Setelah Intan berangkat, Ibu Lastri kembali masuk ke dalam rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Badannya memang sudah lebih baik karena sudah minum obat. Jika tidak bertemu dengan anak majikannya itu, Ibu Lastri tidak tahu lagi nasibnya. Bisa jadi dia sudah beda alam dan tidak bisa lagi bertemu dengan anak serta cucu-cucunya. “Kakak sama adik main apa ini? Masya Allah akur terus, ya, cucu nenek. Nenek boleh ikut main?” ujar Ibu Lastri. Dia ikut duduk bersama kedua cucunya. Abid dan Aldo kompak menganggukkan kepala. Selain karena obat, Ibu Lastri bersemangat sembuh karena anak dan cucunya pulang. Walaupun kedatangan anaknya memberi kabar kurang baik, Ibu Lastri tetap bersyukur karena masih diberi umur untuk bertemu sang anak. Setengah menemani cucunya main selama kurang lebih satu jam, Ibu Lastri terlihat duduk di atas dipan sambil melihat kedua cucunya yang sedang menonton televisi. Pikiran Ibu Lastri kembali teringat akan pertanyaan yang dilontarkan Intan kepadanya. Ingata
“Bukannya kamu yang kemarin menolong Ibu saya?” ucap Intan ketika melihat Bagas di rumah yang dia tuju. Bagas mengangguk dan berkata, “Iya. Kenapa kamu kemari?” “Kemarin saya belum berterima kasih. Mumpung sekarang ketemu, saya ucapkan terima kasih karena berkat kamu, Ibu saya sekarang baik-baik saja,” ujar Intan sambil menunduk sebentar. “Saya kemari untuk menggantikan Ibu saya agar Ibu bisa istirahat lebih dulu,” sambung Intan lagi. “Oh begitu. Kal—“Ada siapa, Gas?” Ada seseorang yang memotong ucapan Bagas. Mata Intan tertuju pada sumber suara. Dari arah dalam rumah, muncul wanita cantik bergamis dan berjilbab bergo warna merah maroon. Wanita itu diperkirakan berumur lima puluhan tahun. Walaupun sudah kepala lima, wanita itu terlihat masih muda dan cantik. “Ini ada anak Ibu Lastri, Ma. Katanya dia mau gantiin Ibu Lastri sementara waktu,” kata Bagas menjelaskan. Ternyata wanita itu adalah ibunya Bagas yang itu berarti majikan Ibu Lastri yang bernama Ibu Dewi. Dalam hatinya, I
Ibu Lastri kembali bercerita soal masa lalu. Ternyata Ibu Dewi dan Ibu Lastri dulunya bersahabat. Persahabatan mereka sangat erat bahkan sampai menikah pun mereka di tahun yang sama. Saat memiliki anak, keduanya berencana menjodohkan anak mereka berdua. Walaupun pada akhirnya kedua anak mereka tak berjodoh karena pada waktu itu Ibu Dewi pindah ke luar negeri ikut suaminya. “Apa kamu lupa sama Bagas, Nduk? Dulu kalian sering bermain bersama saat masih kecil. Umur kalian saat itu tiga tahunan.”“Pasti kalian berdua tidak ingat. Tapi tak apa. Itu kenangan terindah buat Ibu karena saat itu ayahmu masih hidup.” Ibu Lastri menghela nafas berat. Rasa rindu pada orang yang sudah tidak bisa dilihatnya adalah hal yang menyakitkan. Betapa beruntungnya dia memiliki seorang suami yang sangat sabar dan mau menerima kekurangannya. Menurut cerita Ibu Lastri juga, ayah dari Dona kabur begitu saja dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya. Mungkin karena itulah Ibu Linda menjadi depresi. Intam ki
Ibu Lastri akhirnya menceritakan masalah rumah tangga yang dialami Intan. Rasa-rasanya tak sanggup memendamnya sendiri. Dia sadar tak enak hati bercerita dengan Ibu Dewi. Tapi, jika bukan pada Ibu Dewi, pada siapa lagi Ibu Lastri bercerita?“Astaghfirullah hal adzim! Kamu yang sabar, ya, Las. Insya Allah Intan bisa melewati semuanya dengan baik. Doakan saja yang terbaik untuk anakmu itu. Intan anak yang baik,” ujar Ibu Dewi yang mencoba menghibur Ibu Lastri. “Terima kasih, ya, Wi. Sejak dulu memang hanya kamu yang mau memanusiakan manusia miskin sepertiku. Terima kasih juga kamu selalu membantuku saat keadaanku susah.” Suasana di sana menjadi haru. Ibu Lastri kembali mengingat masa-masa pahitnya yang selalu ditolong oleh Ibu Dewi. Padahal derajat mereka berbeda. “Bun, Bagas mau pergi dulu, ya!” Suara Bagas terdengar dan membuat obrolan keduanya terhenti. “Mau kemana, Nak?” tanya Ibu Dewi. “Mau ke butik, Bun. Sama mau ketemu sama Sintia. Dia ajakin keluar,” sahut Bagas. Sebelum p
