Marlina tak kuat lagi berdiri, rasanya seperti ingin kencing, seperti ingin buang air besar tapi tak bisa. Klinik itu belum terlihat dari posisinya berada saat ini. Dia harus sampai ke sana sebelum bayinya lahir. Dengan terpaksa dia berjalan merangkak, pelan, sesekali berhenti meringkuk di jalan. Peluh di seluruh tubuh meski malam ini dingin. Dia sempat tertidur saat rasa sakit itu hilang, lalu terbangun lagi saat rasa sakit itu datang lagi.
Marlina menggeliat di jalan sendiri dan berharap ada orang yang lewat dan membantunya. Tapi tak ada satupun orang yang lewat. Dengan segenap kekuatan yang ada dia mencoba berdiri dan berjalan. Tas yang dibawanya didekap kencang, lalu berlari pelan.
Dari kejauhan Marlina melihat neon box bertuliskan ‘Bidan Delima”. Semangatnya datang lagi, lalu mempercepat langkah menuju klinik tersebut.
Rasa sakitnya datang lagi, sesat berhenti menahan rasa sakit lalu dia ambruk lagi. Marlina merasakan sesuatu yang lengket di antara kedua pahanya.
Pagar klinik sudah sangat dekat, tapi dia kesulitan untuk sampai ke situ. Marlina mengatur nafas di tengah-tengah kontraksi perut ini. Dia kembali mengumpulkan tenaga lalu berjalan cepat hingga menggapai pintu pagar yang bertuliskan ‘ada bidan’.
Marlina menggerak-gerakkan pintu pagar yang terkunci, tak ada balasan dari dalam, lalu dia mengguncangkan pintu pagar lebih kencang lagi sambil berteriak, “Bu Bidan, tolong aku mau melahirkan!”
Masih tak ada jawaban, Marlina bergetar meremas pintu pagar lalu menunduk dan menangis kencang, masih tak ada jawaban dari dalam.
Sekilas Marlina melihat tulisan ‘pencet bel’ di pinggir pagar. Ah, kenapa aku tak melihatnya dari tadi, batin Marlina. Kemudian Marlina langsung memencet bel itu berulang kali.
Dari dalam kulihat hordeng jendela tersingkap. Melihat kedatangan Marlina, orang yang berada di dalam membuka pintu klinik dan mendekatinya. “Siapa?” tanyanya meneliti wajah Marlina dari balik pagar.
“Tolong aku, aku mau melahirkan!” Marlina memperlihatkan dasternya yang sudah mulai basah di bagian bawah.
“Oh, iya. Sini masuk!” wanita itu membukakan pintu gerbang.
Wanita itu menuntun Marlina ke sebuah ruangan di dalam klinik itu, lalu memeriksanya dengan seksama. Marlina mengeluarkan uang dari dalam tas lalu memberikan pada wanita itu, “saya hanya punya ini, tak ada yang lain. Tolong bantu saya!” pinta Marlina sambil menggenggam tangannya, menyerahkan semua uang tabungan yang ia miliki.
“Simpan ini dulu ya. Saya akan menolongmu. Saat ini sudah pembukaan delapan, tak lama lagi bayi utun itu akan keluar, tenangkan diri Ibu ya!” ucap bu bidan dengan lembut, lalu memasukkan kembali uang yang diberikan Marlina ke dalam tasnya.
Selama perjalanan tadi, Marlina berkali-kali berguling di jalan, wajah Marlina kotor sekali. Bidan itu membersihkan wajah dan tangannya dengan handuk basah, lalu memberikan segelas teh manis hangat. Saat teh hangat itu menyentuh tenggorokan Marlina, dia merasa lebih tenang dan rileks. Dia merasakan sakit yang datang dan pergi dengan tenang sambil mengucap istighfar berulang kali.
“Jangan mengejan dulu ya Sayang, kalau sakit ditahan aja dulu. Atur nafas, santai, tenang. Ibu aman di sini.”
Marlina mengikuti saran bidan. Bidan itu memanggil Marlina dengan sebutan Ibu. Setiap yang akan melahirkan dipanggil Ibu, meski tak pantas sepertiku yang tak bersuami.
Tiba saatnya Bu Bidan menyuruh Marlina untuk mengejan, dengan dua kali tarikan nafas, akhirnya bayi itu lahir. Marlina merasakan kelegaan yang sangat luar biasa, sangat lega.
Bayi itu menangis kencang, menciptakan rasa bahagia.
“Selamat ya, anak Ibu perempuan yang cantik.”
Bu Bidan memandikan bayi itu dengan cekatan, lalu memakaikan pakaian yang layak dan membungkusnya. Bayi yang sudah rapi itu diletakkan di box bayi yang berada tak jauh dari tempat tidur Marlina.
Bu Bidan kembali ke kasur Marlina, lalu membersihkan darah dan kotoran di perut dan kakinya.
Setelah semuanya selesai, Bu Bidan menaikkan kasur di bagian kepala sehingga Marlina dalam posisi setengah duduk. Kemudian memberikan bayi kecil itu padanya.
Marlina teringat lagi mimpi malam itu, bayi yang mengeluarkan air mata darah. Marlina menutup wajah dengan kedua tangan.
“Ibu belum siap? Baiklah, sekarang istirahat dulu ya. Ibu pasti sangat lelah.”
Ketika Marlina menarik kedua tangan dari wajahnya, bidan itu telah meletakkan bayinya dalam box bayi kembali.
“Kita istirahat di dalam ya. Saya bantu turun dari sini ya, Hati-hati!”
Bu bidan menuntun Marlina ke sebuah kamar lalu membaringkannya di atas kasur beralaskan sprei putih. “Mau minum lagi?” tanya bu bidan. Marlina mengangguk, lalu dia meninggalkan ruangan itu.
Tak lama dia kembali lagi membawa sisa teh manis yang tadi dan sebotol air mineral.
“Ibu hebat sekali. Kontraksi sebentar sekali, bayinya mudah keluar, saya juga tidak sulit membantu mengurusnya,” puji bu bidan dengan mengacungkan dua jempolnya.
Marlina membalas dengan senyuman. “Sekarang istirahat dulu ya, hari sudah hampir subuh. Saya mau shalat dulu.” Bu bidan meninggalkan ruangan Marlina.
Langit telah terang saat Marlina membuka mata, suara alunan musik sendu terdengar. Matanya memindai setiap sudut ruangan ini. Marlina baru tersadar bahwa dia sudah melahirkan semalam. Malam penuh perjuangan telah dia lalui.
Lalu di mana bayiku? tanya Marlina dalam hati. Marlina kembali teringat lagi wajah bayi yang menangis darah dalam mimpinya. Marlina menutup wajah dengan kedua tangan, berharap mimpi itu tak lagi hadir.
Marlina ingin ke kamar mandi, dia mencoba bangkit sendiri dari kasur. Dia berjalan terseok melewati ruang persalinan semalam. Di box bayi itu tak ada penghuninya, ‘di mana bayiku?’ tanya Marlina dalam hati.
“Sudah bangun Bu? Mau sarapan dulu?” tanya Bu Bidan santun.
Marlina menggeleng, “Aku mau ke kamar mandi dulu!”
Bu bidan menyerahkan tas yang semalam dibawanya. “Ini tas ibu. Kamar mandi ada di situ.” Bu bidan menunjuk ke sebuah pintu. Marlina meraih tas tersebut dan berjalan menuju kamar mandi.
Setelah mandi dan sarapan, Bu Bidan mendekati Marlina. Bertanya semua tentangnya, Marlina menceritakan kenapa dia hamil, kenapa dia nekat malam-malam ke sini sendiri. Bu Bidan menangis mendengar cerita Marlina, "jika kamu belum siap punya anak gapapa, itu hakmu. Tapi setidaknya sayangi bayi tak berdosa itu walau sebentar. Biarkan bayi itu mendapatkan kasih sayang dari ibu."
"Bagaimana caranya? Saya gak bisa apa-apa."
Bu bidan keluar ruangan meninggalkan Marlina. Tak lama kemudian, dia kembali lagi dengan membawa bayi itu.
"Saya bersedia merawat bayi ini sampai besar. Tapi setidaknya, gendonglah! Peluk dan cium dia. Bayi ini tidak berdosa."
Marlina menerima bayi itu, menggendongnya, tapi dia tak berani menciumnya. Marlina takut bayi itu bangun, lalu menangis darah seperti mimpi yang kemarin.
"Tadi dia minum sedikit, banyak tidur. Sekarang waktunya dia minum susu lagi. Kamu bersedia menyusuinya kan?"
Marlina mengangguk ragu, "bagaimana caranya?"
Bu Bidan mengajari Marlina cara menyusui yang baik, ternyata dia bisa menyusui bayi ini. Ada rasa senang, nyeri, bahagia, semua bercampur jadi satu.
Bu Bidan mengajari cara merawat bayi dengan sabar dan telaten meski Marlina masih menyimpan rasa trauma ketika melihat wajah bayi. Marlina diperbolehkan tinggal di klinik itu sampai sehat dan pulih baik fisik maupun mental.
Tepat tujuh hari setelah Marlina melahirkan, Bu Bidan bertanya lagi, “Marlina, apakah kamu mau menjaga dan merawat bayi ini?”
Marlina terdiam dan menunduk. Sebenarnya Marlina malu membawa bayi ini pulang, apa kata tetangga, tapi alangkah teganya dia sengaja meninggalkan bayi ini di sini.
“Ini bayimu, jika kamu keberatan untuk merawatnya, saya bisa menolong untuk merawatnya. Tapi kalau kamu mau merawatnya sendiri ya silahkan. Asimu tidak banyak, konsekuensinya adalah membelikan susu formula sebagai pengganti asi secara rutin sesuai kebutuhan bayi.” Hancur hati Marlina mendengarnya, semua bayi pasti membutuhkan susu, tapi asinya tak banyak, untuk membeli susu formula pasti banyak sekali biayanya, Dia tak punya uang.
“Saya akan merawat dengan baik, saya pastikan bayi ini tidak kekurangan sesuatu apapun. Saya akan merawatnya seperti merawat anak kandung sendiri.” Bu bidan mencium bayi cantik itu. Dengan berat hati Marlina mengangguk pelan.
“Saya titip ya, Bu. Zahra namanya,” ucap Marlina beruraian air mata.
“Nama yang bagus, terima kasih Ibu!” Bu Bidan mengarahkan wajah bayi itu pada Marlina.Saatnya Marlina kembali ke kampung bersama ayah dan neneknya. Marlina melambaikan tangan, sangat berat meninggalkan bayi yang selama sembilan bulan dalam kandungan. Marlina melangkah ke arah gerbang, sebelum menutup gerbang dia melambaikan tangan lagi lalu menutup wajah dengan tangan dan membalikkan badan ke arah jalan pulang. ‘Selamat tinggal Zahra, bayiku sayang, semoga kelak nasibmu lebih baik daripada Ibumu. Ibu berharap bu bidan tulus merawat dan mencintai Zahra seperti janjinya yang akan menjagamu seperti merawat anak sendiri,’ Marlina berdoa dalam hati.
Tiba di perbatasan kebun menuju kampung, Marlina berbalik badan melihat ke arah klinik bersalin itu, dia berjanji suatu saat nanti jika telah berhasil jadi orang kaya dia akan menjemput Zahra dan mendidiknya menjadi orang yang sukses dan berguna. Dengan berat hati Marlina memasuki kebun karet yang menyimpan memori kelam siang hari itu.
Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. Siapa mereka?
Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. ‘Siapa mereka?’ tanya Marlina dalam hati.“Siapa kamu? Kenapa lewat di sini sendirian? Bahaya! Banyak terjadi kejahatan di sini.” salah satu orang itu memperingatkan Marlina.“Ma-maaf, saya cuma numpang lewat.” Marlina mengeratkan tali tas di dadanya.“Cepat pulang sana!” Perintah yang lain.“Iya, permisi.” Marlina mempercepat langkahnya melewati sungai. Rasa trauma akan kejadian waktu itu masih belum hilang dari benaknya.Beberapa kali terpeleset di bebatuan, Marlina mempercepat langkahnya untuk menjauhi kedua orang yang tak
Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”Nenek Sholihati terseok berjalan menuju kamar menantunya, “kenapa Ayahmu, Mar?”“Gak tau, Nek.” Marlina mengusap air liur Pak Maryono yang keluar dari mulut ayahnya.“Istighfar, Nak.” Nenek Sholihati mengelus dada Pak Maryono yang naik turun. Marlina mengusap alis ayahnya, berharap kedua bola matanya normal kembali. “Astagfirullahaladzim.” Marlina menuntun ayahnya beristighfar.Perlahan dada Pak Maryono normal kembali, bola matanya juga tak lagi
Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun.Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.Terdengar
PlakSalah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”“Hajar!” teriak yang lain.Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.Orang-orang yang sedang memukuli Marlina sontak berhenti lalu menengok ke sumber suara.Seorang wanita cantik mendekati Marlina. “Kamu mencuri hp di tempat laundry saya?” tanya wanita cantik itu.“Nggak, saya gak nyuri apapun,” bantah Marlina sambil menangis.
“Kerjanya di bagian wilayah mana?” ulang wanita di sebelah Marlina.“Owh, saya kebetulan di laundry depan rumah ini,” jawab Marlina.Wanita itu terkekeh, “cuma pegawai laundry, saya pikir kurir seperti aku juga!”“Kurir apa?” tanya Marlina bingung, tapi wanita itu justru tertawa keras.Sebuah pintu besar di ujung ruang makan terbuka, Tante Angel keluar dari pintu tersebut. Semua orang yang ada di ruang makan berdiri menyambut kedatangannya. Setelah Tante Angel duduk di kursi utama, yang lain diperbolehkan duduk kembali.“Selamat malam ladies,” sapa Tante Angel sumringah.
Marlina masuk ke dalam rumah itu, ternyata pria itu bertelanjang dada dan hanya menutup kemaluannya dengan sehelai handuk, dan membiarkan sebagian pahanya terekspos bebas. Roti sobek di dada pria itu tersusun indah, Marlina meneguk liurnya yang tersangkut di tenggorokan.“Liat apa?” bentak Jessie.“E-enggak. Maaf,” jawab Marlina takut.Jessie keluar dari kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuh. “Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.” Pria yang membukakan pintu untuk Marlina mengikuti langkah Jessie ke kamar mandi.Selama mereka mandi, Marlina melihat seluruh isi rumah Jessie. Kotor, bau dan pengap, puntung rokok berserakan di lantai. Beberapa botol dengan pipet juga tergeletak di lanta
“Jangan bergerak, angkat tangan ke atas!” perintah seseorang dari belakang Marlina. Sebuah benda tumpul menusuk pinggangnya. Marlina kaget dan langsung mengangkat kedua tangannya.Tiba-tiba orang yang di belakang Marlina menekuk tangannya ke belakang lalu menjatuhkannya dalam posisi telungkup di tanah.“Ada apa ini?” pekik Marlina.“Diam!” perintah orang itu dengan berteriak. Beberapa orang keluar dari persembunyiannya.Pria yang mengaku sebagai Pak Toni membuka paket pemberian Marlina.“Target dikuasai!” ucap seseorang menggunakan walkie talkie.“Amankan!” jawab dari seberang.
Chris mendekat lalu menjambak rambut Marlina ke belakang hingga wajahnya mendongak ke atas. “Diam, tadi aku sudah membayarmu sepuluh juta. Jadi kamu sekarang harus membayarnya!” “Jangan, tolong jangan sakiti aku. Aku gak punya uang sepuluh juta. Kembalikan saja aku ke dalam penjara.” Marlina menangis sambil memohon, peristiwa di sungai dekat kebun karet melintas dalam benak Marlina. Dia sangat takut jika peristiwa itu terulang lagi. “Tidak semudah itu gadis bodoh!” Chris mengencangkan tarikan tangannya pada rambut Marlina. “Aduh, sakit. Ampun!” Marlina memegang rambut yang dijambak Chris. Chris melepaskan tangannya dengan mendorong Marlina ke lantai. “Au,” teriak Marlina kesak