Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.
“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”
Nenek Sholihati terseok berjalan menuju kamar menantunya, “kenapa Ayahmu, Mar?”
“Gak tau, Nek.” Marlina mengusap air liur Pak Maryono yang keluar dari mulut ayahnya.
“Istighfar, Nak.” Nenek Sholihati mengelus dada Pak Maryono yang naik turun. Marlina mengusap alis ayahnya, berharap kedua bola matanya normal kembali. “Astagfirullahaladzim.” Marlina menuntun ayahnya beristighfar.
Perlahan dada Pak Maryono normal kembali, bola matanya juga tak lagi ke arah atas.
Marlina mencium ayahnya, tapi dia tak merasakan hembusan nafas dari hidung Pak Maryono.
“Ayah, Ayah!” Marlina menggoyangkan tubuh ayahnya.
“Kenapa Ayahmu, Mar?” Nenek Sholihati memegang dada menantunya, tak ada getaran sedikitpun.
“Nek, Ayah kenapa?” Air mata Marlina meleleh.
Nenek Sholihati menggelengkan kepalanya lalu mengusap kedua mata menantunya, “Ayahmu sudah gak ada, Mar!” isaknya.
“Gak, Nek. Gak mungkin. Ayah masih hidup.” Marlina memeluk dan mencium ayahnya yang sudah tak bernyawa itu.
Nenek Sholihati menarik tangan cucunya agar menjauh dari sang ayah lalu menatapnya dengan menggenggam kedua tangannya, “Marlina cucuku sayang. Ayahmu sudah meninggal.” Nenek Sholihati mulai menangis, air matanya berderai.
Marlina memastikan nafas ayahnya kembali, lalu menempelkan telinga ke dada ayahnya. Tak ada gerakan, tak ada hembusan nafas. Marlina bangkit dari sisi ayahnya lalu pergi ke dapur mengambil cangkul.
“Kamu mau ngapain, Mar?” tanya Nenek.
“ Aku mau mengubur ayahku sendiri. Aku gak butuh bantuan orang di kampung ini.” Marlina mengusap air matanya dengan kasar.
Marlina mulai mencangkuli tanah di halaman belakang rumahnya. Tubuhnya masih lemah, tetapi semangatnya tinggi. Marlina berjanji akan mengurus jenazah ayahnya sendiri. Dia menyimpan dendam dan kemarahan yang luar biasa pada warga kampung. Bu RT dan Bu Gembrot adalah provokator yang membuat ayahnya meninggal.
Nenek Sholihati tak kuasa melihat cucunya yang baru kemarin melahirkan, sekarang sudah bersusah payah menggali liang lahat untuk ayahnya. Nenek Sholihati ingin meminta tolong bantuan pada tetangganya, namun urung dilakukan.
Nenek Sholihati membantu membuang tanah yang sudah digali Marlina. Keduanya bersemangat menggali lubang untuk mengubur Pak Maryono. Semangat mereka datang kembali setelah teringat pengusiran dari warga tadi pagi.
Hingga matahari tepat di atas kepala, tanah yang digali kedua baru setinggi lutut dengan luas satu meter kali dua meter. Darah nifas Marlina mengalir deras, seharusnya dia belum boleh melakukan kegiatan yang menguras tenaga seperti menggali kubur, tapi dia tidak bisa mengandalkan neneknya atau orang lain. Saat ini tak ada lagi air mata yang mengalir, hanya kekuatan dari amarah yang memenuhi dada, kebencian menyeruak dalam tiap hembusan nafas Marlina.
“Kita istirahat dulu, Mar. Panas sekali, kita berteduh dulu di dalam rumah.” Nenek Sholihati mengajak cucunya berhenti.
“Gak, Nek. Lubangnya belum selesai digali.” Marlina masih terus menggali.
Nenek Sholihati masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk Marlina, dia tak berani masuk ke dalam kamar menantunya. Tak tega melihat menantunya terbaring tak bernyawa.
Marlina hanya berhenti sesaat untuk minum dan mengganjal perutnya, lalu kembali menggali tanah hingga larut malam. Nenek Sholihati tak sanggup membantu Marlina lagi karena dia sudah lelah.
Marlina terus menggali sampai larut malam. Dia tak sadar hingga tertidur sambil memegang gagang cangkul dalam lubang yang tengah digalinya. Suara binatang malam membangunkannya. Marlina melihat ke sekelilingnya, lubang yang digalinya baru setinggi dadanya, masih kurang dalam untuk mengubur jenazah. Dia keluar dari lubang lalu membersihkan diri sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Neneknya terbaring di kursi dapur, dekat pintu belakang, mungkin nenek bermaksud menemani Marlina dari dapur karena tak kuasa lagi membantu menaikkan tanah hasil galian. Kemudian Marlina masuk ke dalam kamar ayahnya. Ayahnya masih dalam posisi semula, diam tak bernyawa. Tak ada tetangganya yang datang melayat atau membantu mengurus jenazahnya. Tanpa sengaja, air matanya menetes. Dia kembali teringat kata-kata Bu RT yang sangat menusuk kalbunya, terlebih fitnahan Bu Gembrot yang mengajak warga datang ke rumahnya untuk mengusir Marlina.
‘Mengapa orang-orang begitu membenciku, padahal aku tak pernah merugikan mereka,’ Marlina membatin, lalu dia memeluk dan mencium jenazah ayahnya tercinta.
Warga kampung inilah yang membunuh ayahnya, amarah dan kebencian datang kembali menyulut semangatnya.
Marlina kembali ke belakang lalu masuk ke dalam lubang galiannya dan meneruskan menggali lagi. Mungkin jika tidak dalam kondisi pasca melahirkan, lubang ini sudah selesai digali sejak sore tadi. Setelah mencangkuli tanah, Marlina membuang hasil galiannya ke atas hingga lubang galiannya setinggi badannya.
Beberapa ekor ayam jantan mulai berkokok, menunjukkan matahari hendak keluar dari peraduan. Lubang telah selesai digali, Marlina menyiapkan air untuk memandikan ayahnya, menyusun tempat tidur dari bambu sebagai alas pemandian jenazah ayahnya.
Nenek Sholihati bangun dari tidur dan menyiapkan kain untuk membungkus jenazah menantunya. Nenek Sholihati hanya menggelar kain batik yang dimilikinya untuk membungkus jenazah menantunya sebab mereka tak memiliki kain putih.
Setelah menyiapkan semuanya, Marlina dan Nenek Sholihati berusaha memindahkan jenazah Pak Maryono. Mereka berdua tak kuat menggotong Pak Maryono, hanya menggeser sedikit demi sedikit. Marlina berinisiatif memeluk ayahnya, lalu mendirikannya, lalu dijalankan sedikit demi sedikit dengan kaki yang diseret pelan. Beberapa kali terjatuh, tapi Marlina kembali mendirikan ayahnya dalam pelukannya.
Sampai di luar rumah, jenazah Pak Maryono diletakkan di atas tempat tidur bambu yang telah disiapkan sebelumnya. Marlina dan Nenek Sholihati mulai memandikan Pak Maryono untuk terakhir kalinya.
Langit mulai terang, jenazah telah selesai dimandikan lalu keduanya membungkus dengan kain jarik seadanya.
“Marlina, keluar kamu! Atau aku bakar rumah ini!” Suara teriakan dari depan.
“Usir Marlina!”
“Usir Marlina!”“Bakar!”“Bakar rumahnya!”
Teriakan kebencian terdengar nyaring. Nenek Sholihati kelihatan kebingungan, dia masuk ke dalam lalu keluar lagi ke belakang menemui Marlina yang sedang mengurusi jenazah menantunya.
“Nek, katakan pada mereka bahwa aku akan pergi dari kampung ini setelah selesai memakamkan ayah!” kata Marlina sambil mengusap air matanya.
Nenek Sholihati menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju.
“Katakan pada mereka, jangan sampai mereka membakar rumah ini, Nek!” jerit Marlina pada neneknya. Nenek Sholihati menganggukkan kepala lalu ke depan menemui warga yang sedang emosi.
“Kami akan pergi dari sini setelah kami selesai mengubur Maryono!” teriak Nenek Sholihati ketika membuka pintu depan.
“Gak usah banyak alasan, Marlina harus segera pergi dari sini!”
Beberapa orang mulai masuk ke dalam rumah, membuka pintu kamar satu per satu tapi tak menemukan Marlina. Lalu mereka ke dapur dan melihat pintu belakang terbuka.
“Marlina ada di belakang sini!” teriak orang yang melihat Marlina.
Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb