MasukPerhatian, Kesamaan Nama Karakter dan Tempat hanya kebetulan semata. Luki seorang pemuda berusia 26 Tahun, terbiasa hidup santai menikmati kekayaan kedua orang tua. Namun suatu hari, Kedua orang tuanya terjerat kasus korupsi besar dan di tangkap pihak kepolisian, yang membuat seluruh aset milik keluarganya di sita. Kini Luki tidak memiliki apapun selain seorang Kakak Angkat yang bernama Ajeng berusia 27 Tahun. Namun di saat itu, Adik dari Papahnya yaitu Tante Sarah datang dan menawarkan untuk tinggal bersamanya. Disinilah, Kisah Kenikmatan Luki lahir di dalam Rumah Tante Sarah.
Lihat lebih banyakLuki merebahkan tubuhnya di ranjang kecil kamar Tante Sarah. Ruangan itu sederhana, tapi cukup nyaman dibandingkan kos seadanya. Ia mencoba membiasakan diri dengan suasana baru.
Sejak kedua orang tuanya ditahan karena kasus korupsi, hidupnya benar-benar jungkir balik. Dari rumah megah pindah ke rumah tante yang ukurannya jauh lebih sempit. Namun, justru di sini ia bisa merasa lebih tenang.
Ajeng, kakak angkatnya, memilih pindah ke kos bersama temannya. Luki tidak menahannya, karena ia tahu Ajeng juga butuh ruang untuk hidup. Akhirnya, hanya ia yang menumpang di rumah tantenya.
“Luk, mandi dulu sana. Badanmu pasti lengket dari tadi nggak ngapa-ngapain,” suara Tante Sarah dari dapur.
“Iya, Tan... sekalian pinjem handuk juga ya, Tas ku di atas soalnya.” sahut Luki sambil setengah malas.
“Dasar cowok, apa-apa Males. Handukku masih bersih, ambil aja di kamar.”
Tante Sarah memang cerewet, tapi perhatiannya terasa hangat. Ada sisi keibuan, tapi juga kadang terasa seperti teman sebaya. Usianya yang masih muda membuat kehadirannya berbeda dari ibu rumah tangga pada umumnya.
Luki keluar kamar hanya dengan kaos tipis, berjalan ke arah dapur. Tatapannya sempat jatuh pada Tante Sarah yang sedang mengikat rambut sambil menumis sayur. Sekilas, ia merasa canggung.
“Tante, masakannya wangi banget,” katanya mencoba mencairkan suasana. “Masak apa, Tan?”
“Ya iyalah, kalau nggak bisa masak, gimana mau ngurus kamu?” jawab Tante Sarah sambil melirik nakal. “Dimakan lho ya,”
“Jangan-jangan Tante sengaja biar aku betah di sini, ya?” Luki menahan senyum.
Malam itu, mereka makan berdua dengan obrolan ringan. Tidak ada kesedihan yang berlarut, hanya tawa kecil yang sesekali muncul. Buat Luki, mungkin inilah awal dari hidup baru yang penuh kemungkinan.
Jam sudah lewat pukul sepuluh malam. Luki masih tenggelam dalam game di sofa ruang tamu, jari-jarinya lincah di layar ponsel. Suara efek tembak-tembakan membuat rumah kecil itu terasa lebih ramai dari biasanya.
Suara langkah pelan terdengar dari arah kamar. Tante Sarah muncul dengan daster tipis yang melekat pada tubuhnya, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Matanya yang agak sayu membuatnya terlihat semakin menggoda.
“Luki...” suaranya pelan tapi tegas, “udah malem, bukannya tidur sana!"
“Sebentar, Tan. Tinggal satu game lagi,” jawab Luki, berusaha tetap fokus.
“Main game terus. Buruan tidur.”
Luki menoleh sebentar, lalu buru-buru kembali ke layar ponsel. Tapi dalam sekilas pandangan itu, matanya tak sengaja menangkap lekuk tubuh Tante Sarah yang samar-samar terlihat di balik daster. Seketika, ia merasa canggung dan tangannya agak kaku menekan layar.
“Tante kenapa belum tidur?” tanya Luki mencoba mengalihkan suasana.
“Tante mau tidur, liat ruang tamu masih nyala lampunya, jadi tante keluar,” jawab Sarah sambil berdiri di dekat meja.
“Hehe... maaf ya tan, abis ini beneran tidur kok,” ucap Luki dengan senyum tipis.
