Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.
“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun.
Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.
“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.
“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.
Terdengar bisik-bisik dari orang sekitar, mereka tidak lagi berteriak lagi. Ada sebagian yang mengecek tubuh Pak Maryono yang masih basah itu. Ada juga beberapa orang yang memperhatikan lubang galian yang masih basah.
“Tolong beri kami kesempatan untuk menguburkan Maryono,” Nenek Sholihati kembali menangis dan memohon pada warga.
Warga semakin banyak yang berdatangan, mereka ingin melihat proses pengusiran Marlina dari kampung mereka.
Tak ada jawaban dari warga atas permohonan Marlina dan Nenek Sholihati. Keduanya berinisiatif membungkus jenazah Pak Maryono. Meski tak mendapat izin, keduanya bergegas melakukannya. Dengan selembar kain jarik usang, jenazah Pak Maryono berhasil dibungkus. Lalu keduanya mengangkat jenazah Pak Maryono, namun tak bisa karena keberatan. Warga hanya melihat aksi keduanya tanpa membantu sedikitpun.
Mulai dari bisikan pelan, hingga umpatan kasar dan penghinaan terlontar dari mulut warga. Seakan mereka tak memiliki belas kasih sedikitpun pada keluarga yang tertimpa musibah itu.
Marlina merangkul ayahnya, lalu mengangkat pelan. Kaki Pak Maryono terseret di tanah. Nenek Sholihati membantu Marlina mengangkat jenazah menantunya.
Hari ini adalah hari paling suram untuk keluarga Nenek Sholihati, hari yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka. Dari sekian banyak warga yang datang ke rumah itu, tak satu orang pun yang membantu proses pemulasaran jenazah bahkan sampai pemakaman. Entah apa memang mereka tak mau membantu atau karena takut diancam sanksi sosial jika membantu keluarga tersebut.
Tiba di bibir lubang, Marlina terpaksa meletakkan jenazah ayahnya di tanah di samping lubang tanpa alas apapun. Lalu dia masuk ke dalam lubang sendiri. Nenek Sholihati berada di atas dekat jenazah menantunya. Keduanya berusaha menggeser jenazah Pak Maryono. Tapi celakanya, jenazah itu langsung jatuh ke dalam lubang secara tak beraturan. Posisi jenazah tertekuk di bagian badannya, kain jarik pembungkusnya berlumuran lumpur basah.
“Astagfirullahaladzim,” teriak Nenek Sholihati. Marlina sempat tertimpa jenazah ayahnya, tapi dia bangkit lagi. Dia meluruskan badan ayahnya, dan membersihkan sebagian tanah lumpur pada kain jarik yang dipakai ayahnya. Sebagian tubuh Pak Maryono terlihat, padahal tadi sudah dibungkus dengan rapi oleh Marlina dan Nenek Sholihati. Marlina memperbaiki kain jarik penutup jenazah ayahnya.
“Gak usah mengulur waktu Marlina. Waktumu tak banyak,” teriak Bu RT dari atas liang lahat. Marlina tersentak. Dia tak lagi memperbaiki kain penutup pada tubuh ayahnya, cukup seadanya saja. Setelah itu dia naik ke atas lalu memasukkan tanah hasil galian yang semalam di atas jenazah ayahnya.
Tak ada lagi air mata, hati Marlina penuh rasa ketakutan. Dia tak lagi mengenal lelah, yang dilakukannya hanya menuruti perintah warga untuk mempercepat proses pemakaman ayahnya. Nenek Sholihati tak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis melihat Marlina seperti kesetanan memasukkan tanah galian ke liang lahat dengan cepat.
Matahari sudah agak tinggi, Marlina selesai mengubur jenazah ayahnya. Tubuh dan bajunya penuh noda lumpur tanah basah.
“Aku akan pergi, aku akan pergi dari sini sekarang!” kata Marlina bergetar.
Marlina merangkul neneknya lalu melangkah pergi tanpa tujuan.
“Hei Marlina, yang pergi dari kampung ini hanya kamu! Nenekmu tinggal di sini!” teriak Pak RT.
“Tidak, aku tidak akan meninggalkan Nenek di sini sendirian. Aku akan pergi bersama Nenek,” Marlina mengeratkan rangkulan pada tubuh neneknya itu.
“Untuk apa aku tinggal di sini? Aku akan pergi bersama cucuku. Ambillah rumah dan semua hartaku di dalamnya, aku rela. Tapi biarkan aku pergi bersama cucuku ini,” jerit Nenek Sholihati.
Bu Gembrot menarik tangan Nenek Sholihati dari rangkulan Marlina hingga keduanya terjatuh ke arah yang berlawanan.
“Nenek,” teriak Marlina lalu merangkak dan memeluk neneknya. “Kalian boleh menghina dan menyakiti aku, tapi tolong jangan sakiti Nenek. Dia tidak bersalah!” tangis Marlina.
“Enyahlah kau dari sini!” kata Bu RT sambil menarik rambut Marlina sampai Marlina benar-benar berdiri lalu mendorongnya jauh dari posisi Nenek Sholihati.
“Tolong biarkan aku pergi bersama cucuku!” Nenek Sholihati memohon sambil menangis.
“Nenek!” teriak Marlina.
Beberapa orang berdiri di depan tubuh Nenek Sholihati yang tersungkur di tanah sehingga Marlina terhalang untuk melihat atau sekedar mengucap salam perpisahan pada neneknya itu.
“Pergilah dari sini, dan jangan pernah kembali!” usir Bu RT pada Marlina.
“Untuk apa aku di sini. Anak dan menantuku sudah tak ada, tapi kalian malah memisahkan aku dengan cucuku satu-satunya.” Nenek Sholihati menangis meraung-raung. Tangisannya tak sedikitpun membuat orang lain iba. Warga kampung itu hatinya telah tertutup baja tebal tanpa mengenal belas kasihan sama sekali.
Marlina terpaksa meninggalkan rumahnya setelah beberapa lemparan batu mengenai tubuhnya. Marlina melihat sekilas orang-orang yang melempar batu padanya, ada ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak kecil yang tak tau apa-apa juga ikut melempar batu padanya. Sebongkah batu besar tepat mengenai keningnya, membuat darah tiba-tiba mengalir dari keningnya. Marlina mengusap darah yang mengalir itu lalu berlari jauh meninggalkan nenek tercinta dan kampung neraka tersebut.
Marlina berjanji suatu saat akan membalas perbuatan warga kampung yang telah membunuh ayahnya dan memisahkannya dengan sang nenek. Hatinya kian beku, air matanya sudah kering, hanya amarah dan dendam yang memenuhi hatinya. Marlina berhenti di bawah sebatang pohon karet lalu membersihkan lukanya.
Ada beberapa orang penderes karet yang lewat. Seorang dari mereka mendekat lalu melemparkan kain yang telah diikat rapat. Orang itu langsung berlari meninggalkan Marlina sendiri. Marlina menengok ke arah orang yang sedang berlari itu, dia tak mengenalinya. Marlina membuka ikatan kain tersebut, ada dua helai pakaian dan tiga potong singkong rebus.
Marlina bersyukur mendapat pertolongan tersebut, dia langsung melahap tiga potong singkong rebus tersebut. Sejak malam tak ada makanan yang masuk ke dalam lambungnya.
Setelah menghabiskan singkong tersebut, Marlina melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak tau akan ke mana, tapi langkah kakinya terus maju melangkah sampai keluar dari kebun karet. Marlina memasuki kawasan yang tidak dikenalnya. Marlina melihat tangan dan kakinya yang kotor berlumpur. Dia ingin mandi tapi tak tahu di mana dia bisa menemukan air untuk membersihkan badannya.
Matahari tepat di atas kepala, beberapa orang melirik jijik pada Marlina yang berlumuran lumpur itu. Marlina menengok ke sana ke mari, dia bingung harus bagaimana, tak ada seorangpun yang dia kenal.
“Hei, pencuri!” teriak seseorang pada Marlina.
Marlina bingung, beberapa orang berlari ke arahnya lalu memegang kedua tangannya.
“Kamu yang mencuri hp di laundry ya?” tanya seseorang yang memegang tangannya.
“Nggak, aku gak mencuri!” Marlina mencoba melepaskan tangannya dari kedua orang yang memegang tangannya.
Plak
Salah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”
“Hajar!” teriak yang lain.
Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.
“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.
PlakSalah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”“Hajar!” teriak yang lain.Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.Orang-orang yang sedang memukuli Marlina sontak berhenti lalu menengok ke sumber suara.Seorang wanita cantik mendekati Marlina. “Kamu mencuri hp di tempat laundry saya?” tanya wanita cantik itu.“Nggak, saya gak nyuri apapun,” bantah Marlina sambil menangis.
“Kerjanya di bagian wilayah mana?” ulang wanita di sebelah Marlina.“Owh, saya kebetulan di laundry depan rumah ini,” jawab Marlina.Wanita itu terkekeh, “cuma pegawai laundry, saya pikir kurir seperti aku juga!”“Kurir apa?” tanya Marlina bingung, tapi wanita itu justru tertawa keras.Sebuah pintu besar di ujung ruang makan terbuka, Tante Angel keluar dari pintu tersebut. Semua orang yang ada di ruang makan berdiri menyambut kedatangannya. Setelah Tante Angel duduk di kursi utama, yang lain diperbolehkan duduk kembali.“Selamat malam ladies,” sapa Tante Angel sumringah.
Marlina masuk ke dalam rumah itu, ternyata pria itu bertelanjang dada dan hanya menutup kemaluannya dengan sehelai handuk, dan membiarkan sebagian pahanya terekspos bebas. Roti sobek di dada pria itu tersusun indah, Marlina meneguk liurnya yang tersangkut di tenggorokan.“Liat apa?” bentak Jessie.“E-enggak. Maaf,” jawab Marlina takut.Jessie keluar dari kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuh. “Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.” Pria yang membukakan pintu untuk Marlina mengikuti langkah Jessie ke kamar mandi.Selama mereka mandi, Marlina melihat seluruh isi rumah Jessie. Kotor, bau dan pengap, puntung rokok berserakan di lantai. Beberapa botol dengan pipet juga tergeletak di lanta
“Jangan bergerak, angkat tangan ke atas!” perintah seseorang dari belakang Marlina. Sebuah benda tumpul menusuk pinggangnya. Marlina kaget dan langsung mengangkat kedua tangannya.Tiba-tiba orang yang di belakang Marlina menekuk tangannya ke belakang lalu menjatuhkannya dalam posisi telungkup di tanah.“Ada apa ini?” pekik Marlina.“Diam!” perintah orang itu dengan berteriak. Beberapa orang keluar dari persembunyiannya.Pria yang mengaku sebagai Pak Toni membuka paket pemberian Marlina.“Target dikuasai!” ucap seseorang menggunakan walkie talkie.“Amankan!” jawab dari seberang.
Chris mendekat lalu menjambak rambut Marlina ke belakang hingga wajahnya mendongak ke atas. “Diam, tadi aku sudah membayarmu sepuluh juta. Jadi kamu sekarang harus membayarnya!” “Jangan, tolong jangan sakiti aku. Aku gak punya uang sepuluh juta. Kembalikan saja aku ke dalam penjara.” Marlina menangis sambil memohon, peristiwa di sungai dekat kebun karet melintas dalam benak Marlina. Dia sangat takut jika peristiwa itu terulang lagi. “Tidak semudah itu gadis bodoh!” Chris mengencangkan tarikan tangannya pada rambut Marlina. “Aduh, sakit. Ampun!” Marlina memegang rambut yang dijambak Chris. Chris melepaskan tangannya dengan mendorong Marlina ke lantai. “Au,” teriak Marlina kesak
“Jika kau mau mengikuti saranku. Aku yakin kamu bisa melunasi hutangmu dalam waktu seminggu saja!” ucap Tante Angel sambil memilin rambut.“Aku mau, Tan. Bagaimana caranya?” kata Marlina penuh semangat.“Jangan hanya jadi kurir, waktunya kamu cari konsumen sendiri. Tapi ingat, jangan ambil langganan Jessie,” terang Tante Angel.“Bagaimana caranya? Aku gak banyak kenal orang.” Marlina agak pesimis.“Pacari orang-orang yang berduit, lalu pasarkan pada mereka,” kata Tante Angel.“Iya. Aku tau kalau yang itu. Masalahnya, bagaimana mendekati mereka?” tanya Marlina.“Besok aku akan mengajakmu bermain gol
Sebelum matahari tenggelam, Delon sudah sampai di rumah Tante Angel. Lyan menemui Delon dengan balutan dress bunga-bunga putih-pink yang panjangnya setengah betis dan tangan setengah bahu, sepatu high heels transparan di bagian atasnya dan sebuah tas kulit berwarna gelap. Rambutnya disanggul sehingga menunjukkan lehernya yang jenjang.Lyan langsung duduk di samping Delon dan mengecup pipinya, “aku siap pergi bersamamu,” bisik Lyan di telinga Delon.Delon memacu roda besinya menuju apartemennya di kawasan elit. Marlina sungguh takjub dengan pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya. Selama ini dia hanya melihat kemewahan kota dari layar kaca, tapi kali ini dia menikmati keindahan tersebut dengan mata kepalanya sendiri.Marlina baru pertama kalinya naik l
PlakDelon memegang pipinya kanannya yang terasa panas.“Jangan kau ganggu perempuan polos itu!” hardik Jasmine pada Delon.“Sakit. Jangan marah dulu.” Delon menarik tangan Jasmine hingga Jasmine duduk di pangkuannya. “Kita sudah lama tak menikmati ini berdua,” bisik Delon di telinga Jasmine.“Iya, tapi Lyan anak baik-baik. Jangan kamu cekoki dia dengan barang haram itu!” ucap Jasmine marah.“Salahnya sendiri menyentuh barang-barangku,” kekeh Delon, lalu Delon memberikan alat hisap itu pada istrinya.Keduanya menikmati apa yang sebelumnya sudah disediakan Lyan. Ketika Jasmine sudah mulai meracau den