Share

Kesalahpahaman

Suara desiran angin yang kencang terdengar keras dibalik daun-daun yang bergesekan. Suara rapalan-rapalan mantra memenuhi gendang telinganya. Mereka tersenyum senang sambil menusuk jantung mereka sebagai bentuk pengabdian.

Tangan Jiwana terus mendekat, mencoba meraih mereka dan mencegah agar pisau itu tidak merobek jantung. Namun tubuhnya seolah terpaku ditempat yang sama dan tak bisa kemana-mana.

Matanya terus melotot kaku menyaksikan adegan berdarah didepannya.

Ritual telah usai namun api biru itu tidak juga padam. Seolah mengatakan bahwa aku abadi. Kobaran api yang membara perlahan-lahan berubah menjadi bentuk manusia. Api itu terus menunjuk Jiwana dengan marah.

"Semuanya adalah salahmu!!"

Suara itu terus menggema memenuhi hutan. Bahkan pohon-pohon bergoyang dengan keras menambah kengerian didalamnya.

Jiwana kesal dan putus asa. Dadanya sesak dan tak bisa mengatakan apa-apa. Air matanya terus mengalir sambil merapalkan penyesalan yang mendalam didalam hatinya.

'Maaf.'

Ia terus menangis dengan suara yang menyedihkan. Seolah ia adalah pendosa dengan karma yang tiada akhirnya. Ia bersalah dan mengakui itu.

"Jiwana!!!"

Suara teriakan Sina berhasil membuat Jiwana bangun dari mimpi buruknya. Matanya melotot dengan dipenuhi keringat di wajahnya. Dadanya masih terasa sesak dan nafasnya tidak teratur.

Perlahan ia mulai tenang dan melihat wajah Sina dengan lebih dalam. Mahluk cantik itu seolah berhasil membuat dirinya lebih tenang dan mengendalikan pikirannya.

Sina menghapus jejak air mata dan keringat Jiwana dengan hati-hati. Matanya yang jernih menunjukkan kekhawatiran yang samar.

"Kamu terus meminta maaf berulang kali. Apa yang kamu impikan?"

Mendengar pertanyaan itu, Jiwana tiba-tiba merasakan kesedihan yang mendalam. Hatinya terus dipenuhi dengan rasa bersalah yang ia tak tau dari mana asalnya. Api biru yang ia lihat seolah mengelilingi tubuhnya, hal itu membuat tubuhnya semakin bergetar dan gelisah.

"Aku tidak ingat." Ucapnya berbohong.

"Kalau begitu bangunlah dan bersihkan dirimu. Air dapat membuat seseorang menjadi lebih tenang."

Tanpa berfikir panjang, Jiwana segera bangun dan keluar dari gubuk kecilnya. Sinar matahari terlihat jelas diujung pohon didepannya. Ia mulai merasa sedikit tenang dan berjalan menuju sungai kecil tak jauh dari hutan.

Jiwana terus melangkah namun ada keengganan yang mengganjal dihatinya. Ia segera berbalik dan menatap Sina tak jauk dari depan gubuk miliknya.

"Apa kamu tidak ingin ikut?"

Setelah menanyakan hal itu wajah Jiwana tiba-tiba berubah merah. Ia malu setelah sadar apa makna dari pertanyaannya. Bukankah ia secara tidak langsung mengajak Sina mandi bersama.

"Aku tidak bisa kemana-mana."

Mata Sina memancarkan kesedihan yang mendalam hal itu membuat Jiwana sedikit nyeri. Ia tidak tau mengapa Sina sangat mempengaruhi perasaannya. Namun satu hal yang ia tau bahwa ia harus menghibur mahluk cantik itu.

"Kalau begitu tunggulah sampai aku pulang." Ucapnya sambil tersenyum lembut.

Ia segera berbalik dan pergi menuju sungai, ia terlalu malu menunggu jawaban Sina terhadap ucapannya. Wajahnya semakin memerah namun ada senyum lembut disana.

Sina terus menatap punggung Jiwana yang perlahan menghilang. Ada rasa enggan di hatinya saat berpisah dengan pemuda itu. Akan tetapi ia senang bahwa pemuda itu ingin agar ia menunggunya pulang.

Setelah ratusan tahun lamanya, ia menyaksikan pertumpahan darah dari Raja-Raja di hutan ini. Pada akhirnya ketika bangsa kulit putih datang, ini adalah pertama kalinya ia bertemu dan merasakan hal semacam ini pada seorang pemuda.

