Share

6. Kembali Ke Rumah

Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. ‘Siapa mereka?’ tanya Marlina dalam hati.

“Siapa kamu? Kenapa lewat di sini sendirian? Bahaya! Banyak terjadi kejahatan di sini.” salah satu orang itu memperingatkan Marlina.

“Ma-maaf, saya cuma numpang lewat.” Marlina mengeratkan tali tas di dadanya.

“Cepat pulang sana!” Perintah yang lain.

“Iya, permisi.” Marlina mempercepat langkahnya melewati sungai. Rasa trauma akan kejadian waktu itu masih belum hilang dari benaknya.

Beberapa kali terpeleset di bebatuan, Marlina mempercepat langkahnya untuk menjauhi kedua orang yang tak dikenalnya.

Memasuki kampungnya, Marlina merasa khawatir akan penolakan warga padanya dan keluarganya. Dia teringat bahwa ayahnya stroke akibat gunjingan dari tetangga yang sudah sangat keterlaluan. 

Rasa rindu pada ayah dan neneknya, membuat Marlina meneteskan air mata. Sambil menunggu situasi lebih sepi dari balik pohon, Marlina merencanakan apa yang hendak dikatakannya pada nenek dan ayah mengenai bayinya. Jika dia berkata jujur, apakah nenek dan ayah anak menyetujui keputusannya? Bagaimana jika mereka tidak terima dengan keputusannya? 

Marlina enggan mendekati rumahnya, dia kembali masuk ke kebun karet lalu menumpahkan air matanya di sana. Marlina menyesali semua yang telah diperbuat. Seandainya dia tidak meneruskan sekolah SMA, mungkin ibunya masih ada, ayahnya masih sehat, hidup damai dikelilingi orang tercinta.

Karena terlalu lama menangis dan buaian angin yang bertiup sela dahan pepohonan, membuatnya terlelap hingga matahari tergelincir. Suasana mulai remang-remang, Marlina memberanikan diri melangkah menuju rumahnya.

‘Nenek, aku pulang,’ ucapnya dalam hati.

Marlina masuk ke dalam rumah dari pintu belakang, dia masuk dengan mengendap-endap.

Nenek Sholihati sedang memasak di dapur, “Nek,” sapa Marlina pelan.

Nenek Sholihati menengok sumber suara yang memanggilnya, “Marlina,” jeritnya lalu mendekap cucu satu-satunya itu.

“Mar, sudah pulang,” bisik Marlina pelan pada neneknya.

“Mana anakmu?” Nenek melepaskan pelukannya lalu mengelus perut Marlina yang sudah tak buncit lagi. 

Marlina menggeleng pelan lalu mengusap air matanya di pipi.

“Mana bayimu?” tanya Nenek Sholihati lagi.

“Dia aman tinggal bersama bu bidan, Nek,” jelas Marlina.

Nenek Sholihati menggelengkan kepala, “kamu meninggalkan bayi itu di sana? Kamu gak bersungguh-sungguh membiarkan bayi itu di sana kan?” 

“Mar belum siap punya anak, Nek. Asi Mar juga gak banyak, jadi terpaksa Mar titipkan bayi itu di sana. Bu bidan berjanji akan merawat bayi itu dengan baik,” jelas Marlina.

Nenek kembali menghadap kompornya, sepertinya nenek kecewa mendengar penuturan dari Marlina.

“Nek, maafin Mar. Mar terpaksa melakukannya. Nenek jangan marah ya!” pinta Marlina dan memegang bahu neneknya yang juga menangis.

“Nek,” Bu Gembrot langsung masuk ke dalam rumah tanpa diberi izin.

“Lho, ada Marlina. Sejak kapan kamu di sini? Perutmu sudah rata.” Bu Gembrot mengelus perut Marlina. Marlina merasa risih lalu mundur menjauh dan berlindung di balik Nenek Sholihati.

“Mana bayimu?” Bu Gembrot membuka pintu kamar tanpa izin, mencari-cari bayi Marlina.

“Mau apa kamu di sini?” bentak Nenek.

“Aku mau mengantar ini.” Bu Gembrot menaruh bungkusan di atas meja lalu kembali keluar masuk kamar mencari bayi Marlina. “Kok anakmu gak ada?”

“Er,” Pak Maryono seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

“Terima kasih. Tolong jangan ganggu keluargaku, silahkan pergi!” Nenek Sholihati mengambil kantong plastik dari atas meja lalu berdiri di depan pintu yang terbuka untuk mengusir Bu Gembrot.

“Dikasih kok malah ngusir, dasar tidak tahu terima kasih.” Bu Gembrot melangkah pergi dengan wajah yang kusut.

Marlina tidak menghiraukan kepergian Bu Gembrot itu lagi, dia memberanikan diri mendekati ayahnya yang sedang berbaring. Mata sendu Pak Maryono menyimpan kerinduan yang mendalam pada putri satu-satunya itu. Setelah mematung beberapa saat, akhirnya Marlina berlari lalu memeluk ayahnya dan menumpahkan air matanya. 

“Yah, maafin Mar. Mar bikin ayah susah terus,” tangis Marlina tersedu-sedu. Pak Maryono membalas pelukan Marlina dengan mengelus rambut Marlina dengan tangan kirinya.

“Er,” Pak Maryono mengelus perut Marlina yang kini tak buncit lagi. Nenek Sholihati ikut masuk ke dalam kamar Pak Maryono karena ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi dari Marlina.

“Mar, tolong jelaskan pada Nenek dan Ayah. Di mana bayimu sekarang?” pinta Nenek Sholihati.

Marlina mengusap pipinya yang basah. Bahunya naik turun menahan tangis. 

“Sudah, jangan menangis lagi. Ayahmu ingin dengar penjelasanmu.” Nenek Sholihati mengelus punggung cucunya itu.

“Bayi itu sudah berada di tempat yang aman. Dia nyaman dan terlindungi di sana. Ayah dan Nenek tidak perlu khawatir. Yang penting Ayah sehat lagi seperti dulu, Mar siap menjaga dan merawat Ayah sampai sembuh.” Marlina kembali menyeka air matanya.

Pak Maryono menangis tersedu-sedu, tak ada kata yang terdengar dari mulutnya, hanya erangan yang sangat memilukan.

***

Keesokan harinya Marlina dengan sigap memasak air untuk memandikan ayahnya, lalu membuatkan bubur dan menyuapi ayahnya dengan penuh kasih sayang. Seminggu adalah waktu yang sangat lama bagi Marlina meninggalkan ayahnya. Marlina membayar rindunya pada Pak Maryono dengan merawatnya sepenuh hati. 

Selama Marlina tidak ada di rumah, Nenek Sholihati tidak cekatan seperti Marlina dalam mengurus Pak Maryono, mungkin karena fisik nenek yang sudah renta.

Tok … tok ….

Pintu rumah diketuk dari luar. Nenek Sholihati membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata bu RT dan beberapa ibu-ibu lainnya datang beramai-ramai.

“Ada apa?” tanya Nenek Sholihati gugup melihat ibu-ibu berkerumun di depan rumahnya.

“Marlina kemarin hamil kan? Sekarang mana bayi itu?” teriak Bu RT.

“Tidak ada. Kalian tidak perlu tau dimana bayi itu berada sekarang. Bukan urusan kalian, pergilah!” usir Nenek Sholihati.

“Seharusnya Marlina yang pergi dari kampung ini, sampah masyarakat, sangat meresahkan,” umpat Bu Gembrot berapi-api.

Marlina tak berani keluar dari kamarnya, dia berlindung bersama ayahnya yang kembali menangis mendengar teriakan ibu-ibu di depan. 

“Cucuku tidak mengganggu kalian, kenapa harus diusir?” bantah Nenek Sholihati.

“Cucumu itu sudah hamil tak suami, itu saja sudah membuat mencoreng nama baik kampung ini. Apalagi dia telah membunuh bayi itu!” teriak Bu RT.

“Cucuku bukan pembunuh, pergilah kalian dari rumahku!” Nenek Sholihati yang renta itu berteriak sekeras-kerasnya hingga terbatuk-batuk.

“Usir Marlina dari kampung ini!” teriak orang dari belakang kerumunan ibu-ibu di depan rumah Pak Maryono diikuti teriak lain yang menyerukan pengusiran Marlina. Orang yang datang ke rumah itu bertambah banyak.

Marlina menangis memeluk ayahnya, meminta perlindungan pada orang tuanya. Ayahnya terisak sambil memeluk putri tercintanya.

“Cucuku bukan pembunuh,” isak Nenek Sholihati sambil memegang gagang pintu, kekuatannya mulai melemah lalu terduduk tak berdaya dengan bersandar pada pintu.

Bu RT dan ibu-ibu lainnya masuk ke dalam rumah mencari Marlina, “hai perempuan kotor, pergi dari kampung ini!” pekik Bu RT melihat ayah dan anak yang sedang berpelukan di kasur itu.

“Usir!”

“Usir!”

“Usir!”

Teriakan orang-orang semakin bising di telinga. 

Marlina turun dari kasur lalu berlutut di depan orang-orang beringas yang akan mengusirnya dari kampung ini, “tolong beri saya kesempatan. Kalau saya pergi, siapa yang akan mengurus ayah saya. Saya hanya ingin merawat ayah saya. Tolong beri saya kesempatan,” Marlina menangkupkan kedua tangan memohon pada warga yang memenuhi kamar ayahnya.

“Anak durhaka, masih juga kamu berani menjadikan ayahmu sebagai alasan untuk tinggal di sini.”

“Pokoknya Marlina tidak boleh tinggal di kampung ini lagi.”

“Bawa pergi ayahmu yang tak berguna itu sekalian dari kampung ini.”

Makian dari orang-orang semakin membuat keluarga Pak Maryono tak berdaya. Marlina bersujud di depan warga, memohon dan minta dikasihani, tapi tak ada seorangpun yang menanggapinya. Justru kata-kata pengusiran yang semakin santer terdengar.

“Aku beri waktu sampai matahari terbit besok untuk tinggal di sini. Tapi jika sampai besok kamu tidak pergi dari sini, maka rumah ini akan dibakar sampai habis!” ancam Bu RT.

Bu RT meninggalkan rumah Pak Maryono diikuti ibu-ibu yang lain.

“Usir Marlina!”

“Usir Marlina!”

Teriakan itu masih terdengar hingga semua orang bubar dari pandangan.

Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.

“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Supina
kasian bangettt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status