“Masuk ke dalam yuk, jangan lama-lama di sini, gak baik buat Raffa.” Aku mengingatkan karena aku sadar mereka nyaris lupa waktu.Aku mengembuskan napas lega karena mereka tak membantah ucapanku. Kami kembali ke ruang rawat Raffa, merebahkan kembali tubuh mungil Raffa di ranjang.Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit sejak kembali ke ruangan, Raffa akhirnya kembali tidur. Mungkin karena obatnya mulai bereaksi.“Kamu gak kasihan sama Raffa?”Aku yang sedang menyelimuti tubuh putraku dengan selimut, seketika menoleh pada Raefal yang berjalan menghampiri sofa. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku mengikutinya duduk di sofa tersebut.Tak menolak, aku pun ikut mendudukan diri di sofa, tepat di sampingnya. Kedua mataku masih tertuju pada sosok Raffa yang terlelap dalam tidur.“Raffa itu masih kecil. Dia masih membutuhkan kita.” Raefal melanjutkan ucapannya. “Aku beberapa hari gak pulang aja, dia udah kayak gini. Apalagi kalau kita pisah. Bisa kamu bayangin dia akan sesedih apa
Taman di halaman depan rumah sakit yang kupilih untuk bersantai sekedar menghilangkan penat. Aku cukup takjub dengan rumah sakit ini, fasilitas taman untuk bersantai para pasien disediakan di beberapa spot yang bagus. Di halaman depan, rooftop maupun di halaman belakang. Dari gedung rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai serta berbagai fasilitas lengkap nan mewah yang disediakan baik untuk pasien maupun untuk keluarga pasien, bisa kuterka rumah sakit ini cukup elit. Memperjelas bahwa keluarga Dokter Aradi pasti bukan keluarga sembarangan hingga bisa mendirikan rumah sakit semewah ini.Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari pohon apel hijau yang sedang berbuah. Sungguh indah dipandang mata, membuat suasana hati yang sempat buruk karena pertengkaran dengan Raefal tadi, seketika berubah membaik.Di kiri dan kanan, banyak pasien yang sedang duduk santai ditemani keluarganya. Banyak pula pasien anak-anak yang tetap ceria meski dari wajah pucat mereka bisa kutebak mer
Setelah dua malam dirawat di rumah sakit, kondisi Raffa dinyatakan pulih. Suhu tubuhnya sudah normal. Dia tidak mengeluhkan kepalanya pusing ataupun perutnya yang sakit. Aku lega tiada tara,Selama Raffa dirawat di rumah sakit, Raefal selalu datang. Tidak segan-segan menginap di ruang rawat Raffa demi menemani putranya. Dia juga tak membahas tentang hubunganku dan Aradi lagi. Tak meledak-ledak seperti diawal meski tetap saja dia bersikap ketus setiap kali Aradi datang untuk memeriksa kondisi Raffa.Setelah perbincangan panjang antara aku dan Aradi di taman, pria itu juga tak pernah membahasnya lagi. Aradi tampak tak main-main dengan ucapannya, memberiku ruang untuk berpikir tanpa mendesakku untuk membicarakan topik pernikahanku dengan Raefal yang di ujung tanduk. Aradi bersikap seolah pembicaraan itu tak pernah terjadi meski kentara dia memperlihatkan kepeduliannya secara terang-terangan padaku. Bahkan dia tak segan menunjukan perhatiannya padaku dan Raffa di depan Raefal sekalipun.
“OK, aku perhatiin. Cepetan bikinnya, jangan lama. Bentar lagi waktunya Raffa minum obat.”Dia memasang pose telapak tangannya sedang memberi hormat padaku, lagi-lagi membuatku memutar bola mata.Setelah itu, seolah menjadi chef cocok menjadi profesinya selain bisnisman, dia mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur.Aku mengernyit bingung ketika melihatnya mengeluarkan wortel dan kentang. Lalu memotongnya menjadi kotak-kotak kecil.“Sayur itu buat apa?” tanyaku.“Buat dicampurin ke buburnya. Kita bikin bubur sayur buat Raffa. Ditambah ayam tentunya.”“Raffa gak boleh makan yang berminyak-minyak dulu kalau kamu berniat goreng ayamnya.”Dia menggeleng. “Nggak kok, siapa bilang aku mau goreng ayamnya?”Aku tak mengatakan apa pun lagi. Hanya diam memperhatikan ketika dia memasukan ayam potong yang sudah dia bersihkan ke dalam air. Oh, ternyata dia merebus ayam itu.Raefal begitu cekatan memasak. Sejak dulu aku senang memperhatikannya ketika sedang memasak, terlihat keren di mat
Sejak tragedi Raffa sakit dan dirawat di rumah sakit, aku mengizinkan Raefal kembali tinggal bersama kami, dengan catatan tak kuizinkan dia tidur bersamaku. Dia menempati kamar tamu dan terkadang kupergoki dia tidur bersama putranya.Mengingat statusku yang masih istri sahnya, aku tak melupakan kewajibanku sebagai seorang istri seperti menyiapkan pakaian kerja maupun makanannya, tapi untuk urusan lain aku tak sanggup melakukannya. Aku bersyukur karena Raefal tampaknya memahami kondisiku. Dia tak pernah menunjukan tanda-tanda berusaha menggoda atau memaksaku memenuhi kebutuhannya di atas ranjang.Walaupun dia masih terang-terangan mencoba meluluhkan hatiku dengan melakukan berbagai hal manis. Setiap hari dia mengirimkan bunga untukku, bunga yang berbeda tapi dengan makna yang sama yaitu tentang cinta sejati.Dia selalu pulang tepat waktu seperti dulu sebelum perselingkuhan ini terjadi. Pukul 5 sore, dia sudah ada di rumah. Terkadang membantuku memasak di dapur atau dia akan menemani Ra
Rumah megah terdiri dari empat lantai dengan halamannya yang luas dan asri karena banyak ditumbuhi bunga dan pepohonan rindang adalah rumah Aradi. Sekarang aku tak ragu lagi, betapa kayanya keluarga pria ini.Aradi mempersilakan kami masuk ke rumahnya dengan ramah. Seperti yang dia janjikan, dia memperkenalkan anak laki-lakinya, Kevin pada Raffa. Tak lupa dia juga mengeluarkan koleksi mainan Kevin. Dia tak bohong, memang ada banyak mainan gundam dan ultraman yang membuat kedua mata Raffa berbinar senang saat melihatnya. Antusias ingin memainkannya.“Kalian main berdua, ya.” Aradi mengarahkan keduanya bermain di tengah rumah yang dilapisi karet berbulu tebal dan berkualitas terbaik. “Kevin main sama Kak Raffa, ya. Jangan pelit sama mainannya. Kalian mainin sama-sama.”Anak kecil berusia 5 tahun itu mengangguk, mematuhi titah sang ayah. Aku dan Aradi memilih duduk di sofa yang terletak di ruang tengah, memperhatikan anak-anak kami yang mulai bermain.“Mereka pasti akrab. Apalagi hobby m
Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta
Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas