Home / All / GADIS YANG TERJAMAH / 8. Keluar Dari Kampung Neraka

Share

8. Keluar Dari Kampung Neraka

Author: sitta rulita
last update Last Updated: 2022-03-05 18:47:32

Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.

“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun. 

Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.

“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.

“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.

Terdengar bisik-bisik dari orang sekitar, mereka tidak lagi berteriak lagi. Ada sebagian yang mengecek tubuh Pak Maryono yang masih basah itu. Ada juga beberapa orang yang memperhatikan lubang galian yang masih basah.

“Tolong beri kami kesempatan untuk menguburkan Maryono,” Nenek Sholihati kembali menangis dan memohon pada warga. 

Warga semakin banyak yang berdatangan, mereka ingin melihat proses pengusiran Marlina dari kampung mereka.

Tak ada jawaban dari warga atas permohonan Marlina dan Nenek Sholihati. Keduanya berinisiatif membungkus jenazah Pak Maryono. Meski tak mendapat izin, keduanya bergegas melakukannya. Dengan selembar kain jarik usang, jenazah Pak Maryono berhasil dibungkus. Lalu keduanya mengangkat jenazah Pak Maryono, namun tak bisa karena keberatan. Warga hanya melihat aksi keduanya tanpa membantu sedikitpun. 

Mulai dari bisikan pelan, hingga umpatan kasar dan penghinaan terlontar dari mulut warga. Seakan mereka tak memiliki belas kasih sedikitpun pada keluarga yang tertimpa musibah itu.

Marlina merangkul ayahnya, lalu mengangkat pelan. Kaki Pak Maryono terseret di tanah. Nenek Sholihati membantu Marlina mengangkat jenazah menantunya.

Hari ini adalah hari paling suram untuk keluarga Nenek Sholihati, hari yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka. Dari sekian banyak warga yang datang ke rumah itu, tak satu orang pun yang membantu proses pemulasaran jenazah bahkan sampai pemakaman. Entah apa memang mereka tak mau membantu atau karena takut diancam sanksi sosial jika membantu keluarga tersebut.

Tiba di bibir lubang, Marlina terpaksa meletakkan jenazah ayahnya di tanah di samping lubang tanpa alas apapun. Lalu dia masuk ke dalam lubang sendiri. Nenek Sholihati berada di atas dekat jenazah menantunya. Keduanya berusaha menggeser jenazah Pak Maryono. Tapi celakanya, jenazah itu langsung jatuh ke dalam lubang secara tak beraturan. Posisi jenazah tertekuk di bagian badannya, kain jarik pembungkusnya berlumuran lumpur basah.

“Astagfirullahaladzim,” teriak Nenek Sholihati. Marlina sempat tertimpa jenazah ayahnya, tapi dia bangkit lagi. Dia meluruskan badan ayahnya, dan membersihkan sebagian tanah lumpur pada kain jarik yang dipakai ayahnya. Sebagian tubuh Pak Maryono terlihat, padahal tadi sudah dibungkus dengan rapi oleh Marlina dan Nenek Sholihati. Marlina memperbaiki kain jarik penutup jenazah ayahnya.

“Gak usah mengulur waktu Marlina. Waktumu tak banyak,” teriak Bu RT dari atas liang lahat. Marlina tersentak. Dia tak lagi memperbaiki kain penutup pada tubuh ayahnya, cukup seadanya saja. Setelah itu dia naik ke atas lalu memasukkan tanah hasil galian yang semalam di atas jenazah ayahnya. 

Tak ada lagi air mata, hati Marlina penuh rasa ketakutan. Dia tak lagi mengenal lelah, yang dilakukannya hanya menuruti perintah warga untuk mempercepat proses pemakaman ayahnya. Nenek Sholihati tak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis melihat Marlina seperti kesetanan memasukkan tanah galian ke liang lahat dengan cepat.

Matahari sudah agak tinggi, Marlina selesai mengubur jenazah ayahnya. Tubuh dan bajunya penuh noda lumpur tanah basah.

“Aku akan pergi, aku akan pergi dari sini sekarang!” kata Marlina bergetar.

Marlina merangkul neneknya lalu melangkah pergi tanpa tujuan.

“Hei Marlina, yang pergi dari kampung ini hanya kamu! Nenekmu tinggal di sini!” teriak Pak RT.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkan Nenek di sini sendirian. Aku akan pergi bersama Nenek,” Marlina mengeratkan rangkulan pada tubuh neneknya itu.

“Untuk apa aku tinggal di sini? Aku akan pergi bersama cucuku. Ambillah rumah dan semua hartaku di dalamnya, aku rela. Tapi biarkan aku pergi bersama cucuku ini,” jerit Nenek Sholihati.

Bu Gembrot menarik tangan Nenek Sholihati dari rangkulan Marlina hingga keduanya terjatuh ke arah yang berlawanan.

“Nenek,” teriak Marlina lalu merangkak dan memeluk neneknya. “Kalian boleh menghina dan menyakiti aku, tapi tolong jangan sakiti Nenek. Dia tidak bersalah!” tangis Marlina.

“Enyahlah kau dari sini!” kata Bu RT sambil menarik rambut Marlina sampai Marlina benar-benar berdiri lalu mendorongnya jauh dari posisi Nenek Sholihati.

“Tolong biarkan aku pergi bersama cucuku!” Nenek Sholihati memohon sambil menangis. 

“Nenek!” teriak Marlina.

Beberapa orang berdiri di depan tubuh Nenek Sholihati yang tersungkur di tanah sehingga Marlina terhalang untuk melihat atau sekedar mengucap salam perpisahan pada neneknya itu.

“Pergilah dari sini, dan jangan pernah kembali!” usir Bu RT pada Marlina. 

“Untuk apa aku di sini. Anak dan menantuku sudah tak ada, tapi kalian malah memisahkan aku dengan cucuku satu-satunya.” Nenek Sholihati menangis meraung-raung. Tangisannya tak sedikitpun membuat orang lain iba. Warga kampung itu hatinya telah tertutup baja tebal tanpa mengenal belas kasihan sama sekali.

Marlina terpaksa meninggalkan rumahnya setelah beberapa lemparan batu mengenai tubuhnya. Marlina melihat sekilas orang-orang yang melempar batu padanya, ada ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak kecil yang tak tau apa-apa juga ikut melempar batu padanya. Sebongkah batu besar tepat mengenai keningnya, membuat darah tiba-tiba mengalir dari keningnya. Marlina mengusap darah yang mengalir itu lalu berlari jauh meninggalkan nenek tercinta dan kampung neraka tersebut.

Marlina berjanji suatu saat akan membalas perbuatan warga kampung yang telah membunuh ayahnya dan memisahkannya dengan sang nenek. Hatinya kian beku, air matanya sudah kering, hanya amarah dan dendam yang memenuhi hatinya. Marlina berhenti di bawah sebatang pohon karet lalu membersihkan lukanya. 

Ada beberapa orang penderes karet yang lewat. Seorang dari mereka mendekat lalu melemparkan kain yang telah diikat rapat. Orang itu langsung berlari meninggalkan Marlina sendiri. Marlina menengok ke arah orang yang sedang berlari itu, dia tak mengenalinya. Marlina membuka ikatan kain tersebut, ada dua helai pakaian dan tiga potong singkong rebus. 

Marlina bersyukur mendapat pertolongan tersebut, dia langsung melahap tiga potong singkong rebus tersebut. Sejak malam tak ada makanan yang masuk ke dalam lambungnya. 

Setelah menghabiskan singkong tersebut, Marlina melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak tau akan ke mana, tapi langkah kakinya terus maju melangkah sampai keluar dari kebun karet. Marlina memasuki kawasan yang tidak dikenalnya. Marlina melihat tangan dan kakinya yang kotor berlumpur. Dia ingin mandi tapi tak tahu di mana dia bisa menemukan air untuk membersihkan badannya.

Matahari tepat di atas kepala, beberapa orang melirik jijik pada Marlina yang berlumuran lumpur itu. Marlina menengok ke sana ke mari, dia bingung harus bagaimana, tak ada seorangpun yang dia kenal.

“Hei, pencuri!” teriak seseorang pada Marlina.

Marlina bingung, beberapa orang berlari ke arahnya lalu memegang kedua tangannya.

“Kamu yang mencuri hp di laundry ya?” tanya seseorang yang memegang tangannya.

“Nggak, aku gak mencuri!” Marlina mencoba melepaskan tangannya dari kedua orang yang memegang tangannya.

Plak

Salah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”

“Hajar!” teriak yang lain.

Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.

“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Supina
novelnya mengadung bawang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • GADIS YANG TERJAMAH   45. Lolos

    Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan

  • GADIS YANG TERJAMAH   44. Uang atau Nyawa

    “Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian

  • GADIS YANG TERJAMAH   43. Tipu Daya

    Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak

  • GADIS YANG TERJAMAH   42. Markas Putih

    Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s

  • GADIS YANG TERJAMAH   41. Tamu Istimewa

    Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“

  • GADIS YANG TERJAMAH   40. Misi Baru

    Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil

  • GADIS YANG TERJAMAH   39. Bertemu Zahra

    “Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.

  • GADIS YANG TERJAMAH   38. Kemana Nenek Sholihati?

    “Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t

  • GADIS YANG TERJAMAH   37. Kembali Ke Kampung Neraka

    “Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status