saya akan menolongmu. Saat ini sudah pembukaan delapan, tak lama lagi bayi utun itu akan keluar, tenangkan diri Ibu ya!” ucap bu bidan dengan lembut, lalu memasukkan kembali uang yang diberikan Marlina ke dalam tasnya.

Selama perjalanan tadi, Marlina berkali-kali berguling di jalan, wajah Marlina kotor sekali. Bidan itu membersihkan wajah dan tangannya dengan handuk basah, lalu memberikan segelas teh manis hangat. Saat teh hangat itu menyentuh tenggorokan Marlina, dia merasa lebih tenang dan rileks. Dia merasakan sakit yang datang dan pergi dengan tenang sambil mengucap istighfar berulang kali.

“Jangan mengejan dulu ya Sayang, kalau sakit ditahan aja dulu. Atur nafas, santai, tenang. Ibu aman di sini.” 

Marlina mengikuti saran bidan. Bidan itu memanggil Marlina dengan sebutan Ibu. Setiap yang akan melahirkan dipanggil Ibu, meski tak pantas sepertiku yang tak bersuami.

Tiba saatnya Bu Bidan menyuruh Marlina untuk mengejan, dengan dua kali tarikan nafas, akhirnya bayi itu lahir. Marlina merasakan kelegaan yang sangat luar biasa, sangat lega.

Bayi itu menangis kencang, menciptakan rasa bahagia.

“Selamat ya, anak Ibu perempuan yang cantik.”

Bu Bidan memandikan bayi itu dengan cekatan, lalu memakaikan pakaian yang layak dan membungkusnya. Bayi yang sudah rapi itu diletakkan di box bayi yang berada tak jauh dari tempat tidur Marlina.

Bu Bidan kembali ke kasur Marlina, lalu membersihkan darah dan kotoran di perut dan kakinya. 

Setelah semuanya selesai, Bu Bidan menaikkan kasur di bagian kepala sehingga Marlina dalam posisi setengah duduk. Kemudian memberikan bayi kecil itu padanya.

Marlina teringat lagi mimpi malam itu, bayi yang mengeluarkan air mata darah. Marlina menutup wajah dengan kedua tangan.

“Ibu belum siap? Baiklah, sekarang istirahat dulu ya. Ibu pasti sangat lelah.”

Ketika Marlina menarik kedua tangan dari wajahnya, bidan itu telah meletakkan bayinya dalam box bayi kembali. 

“Kita istirahat di dalam ya. Saya bantu turun dari sini ya, Hati-hati!”

Bu bidan menuntun Marlina ke sebuah kamar lalu membaringkannya di atas kasur beralaskan sprei putih. “Mau minum lagi?” tanya bu bidan. Marlina mengangguk, lalu dia meninggalkan ruangan itu.

Tak lama dia kembali lagi membawa sisa teh manis yang tadi dan sebotol air mineral.

“Ibu hebat sekali. Kontraksi sebentar sekali, bayinya mudah keluar, saya juga tidak sulit membantu mengurusnya,” puji bu bidan dengan mengacungkan dua jempolnya.

Marlina membalas dengan senyuman. “Sekarang istirahat dulu ya, hari sudah hampir subuh. Saya mau shalat dulu.” Bu bidan meninggalkan ruangan Marlina.

Langit telah terang saat Marlina membuka mata, suara alunan musik sendu terdengar. Matanya memindai setiap sudut ruangan ini. Marlina baru tersadar bahwa dia sudah melahirkan semalam. Malam penuh perjuangan telah dia lalui.

Lalu di mana bayiku? tanya Marlina dalam hati. Marlina kembali teringat lagi wajah bayi yang menangis darah dalam mimpinya. Marlina menutup wajah dengan kedua tangan, berharap mimpi itu tak lagi hadir.

Marlina ingin ke kamar mandi, dia mencoba bangkit sendiri dari kasur. Dia berjalan terseok melewati ruang persalinan semalam. Di box bayi itu tak ada penghuninya, ‘di mana bayiku?’ tanya Marlina dalam hati.

“Sudah bangun Bu? Mau sarapan dulu?” tanya Bu Bidan santun.

Marlina menggeleng, “Aku mau ke kamar mandi dulu!”

Bu bidan menyerahkan tas yang semalam dibawanya. “Ini tas ibu. Kamar mandi ada di situ.” Bu bidan menunjuk ke sebuah pintu. Marlina meraih tas tersebut dan berjalan menuju kamar mandi.

Setelah mandi dan sarapan, Bu Bidan mendekati Marlina. Bertanya semua tentangnya, Marlina menceritakan kenapa dia hamil, kenapa dia nekat malam-malam ke sini sendiri. Bu Bidan menangis mendengar cerita Marlina, "jika kamu belum siap punya anak gapapa, itu hakmu. Tapi setidaknya sayangi bayi tak berdosa itu walau sebentar. Biarkan bayi itu mendapatkan kasih sayang dari ibu."

"Bagaimana caranya? Saya gak bisa apa-apa." 

Bu bidan keluar ruangan meninggalkan Marlina. Tak lama kemudian, dia kembali lagi dengan membawa bayi itu.

"Saya bersedia merawat bayi ini sampai besar. Tapi setidaknya, gendonglah! Peluk dan cium dia. Bayi ini tidak berdosa." 

Marlina menerima bayi itu, menggendongnya, tapi dia tak berani menciumnya. Marlina takut bayi itu bangun, lalu menangis darah seperti mimpi yang kemarin.

"Tadi dia minum sedikit, banyak tidur. Sekarang waktunya dia minum susu lagi. Kamu bersedia menyusuinya kan?"

Marlina mengangguk ragu, "bagaimana caranya?"

Bu Bidan mengajari Marlina cara menyusui yang baik, ternyata dia bisa menyusui bayi ini. Ada rasa senang, nyeri, bahagia, semua bercampur jadi satu.

Bu Bidan mengajari cara merawat bayi dengan sabar dan telaten meski Marlina masih menyimpan rasa trauma ketika melihat wajah bayi. Marlina diperbolehkan tinggal di klinik itu sampai sehat dan pulih baik fisik maupun mental.

Tepat tujuh hari setelah Marlina melahirkan, Bu Bidan bertanya lagi, “Marlina, apakah kamu mau menjaga dan merawat bayi ini?” 

Marlina terdiam dan menunduk. Sebenarnya Marlina malu membawa bayi ini pulang, apa kata tetangga, tapi alangkah teganya dia sengaja meninggalkan bayi ini di sini.

“Ini bayimu, jika kamu keberatan untuk merawatnya, saya bisa menolong untuk merawatnya. Tapi kalau kamu mau merawatnya sendiri ya silahkan. Asimu tidak banyak, konsekuensinya adalah membelikan susu formula sebagai pengganti asi secara rutin sesuai kebutuhan bayi.” Hancur hati Marlina mendengarnya, semua bayi pasti membutuhkan susu, tapi asinya tak banyak, untuk membeli susu formula pasti banyak sekali biayanya, Dia tak punya uang.

“Saya akan merawat dengan baik, saya pastikan bayi ini tidak kekurangan sesuatu apapun. Saya akan merawatnya seperti merawat anak kandung sendiri.” Bu bidan mencium bayi cantik itu. Dengan berat hati Marlina mengangguk pelan. 

“Saya titip ya, Bu.  Zahra namanya,” ucap Marlina beruraian air mata.

“Nama yang bagus, terima kasih Ibu!” Bu Bidan mengarahkan wajah bayi itu pada Marlina. 

Saatnya Marlina kembali ke kampung bersama ayah dan neneknya. Marlina melambaikan tangan, sangat berat meninggalkan bayi yang selama sembilan bulan dalam kandungan. Marlina melangkah ke arah gerbang, sebelum menutup gerbang dia melambaikan tangan lagi lalu menutup wajah dengan tangan dan membalikkan badan ke arah jalan pulang. ‘Selamat tinggal Zahra, bayiku sayang, semoga kelak nasibmu lebih baik daripada Ibumu. Ibu berharap bu bidan tulus merawat dan mencintai Zahra seperti janjinya yang akan menjagamu seperti merawat anak sendiri,’ Marlina berdoa dalam hati.

Tiba di perbatasan kebun menuju kampung, Marlina berbalik badan melihat ke arah klinik bersalin itu, dia berjanji suatu saat nanti jika telah berhasil jadi orang kaya dia akan menjemput Zahra dan mendidiknya menjadi orang yang sukses dan berguna. Dengan berat hati Marlina memasuki kebun karet yang menyimpan memori kelam siang hari itu. 

Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. Siapa mereka? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status