Kedatangan Talitha ke apartemen waktu itu dan melihat bagaimana cara wanita itu memandang rendah ke arahnya membuat Ara yakin kalau ia harus mengibarkan bendera perang. Keadaan sudah siaga satu alias gawat darurat.Ara sudah melabeli Felix sebagai miliknya jauh-jauh hari sejak pria itu mengajaknya melanjutkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius daripada hanya sekadar pacar kontrak. "Hari ini aku mau keluar?" Tanpa melihat ke arah Felix, Ara berkata sambil memandang bayangan dirinya yang tengah membenahi anak rambutnya di cermin. Ara tentu saja kesal, entah bagaimana, dia merasa kalau Felix sedikit melunak pada Talitha. "Lagi?" tanya Felix. "Ke mana?" Sudah beberapa hari terakhir ini, Ara memang sering keluar untuk mencari udara segar. Beberapa kali Rendy juga mengajak bertemu, tetapi ia tolak. Suasana hati Ara sedang kacau, lagi pula ia tak lagi terikat kontrak apa pun dengan pria itu, jadi ia lebih tenang. "Cuma keluar sebentar," jawab Ara masih enggan menatap Felix. Ingat,
Semuanya tampak sangat suram bagi Ara, belakangan setelah pertengkaran--kalau hal itu bisa dibilang pertengkaran--dengan Felix, gadis itu jadi bodo amatan sekarang. Hari-hari Ara berubah drastis, semuanya hampir dipenuhi dengan kejengkelan. Bagaimana tidak? Biasanya Felix akan selalu membujuknya dengan segala cara apabila ia sedang ngambek, tetapi lihat sekarang, pria itu bahkan tak lagi repot-repot untuk menanyakan ke mana Ara akan pergi. Seperti saat ini. "Aku mau keluar, mungkin pulangnya malem. Kalau enggak nginep jangan lupa nyalain lampu sebelum pergi," pesan Ara. Seperti sudah diduga, jawaban Felix hanya berupa gumaman pelan. Ia sudah tak lagi memaksa ingin ikut dan bertanya ini-itu. "Aku pulangnya malem, loh." Seolah ingin menegaskan sesuatu, Ara mencoba berbicara sekali lagi. Jujur saja, gadis itu berharap ia akan dilarang pergi. "Hm." "Perginya sendiri." Ara berharap Felix memaksa ikut seperti sebelum-sebelumnya. Tetapi dasar Felixnya emang kurang peka. "Hm." Huh?
"Mana Ara?" tanya Felix begitu pria itu sudah melihat Etthan berdiri di depannya. "Masuk dulu, bos," kata Etthan. Menurut, Felix pun mengikuti temannya itu. Sejauh ini, Ara belum terlihat di mana pun, seolah gadis itu tak ada di sini sekarang. "Mana Ara?" tanya Felix ulang, sekarang ia bertanya sambil duduk di sofa yang di sebelahnya ada tas Ara. "Gini, Ara tadi sempat ke sini, kita sempet ngobrol bentar, terus ..., dia tiba-tiba izin keluar, sampe sekarang belum balik juga." Etthan menatap ragu-ragu sekaligus kikuk pada Felix. Etthan sudah sangat tahu bagaimana tabiat pria itu kalau sedang marah. Ia tak ingin melihatnya lagi. "Maksud lo?" "Ara enggak ada di sini, dia udah pergi. Mau gue kasih tahu di telepon tadi tapi keburu dimatiin." Etthan berkata seadanya. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Felix. "Jangan bohong deh lo, buktinya nih hp sama tasnya masih di sini!" tunjuk Felix pada tas yang ada di sampingnya, kemudian pada Hp yang ada di atas meja.
Pagi ini keadaan Felix sudah lumayan baikan. "Sarapan dulu, ya," kata Ara. "Enggak mau sarapan bubur," jawab Felix. Menghela napas pelan, Ara berucap dengan lembut. "Ini enak, loh, cobain dulu, ya, biar perutnya ada isi, ... ayo." "Enggak mau, Ara," kata Felix lagi saat sesendok bubur sudah berada di depan mulutnya. Dari dulu ia memang sedikit tak suka dengan bubur. "Ya udah, kalau gitu mau sarapan apa? Biar aku masakin," kata Ara akhirnya, memilih untuk mengalah. "Nasi putih sama telur ceplok aja," kata Felix. "Oke, tunggu ya." Baru saja Ara akan bangkit, tetapi tangannya malah ditahan Felix. "Lepas dulu, aku cuma mau ngambil makanannya ke dapur," ucap Ara sambil berusaha melepaskan tangan Felix yang sekarang sudah beralih merangkul pinggangnya dengan posesif. Felix dalam keadaan baik-baik saja sudah manja dan posesif, apalagi sekarang ketika ia tengah sakit, level manja dan keposesifannya bertambah berkali-kali lipat. "Enggak usah sarapan aja, deh." Felix merengut sambil m
"Pulang!"Baru beberapa saat yang lalu mata Ara bersitatap secara tak sengaja dengan Felix, pria itu sekarang sudah berada di depannya.Ara bingung, gelisah, dan takut.Bagaimana sekarang? Alasan apa lagi yang harus ia karang untuk menutupi semuanya."Wess, apaan nih bos?" Rendy yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, ia juga menjadi tameng ketika Felix terlihat akan menyeret Ara keluar dari tempat acara."Lo kemarin-kemarin gue sabarin tapi malah jadi belagu, ya!" ketus Felix, kali ini beralih pada Rendy.Sedari tadi, Felix sudah berusaha untuk tak menghuraukan keberadaan Rendy yang selalu bisa memancing emosinya ke batas maksimal."Lo kali yang selalu belagu," kata Rendy santai, berbanding terbalik dengan keadaan Felix. "Enggak inget kelakuan banget!" sindir Rendy terlihat meremehkan."Minggir!" titah Felix tegas, ia tak ingin menanggapi bacotan Rendy di tempat ramai seperti ini, apalagi di sini juga ada Papanya.Bisa gawat kalau ia nekat baku hantam di sini."Hak lo nyuruh-nyu
"Bukannya aku udah pernah bilang? Jangan berurusan sama bajingan itu, hah! Bagian mana dari kata-kata aku yang Kamu enggak ngerti, Ara?!" Ara hanya diam dan melihat Felix dengan takut-takut. Felix langsung mengamuk begitu mereka sampai di apartemen, sasarannya tentu saja Ara. "Aku ajak ke sana Kamu enggak mau dan selalu aja ada alasan buat nolak, giliran sama dia Kamu malah mau-mau aja, ada hubungan apa Kamu sama dia?" tanya Felix masih dengan ekspresi marahnya. Wajah pria itu memerah dengan tangan terkepal kuat. Felix benar-benar emosi. "Maaf--." "Jangan cuma bisa minta maaf! Percuma minta maaf kalau akhirnya nanti diulangin lagi, gitu aja terus!" Felix geram dan memukul pintu apartemen dengan kencang. Rasa sakit yang dirasakan di buku-buku jarinya tak ia hiraukan, pria itu butuh sesuatu untuk menyalurkan emosinya yang tengah memuncak. Dari kemarin mood Felix memang sudah tak beraturan, penyebabnya banyak sekali; mulai dari Papanya yang mengajak ke berbagai pesta dengan alasan
Di sinilah Felix berada sekarang, di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di ibu kota, tempat di mana Ayah Ara yang sedang koma dirawat. Setelah penjelasan yang menguras emosi dan air mata beberapa waktu yang lalu di apartemen, akhirnya Ara memutuskan untuk membawa Felix melihat Ayahnya. "Terima kasih, Dokter," kata Felix sambil tersenyum pada dokter Arya, dokter senior yang merawat Ayah Ara selama ini. Felix bangkit dari kursi yang didudukinya, diikuti oleh Ara yang berada di sampingnya. Mereka berdua keluar dari ruangan Dokter Arya, tadi Felix memang sempat memaksa untuk berbicara dengan sang dokter. Dari hasil pembicaraannya, Felix sadar mengapa Ara membutuhkan banyak sekali biaya. Ayah Ara ditempatkan di ruangan Vip dengan fasilitas yang memadai dan perawatan intensif yang membutuhkan setidaknya satu tenaga medis untuk selalu berjaga."Kita enggak boleh masuk ke ruangan Ayah, ya?" tanya Felix pada Ara yang sedari tadi hanya terdiam di sampingnya. Entah sejak kapan, Fe
Ara mengelus punggung Felix lembut. Mereka sudah di apartemen lagi, setelah beberapa saat lalu pria itu mengeluh pusing lantaran bercerita tentang masa lalunya dengan sang mama.Ara tadinya sempat menawarkan untuk mencari paracetamol di apotek, tetapi Felix menolak dengan alasan ingin pulang saja."Kamu kenal Rendy di mana?" tanya Felix yang saat ini menegakkan badannya yang tadi bersandar pada Ara.Ada jeda sebentar sebelum Ara menjawab. "Di aplikasi," jawab Ara, padahal sebelumnya sudah menjelaskan, mungkin karena Felix sedang marah waktu utu, ia jadi tak fokus menyimak apa yang Ara katakan."Kamu masih main?" tanya Felix lagi, kali ini dengan alis terangkat."Iya hehe," cengir Ara sambil menatap Felix dengan rasa bersalah."Jangan main lagi, sini hp Kamu, hapus aja aplikasinya," titah Felix, pria itu juga menengadahkan tangannya, tanda meminta handphone gadis itu.Ara yang diperintah seperti itu cuma pasrah. "Nih," katanya.***"Udah lama, ya, enggak ketemu Etthan," kata Ara.Sore i