Sina tidak ingin memikirkannya lebih jauh, ia hanya akan menunggu dan berharap Jiwana kembali pulang dan bersamanya dengan segera.

Jiwana melepas helai demi helai setiap kain ditubuhnya, lalu perlahan turun dalam air sungai didepannya. Ia terus membasuh tubuh serta wajah dan rambutnya dengan kasar. Ia ingin segera menghilangkan perasaan buruk dihatinya.

Sungai itu dipenuhi dengan batu-batu besar serta pohon-pohon besar disekelilingnya. Terkadang akan ada ular yang bergelantungan disana. Hal itulah yang membuat para gadis enggan untuk datang ke sana untuk membersihkan badan. Selain jarak yang jauh tempat ini juga cukup berbahaya karena airnya yang cukup deras.

Kulit coklat Jiwana terasa lebih segar dari sebelumnya. Rambut hitam serta wajahnya tampak lebih bersih dan semakin terlihat berkilau. Banyak gadis yang iri padanya karena memiliki rambut yang sangat hitam dan lebat.

Setelah lama berendam dan membersihkan tubuhnya, Jiwana segera bangun dan mengeringkan badannya dengan kain. Perlahan ia memakai pakaian serta ikat kepala khas miliknya. Ini adalah hadiah satu-satunya dari sang ibu sebelum beliau meninggal.

Ia segera bangkit dan pergi dari tempat itu. Ia berjalan di jalan setapak menuju desa untuk membeli beberapa bumbu dapur untuk ia memasak nanti. Tak lama suara para gadis terdengar didepannya. Mereka terlihat bercengkrama sambil bercanda dan tertawa.

Para gadis terdiri dari empat orang yang masing-masing membawa kain basah di mangkuk besar dari anyaman bambu. Mereka tertawa riang, namun saat melihat Jiwana mereka langsung terdiam dan menunduk malu. Senyum mereka merekah dan pipi mereka memerah.

Jiwana adalah seorang pendatang yang terkenal gagah dan tampan. Hal itu telah banyak dibicarakan warga Desa. Banyak ibu-ibu yang mengharapkan salah satu anak gadis mereka untuk berjodoh dengan pemuda itu. Hal itu tentu diaminkan oleh anak-anak mereka.

Mereka terus menatap Jiwana yang sudah berbelok menuju Desa. Langkahnya terlihat gagah dan menarik, membuat mereka terkesima untuk sesaat.

Wajah Yati yang semula menunduk perlahan bangkit dan menatap wajah sahabatnya dengan senyum aneh.

"Ini pertama kalinya aku melihat Lana menunduk malu."

Mendengar pernyataan Yati mereka segera berbalik menatap Lana dengan curiga. Benar saja, gadis itu terlihat menunduk dengan wajah memerah.

"Ya, ini pertama kalinya Lana terlihat seperti ini. Apa Lana tertarik dengan ksatria itu?" Ucapnya menggoda.

Lana langsung kaget dengan candaan sahabatnya, namun pipinya justru semakin memerah.

"Tidak! Aku tidak mungkin tertarik padanya." Ucapnya malu.

Mereka langsung tertawa girang. Sangat jarang melihat Lana hilang kendali semacam ini. Mereka segera menyimpulkan bahwa sahabat mereka memang menyukai pemuda itu.

"Bahkan jika itu benar kami tidak akan marah. Kami akan mundur dan mengatakan pada ibu kami bahwa kami tidak tertarik pada pemuda itu."

"Benar. Kami akan selalu mendukungmu jika kamu benar-benar menyukainya."

Mereka terlihat tertawa kecil karena melihat wajah Lana yang semakin panik. Mereka sangat menikmati saat-saat dimana mereka menggoda Lana.

"Sepertinya kembang Desa kita akan segera diikat oleh kesatria tampan. Akan ada banyak pemuda yang patah hati jika mengetahui hal ini."

"Jangan sembarangan!"

Lana segera pergi dengan langkah cepat.

"Lihat betapa tidak sabarnya Lana ingin menyusul Tuan Jiwana."

Langkah Lana langsung melambat setelah menyadari bahwa jalan yang dipilihnya, adalah jalan yang sama dengan jalan yang dilewati Jiwana.

Ia gelisah dan terus berharap didalam hatinya bahwa Jiwana bukan laki-laki yang ia temui di hutan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status