Tante Sarah hanya mendesah kecil lalu berjalan mendekat, tangannya menepuk bahu Luki ringan. “10 Menit lagi lampur harus udah mati ya.”
“Kalo gak, malam-malam ada yang makan kamu.” kata Tante Sarah membuat Luki merinding.
***
Pagi itu jam delapan, sinar matahari sudah menembus tirai tipis kamar. Luki masih terlelap di ranjang, selimut setengah menutupi tubuhnya. Napasnya teratur, jelas ia belum siap menghadapi pagi.
Pintu kamar perlahan terbuka. Tante Sarah masuk hanya dengan handuk melilit tubuh, rambutnya masih basah meneteskan air. Aroma sabun mandi segar terbawa masuk bersamanya.
“Luki... bangun! Udah jam delapan, Bangun.. bangun.. disini gak boleh bangun siang.,” ucapnya sambil menepuk pelan kaki Luki.
“Hhmm... bentar Tan... masih ngantuk,” jawab Luki dengan suara serak.
“Bentar-bentar terus. Ayo mandi, gantian sama Tante.”
Luki membuka matanya setengah malas. Tapi begitu melihat penampilan Tante Sarah, ia langsung terperanjat. Handuk tipis itu nyaris tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih berembun sisa air mandi.
“Tante... kok kesini cuma handukan sih,” gumam Luki sambil buru-buru mengalihkan pandangan.
“Ya terus mau telanjang gitu, Orang Tante abis mandi kok.” jawab Sarah cuek sambil tersenyum miring.
“Bukan gitu maksudku... ya pake baju dulu kek,” katanya tergagap.
Tante Sarah hanya terkekeh, lalu berdiri di depan cermin kecil di kamar itu sambil merapikan rambut basahnya. Setiap gerakan kecilnya justru membuat Luki semakin salah tingkah. Ia berusaha bangun dari ranjang, tapi pikirannya sudah kacau, campuran antara canggung dan penasaran.
Air dingin yang mengalir dari kran tak cukup menenangkan kepala Luki. Ia berdiri lama di depan cermin kamar mandi, rambut berantakan, mata masih menyimpan kantuk. Tapi yang paling mengganggunya adalah bayangan Tante Sarah barusan.
Tubuh dengan handuk tipis, kulit masih berkilau karena basah, senyum santai seolah tak menyadari efeknya. Luki menutup mata, tapi justru bayangan itu semakin jelas. Jantungnya berdetak cepat, napasnya terasa berat.
“Ini nggak bener...” gumamnya pelan, menatap dirinya sendiri di cermin. Ia tahu, itu tante kandung papanya, orang yang justru menampungnya di saat susah. Tapi semakin ia mencoba menolak, tubuhnya makin merespons berbeda. Apalagi dirinya menumpang. Ia jelas akan tahu diri.
Pikiran Luki berkelana, membayangkan jika Tante Sarah berdiri di depannya sekarang. Tatapan mata, aroma sabun yang masih menempel, bahkan suara renyahnya ketika menegur tadi. Semua bercampur menjadi gambaran yang sulit ia usir.
Ia menggenggam keran erat, mencoba fokus pada dinginnya logam. Namun, rasa itu sudah terlalu kuat. Tubuhnya bereaksi dengan cara yang membuatnya semakin salah tingkah. Ia menghela napas panjang, menunduk, seolah kalah oleh dirinya sendiri.
Waktu berjalan pelan di kamar mandi itu. Luki tahu, yang ia lakukan hanyalah bentuk pelampiasan. Hatinya penuh rasa bersalah, tapi ia tak dapat menahan hasratnya.
Saat akhirnya berdiri kembali, wajahnya memerah. Ia membasuh muka berkali-kali, berharap sisa kotor dalam pikirannya ikut hilang.