"Apa? Kok bisa?" pekik Agung saat istrinya membuat pengakuan mengejutkan. "Apa kamu gak sadar, Mas, kalau kamu sudah lebih dari setahun kerja serabutan? Anak kita sudah dua, Mas! Kebutuhan kita tambah banyak. Belum lagi untuk bayar tagihan listrik, kontrakan, wifi dan lain-lain," jawab Intan tanpa melihat ke mata Agung karena dia takut. ***Sudah lebih dari satu tahun yang lalu Intan bermain dengan aplikasi pinjaman online. Yang awalnya hanya sembilan ratus ribu, kini hutang Intan mencapai puluhan juta. Sungguh Intan tak menyangka jika yang awalnya hanya satu aplikasi kini berubah menjadi beberapa aplikasi. Itu terjadi karena Intan hanya melakukan gali lubang tutup lubang. Di saat Intan menjumlahkan jumlah hutang di beberapa aplikasi tersebut dia sangat terkejut karena tak menyangka sebanyak itu. Ada dua aplikasi yang akan jatuh tempo dua hari lagi dan saat ini di dompetnya hanya ada uang lima puluh ribu. Intan kalut dan kebingungan karena tak ada uang. Dia pun mencoba mencari-ca
Agung mematung sejenak. Dia mencoba mencerna ucapan Intan yang baru saja keluar dari mulut. "Pinjol? Kok bisa?" Pertanyaan itulah yang pertama kali diucapkan oleh Agung. "Karena semakin hari kebutuhan kita semakin banyak. Aku juga gak mengira bisa terjebak di lingkaran ini, Yah. Maafin aku, Yah!" Intan selalu meminta maaf di setiap kalimat yang dia katakan. "Berapa hutangnya?" tanya Agung dengan raut wajah yang jelas sangat kecewa dengan Intan. "Tiga puluh juta, Yah," jawab Intan. Kepalanya masih menunduk. Dia sangat ketakutan sekali jika Agung marah padanya. Sungguh Intan tak menyangka jika angka hutangnya menyentuh angka besar. Dia selama ini tidak pernah menghitungnya. Dan kemarin dia dengan iseng menulis dan menjumlahkan semuanya. Tentu saja Intan terkejut. Dia semakin pusing karena tidak tahu bagaimana akan membayarnya. "Apa? Astaga! Uang sebanyak itu kamu buat apa? Gak habis pikir aku sama kamu!" Agung pun juga terkejut. Tiga puluh juta itu bukan nominal yang kecil. Agung
Satu jam lamanya Intan berpikir antara maju dan mundur. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda kepulangan dari Agung. Hingga akhirnya jari lentiknya mentransfer uang lima ratus ribu kepada joki pinjol. [Sudah saya transfer, Kak. Ini buktinya!] Intan mengirim pesan beserta bukti transfer pada jasa pinjol. [Baik, Kak, akan kami proses. Mohon menunggu sebentar.] balas joki itu dengan cepat. Intan kembali menunggu sambil harap-harap cemas. Dia takut kalau dia tertipu lagi. Tak sampai sepuluh menit joki itu kembali mengirim pesan kepada Intan. Inti dari pesan itu adalah keharusan memilih paket yang isinya jumlah uang yang akan cair. Paket itu mulai dari satu setengah juta rupiah hingga dua belas juta. Menurut joki itu uang yang ditransfer itu hanyalah sebagai deposit yang nantinya akan ditransfer kembali saat uang yang dijanjikan cair. [Memangnya harus deposit, ya, Kak? Saya sudah tidak punya uang lagi, Kak. Tolong saya, Kak!] Intan kembali mengiba dan merengek kepada joki pinjol. [Mo
"Ya Allah, aku memang salah dalam hal ini. Tapi, aku juga melakukan ini untuk keluargaku. Aku tahu caranya salah. Kenapa sikap suamiku seperti itu, Ya Allah? Apakah dia akan menceraikan aku? Harusnya dia juga introspeksi diri kenapa sampai bisa istrinya punya hutang banyak begini. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Intan menangis karena ditinggal sendirian oleh Agung. Tak berselang lama kedua anaknya pun bertengkar berebut mainan dan menangis. Intan tambah stres dibuatnya. Dia membiarkan kedua anaknya menangis karena dia juga belum bisa mengontrol dirinya sendiri. "Apa aku minta bantuan sama Ibu, ya? Tapi, selama ini aku belum bisa memberikan apapun pada mereka. Apakah aku tega membuat mereka menderita? Tidak! Aku tak boleh melakukan itu!" "Bu! Ibu! Adik jatuh, Bu!" teriak anaknya yang pertama. Intan langsung lari ke dalam kamar dan mendapati jidat anak keduanya sudah benjol karena jatuh membentur lantai. Tangan Intan sigap mengambil anaknya lalu memeluknya erat. "Maafkan Ibu, Nak! I