Share

8. Keluar Dari Kampung Neraka

Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.

“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun. 

Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.

“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.

“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.

Terdengar bisik-bisik dari orang sekitar, mereka tidak lagi berteriak lagi. Ada sebagian yang mengecek tubuh Pak Maryono yang masih basah itu. Ada juga beberapa orang yang memperhatikan lubang galian yang masih basah.

“Tolong beri kami kesempatan untuk menguburkan Maryono,” Nenek Sholihati kembali menangis dan memohon pada warga. 

Warga semakin banyak yang berdatangan, mereka ingin melihat proses pengusiran Marlina dari kampung mereka.

Tak ada jawaban dari warga atas permohonan Marlina dan Nenek Sholihati. Keduanya berinisiatif membungkus jenazah Pak Maryono. Meski tak mendapat izin, keduanya bergegas melakukannya. Dengan selembar kain jarik usang, jenazah Pak Maryono berhasil dibungkus. Lalu keduanya mengangkat jenazah Pak Maryono, namun tak bisa karena keberatan. Warga hanya melihat aksi keduanya tanpa membantu sedikitpun. 

Mulai dari bisikan pelan, hingga umpatan kasar dan penghinaan terlontar dari mulut warga. Seakan mereka tak memiliki belas kasih sedikitpun pada keluarga yang tertimpa musibah itu.

Marlina merangkul ayahnya, lalu mengangkat pelan. Kaki Pak Maryono terseret di tanah. Nenek Sholihati membantu Marlina mengangkat jenazah menantunya.

Hari ini adalah hari paling suram untuk keluarga Nenek Sholihati, hari yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka. Dari sekian banyak warga yang datang ke rumah itu, tak satu orang pun yang membantu proses pemulasaran jenazah bahkan sampai pemakaman. Entah apa memang mereka tak mau membantu atau karena takut diancam sanksi sosial jika membantu keluarga tersebut.

Tiba di bibir lubang, Marlina terpaksa meletakkan jenazah ayahnya di tanah di samping lubang tanpa alas apapun. Lalu dia masuk ke dalam lubang sendiri. Nenek Sholihati berada di atas dekat jenazah menantunya. Keduanya berusaha menggeser jenazah Pak Maryono. Tapi celakanya, jenazah itu langsung jatuh ke dalam lubang secara tak beraturan. Posisi jenazah tertekuk di bagian badannya, kain jarik pembungkusnya berlumuran lumpur basah.

“Astagfirullahaladzim,” teriak Nenek Sholihati. Marlina sempat tertimpa jenazah ayahnya, tapi dia bangkit lagi. Dia meluruskan badan ayahnya, dan membersihkan sebagian tanah lumpur pada kain jarik yang dipakai ayahnya. Sebagian tubuh Pak Maryono terlihat, padahal tadi sudah dibungkus dengan rapi oleh Marlina dan Nenek Sholihati. Marlina memperbaiki kain jarik penutup jenazah ayahnya.

“Gak usah mengulur waktu Marlina. Waktumu tak banyak,” teriak Bu RT dari atas liang lahat. Marlina tersentak. Dia tak lagi memperbaiki kain penutup pada tubuh ayahnya, cukup seadanya saja. Setelah itu dia naik ke atas lalu memasukkan tanah hasil galian yang semalam di atas jenazah ayahnya. 

Tak ada lagi air mata, hati Marlina penuh rasa ketakutan. Dia tak lagi mengenal lelah, yang dilakukannya hanya menuruti perintah warga untuk mempercepat proses pemakaman ayahnya. Nenek Sholihati tak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis melihat Marlina seperti kesetanan memasukkan tanah galian ke liang lahat dengan cepat.

Matahari sudah agak tinggi, Marlina selesai mengubur jenazah ayahnya. Tubuh dan bajunya penuh noda lumpur tanah basah.

“Aku akan pergi, aku akan pergi dari sini sekarang!” kata Marlina bergetar.

Marlina merangkul neneknya lalu melangkah pergi tanpa tujuan.

“Hei Marlina, yang pergi dari kampung ini hanya kamu! Nenekmu tinggal di sini!” teriak Pak RT.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkan Nenek di sini sendirian. Aku akan pergi bersama Nenek,” Marlina mengeratkan rangkulan pada tubuh neneknya itu.

“Untuk apa aku tinggal di sini? Aku akan pergi bersama cucuku. Ambillah rumah dan semua hartaku di dalamnya, aku rela. Tapi biarkan aku pergi bersama cucuku ini,” jerit Nenek Sholihati.

Bu Gembrot menarik tangan Nenek Sholihati dari rangkulan Marlina hingga keduanya terjatuh ke arah yang berlawanan.

“Nenek,” teriak Marlina lalu merangkak dan memeluk neneknya. “Kalian boleh menghina dan menyakiti aku, tapi tolong jangan sakiti Nenek. Dia tidak bersalah!” tangis Marlina.

“Enyahlah kau dari sini!” kata Bu RT sambil menarik rambut Marlina sampai Marlina benar-benar berdiri lalu mendorongnya jauh dari posisi Nenek Sholihati.

“Tolong biarkan aku pergi bersama cucuku!” Nenek Sholihati memohon sambil menangis. 

“Nenek!” teriak Marlina.

Beberapa orang berdiri di depan tubuh Nenek Sholihati yang tersungkur di tanah sehingga Marlina terhalang untuk melihat atau sekedar mengucap salam perpisahan pada neneknya itu.

“Pergilah dari sini, dan jangan pernah kembali!” usir Bu RT pada Marlina. 

“Untuk apa aku di sini. Anak dan menantuku sudah tak ada, tapi kalian malah memisahkan aku dengan cucuku satu-satunya.” Nenek Sholihati menangis meraung-raung. Tangisannya tak sedikitpun membuat orang lain iba. Warga kampung itu hatinya telah tertutup baja tebal tanpa mengenal belas kasihan sama sekali.

Marlina terpaksa meninggalkan rumahnya setelah beberapa lemparan batu mengenai tubuhnya. Marlina melihat sekilas orang-orang yang melempar batu padanya, ada ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak kecil yang tak tau apa-apa juga ikut melempar batu padanya. Sebongkah batu besar tepat mengenai keningnya, membuat darah tiba-tiba mengalir dari keningnya. Marlina mengusap darah yang mengalir itu lalu berlari jauh meninggalkan nenek tercinta dan kampung neraka tersebut.

Marlina berjanji suatu saat akan membalas perbuatan warga kampung yang telah membunuh ayahnya dan memisahkannya dengan sang nenek. Hatinya kian beku, air matanya sudah kering, hanya amarah dan dendam yang memenuhi hatinya. Marlina berhenti di bawah sebatang pohon karet lalu membersihkan lukanya. 

Ada beberapa orang penderes karet yang lewat. Seorang dari mereka mendekat lalu melemparkan kain yang telah diikat rapat. Orang itu langsung berlari meninggalkan Marlina sendiri. Marlina menengok ke arah orang yang sedang berlari itu, dia tak mengenalinya. Marlina membuka ikatan kain tersebut, ada dua helai pakaian dan tiga potong singkong rebus. 

Marlina bersyukur mendapat pertolongan tersebut, dia langsung melahap tiga potong singkong rebus tersebut. Sejak malam tak ada makanan yang masuk ke dalam lambungnya. 

Setelah menghabiskan singkong tersebut, Marlina melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak tau akan ke mana, tapi langkah kakinya terus maju melangkah sampai keluar dari kebun karet. Marlina memasuki kawasan yang tidak dikenalnya. Marlina melihat tangan dan kakinya yang kotor berlumpur. Dia ingin mandi tapi tak tahu di mana dia bisa menemukan air untuk membersihkan badannya.

Matahari tepat di atas kepala, beberapa orang melirik jijik pada Marlina yang berlumuran lumpur itu. Marlina menengok ke sana ke mari, dia bingung harus bagaimana, tak ada seorangpun yang dia kenal.

“Hei, pencuri!” teriak seseorang pada Marlina.

Marlina bingung, beberapa orang berlari ke arahnya lalu memegang kedua tangannya.

“Kamu yang mencuri hp di laundry ya?” tanya seseorang yang memegang tangannya.

“Nggak, aku gak mencuri!” Marlina mencoba melepaskan tangannya dari kedua orang yang memegang tangannya.

Plak

Salah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”

“Hajar!” teriak yang lain.

Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.

“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Supina
novelnya mengadung bawang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status