Setelah itu, suasana kamar masih hangat dan sunyi. Tante Sarah berbaring menyandar di dada Luki, tubuhnya masih dibalut selimut yang sama, napasnya perlahan mulai stabil. Luki mengusap pelan kepala Tante Sarah, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan sekaligus menormalkan kembali suasana. Tante Sarah menarik sedikit selimut naik ke bahunya, lalu berkata dengan suara lirih, “Aku sebenarnya mau ajak kamu sama Ajeng kerja di butik aku nanti…” Luki menoleh kecil, masih mengusap rambutnya. “Aku kan udah kerja, Tan,” jawabnya pelan. “Kalau mau ngajak, coba tawarin Mbak Ajeng aja.” Tante Sarah mengangkat wajahnya sedikit, menatap Luki dengan alis terangkat. “Ajeng? Kan dia juga kerja, Luk.” Luki menggeleng. “Mbak Ajeng udah nggak kerja, Tan.” Tante Sarah diam sebentar, kagetnya terlihat jelas. Ia bangkit sedikit, bersandar di lengan Luki sambil memegang selimut agar tetap menutup tubuhnya. “Serius?” tanyanya. “Kenapa udah nggak kerja?” Luki menarik napas pelan
Setelah memastikan mobil tamu tadi benar-benar menjauh, Luki akhirnya memajukan mobilnya perlahan. Ia berhenti tepat di depan pagar rumah Tante Sarah. Rumah itu terlihat tenang sekarang, hanya lampu teras yang menyala lembut. Luki turun dari mobil, menoleh kanan–kiri sejenak untuk memastikan situasi aman, lalu berjalan masuk melewati pagar yang sedikit terbuka. Pintu rumah ternyata masih terbuka lebar, seperti sedang menunggu seseorang. “Assalamualaikum…” suara Luki terdengar pelan tapi jelas. Dari dalam, muncul Tante Sarah sambil tersenyum kecil. “Waalaikumsalam. Masuk sini, Luk. Tante kira kamu nggak jadi datang.” Luki hanya membalas senyum itu. “Tadi nunggu tamunya pergi dulu, Tante.” “Oh begitu…” Tante Sarah mengangguk, belum menanggapi lebih jauh. “Ngopi dulu? Tante bikinin ya?” tawarnya sambil berjalan ke dapur kecil. “Boleh, Tan. Makasih.” Tidak butuh lama, Tante Sarah kembali membawa dua cangkir kopi panas. Dia meletakkan satu di depan Luki, lalu menutup pint
Luki keluar dari kamar dengan kepala masih penuh pikiran. Tadi di dapur, saat ia meminta izin, Mbak Ajeng hanya menjawab singkat tanpa menoleh lama— “Mandi dulu aja, terus makan malam. Nanti kita ngobrol.” Tidak ada jawaban boleh atau tidak. Tidak ada ekspresi marah, tapi juga tidak ada tanda kelegaan. Seolah Mbak Ajeng sengaja menunda. Luki pun cuma bisa mengangguk dan menurut. Ia kembali ke kamarnya, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tidak cukup menenangkan pikirannya. Malah bikin semuanya makin nyesek. Aduh, kenapa juga tadi ngomong jujur. Bisa tadi alasan keluar ketemu Gladys sebentar. Gak bakal serumit ini, keluhnya dalam hati. Setelah selesai, Luki turun ke meja makan. Meja sudah tertata rapi, dua piring sudah terisi, dan aroma lauk yang baru dimasak Mbak Ajeng terasa menghangatkan ruangan. Mbak Ajeng sudah duduk, tangannya menopang dagu sambil menatap Luki yang baru mendekat. “Nih, makan dulu,” katanya pelan. Luki duduk tan
Tiba di kantin belakang kantor, suasananya ramai tapi tidak terlalu bising. Beberapa pegawai dari gedung sekitar juga sedang makan siang, dan aroma masakan berkuah memenuhi udara. Luki dan Maurel memilih duduk di salah satu tenda yang cukup teduh. Mereka memesan tiga porsi soto betawi—dua buat mereka, satu untuk dibawa pulang ke kantor untuk Gladys. Setelah pelayan mencatat pesanan, suasana di meja mereka sempat hening. Luki akhirnya menatap Maurel dengan bingung sejak tadi. Ia menyandarkan tangan di meja dan bertanya, “Rel… kamu kenapa tiba-tiba ngajak gue makan siang? Ada apa?” Maurel hanya tersenyum kecil. Senyuman yang jelas bukan senyuman iseng… lebih seperti senyuman seseorang yang sengaja menyembunyikan sesuatu. “Ada yang mau aku tanyain,” jawab Maurel pelan. Luki makin bingung. “Apa?” Maurel menghela napas, lalu menatap Luki serius. “Emang beneran kalo… Mbak Ajeng resign?” Luki langsung terkejut, tubuhnya sedikit maju ke depan. “Hah? Kok kamu tau??”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan