Suara langkah kaki terdengar sangat mengganggu. Ranting-ranting kecil yang terinjak membuat Sina sedikit kesal karena berisik. Hal itu dikarenakan sangat jarang orang yang masuk ke hutan ini tanpa permisi dan adab yang buruk.
Sina segera keluar dari gubuk dan melihat sekelompok orang mendekat. Laki-laki berambut pirang yang merusak persembahan milikinya terlihat memimpin rombongan itu. Tinggi laki-laki itu benar-benar tidak manusiawi. Rambut pirang serta kulitnya yang putih menampilkan kecantikan khas orang Barat.
"Kemana Jiwana?" Ucapnya tidak sabar.
"Sepertinya Tuan Jiwana belum kembali, tadi ada seorang warga yang memberitahu saya bahwa Tuan Jiwana pergi ke pasar."
Wajahnya segera memerah karena marah. "Lalu apakah aku harus menunggu?!"
Mereka segera menunduk takut. Pieter bukan orang bisa mereka bujuk, hanya Jiwana yang paham sifat laki-laki itu. Namun salah seorang dari ke
Tangan kecil membelai wajah Jiwana. Tangan itu milik seorang gadis dengan wajah rupawan serta mata yang menyilaukan. Gadis itu terus menatapnya sambil tersenyum manis.Jiwana heran dan terus menatap takjub pada gadis kecil didepannya. Namun gadis itu seolah tidak peduli dan terus membelai pipinya dengan lembut."Istirahatlah, aku akan menemanimu disini." Ucapnya lembut.Seolah tidak mendengar perintah dari gadis itu, Jiwana terus menatapnya dan enggan untuk tertidur. Namun gadis itu segera memukul kepala Jiwana dengan keras, lalu memarahinya dengan mata tajam."Saka, aku menyuruhmu untuk tidur maka tidurlah. Aku tidak akan meninggalkanmu jadi kamu jangan takut!" Ucapnya keras.Entah kenapa hati Jiwana terasa nyeri saat mendengar gadis itu memarahinya. Seolah hatinya merasakan sakit yang tak terhingga dan merasa kecewa yang mendalam. Ta
"Penguasa api biru? Heh." Pieter tersenyum remeh.Ia terus menatap badai yang mulai mereda. Hal itu membuatnya jengkel karena banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus tertunda karena cuaca buruk. Ditambah lagi kata kakek tua itu yang terus menghantuinya. Ada rasa penyesalan dihatinya, penyesalan karena tidak membunuh orang itu dengan lebih kejam."Bahkan jika Tuhan marah padaku, apa yang bisa Dia lakukan?"Pieter segera berbalik dan masuk kedalam rumah mewahnya, mencoba mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Namun sebelum ia membuka pintu ruangannya, ada seseorang yang memanggil namanya."Tuan Pieter."Pieter segera menoleh, terdapat seorang pemuda pribumi yang menunduk didepannya. Pemuda itu memakai pakaian khas, namun masih terlihat lusuh."Ada apa?""Tuan besar ingin bertemu dengan anda di ruangan pribadi beliau."Tanpa berfikir panjang, ia segera pergi menuju ruangan sang ayah. Sebagai anak bungsu dan dari tiga bersaudara dan
Suara ketukan terdengar jelas ditelinga nya, namun rasa kantuk dan lelah telah menyelimuti tubuhnya. Walaupun hati kecilnya seolah memperingatkannya untuk bangun, akan tetapi hal itu sangat sulit ia lakukan. Lana mendengar dengan samar suara wanita di luar kamarnya."Tuan, pintunya tidak terkunci.""Benar-benar ceroboh, bagaimana bisa seorang gadis tidur tanpa menutup pintu! Bangunkan dia sebelum aku yang kesana dan membangunkannya!"Itu suara ayahnya, Lana segera membuka matanya dengan susah payah. Namun suara teriakan wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.Matanya yang melotot kaget tertangkap jelas di penglihatan Lana. Satu persatu orang-orang mulai datang, namun ia belum menyadari apa yang salah hingga wajah mereka terlihat begitu kecewa.Ayahnya terlihat memerah dan berteriak keras. Entah apa yang beliau ucapnya, Lana tak bisa mendengarnya. Hal yang ia lihat adalah wajah kecewa sang ibu. Ada air mata disana dan ia ingin menghapusn
"Lana? Nama yang cukup bagus untuk ukuran gadis kampung."Pieter tersenyum melihat sebuah nama yang tertulis di kertas itu. Ia terus menatap kertas itu lalu tertawa setelahnya."Aku sudah banyak melakukan pengorbanan untuk posisiku saat ini. Aku akan membunuh siapa pun yang mencoba merebutnya dariku. Bukan begitu Jiwana?"Jiwana langsung tersenyum sumringah. "Tentu saja Tuan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan kedudukan Tuan saat ini."Mendengar jawaban Jiwana, Pieter kembali tersenyum."Kau tau apa yang paling aku sukai dari dirimu Jiwana?""Hamba tidak tau tuan ku." Ucapnya rendah hati."Aku menyukaimu karena kamu pandai memuji. Walaupun itu sedikit memuakkan, namun itu cukup efektif untuk menenangkan pikiranku. Selain itu, aku cukup terkesan dengan loyalitasmu. Kita sudah berteman selama bertahun-tahun dan ayahku selalu memujimu, tapi kamu tidak melupakan posisimu dan ingat bahwa aku adalah Tuanmu."Jiwana menunduk dalam, ia ing
Ruwan dan ayahnya terus berdiri di depan rumah mereka sambil melihat Jiwana yang mulai menghilang. Sang ayah menatap Ruwan dengan heran dan khawatir."Tuan Jiwana datang melamar Lana untuk Tuan Pieter, kenapa kita tidak menolaknya?"Ruwan pun menatap ayahnya dengan senyum lembut andalannya."Ayah, bukankah Tuan Jiwana mengatakan pada kita bahwa ia datang bukan untuk mendengar penolakan.""Ayah tau, tapi dengan kondisi adikmu saat ini, pemuda bodoh mana yang mau menikahinya. Ia hanya memiliki kecantikan yang akan memudar tapi tidak memiliki kehormatan.""Ayah, itu hanya berlaku pada masyarakat kita. Bagi para bangsa kulit putih keperawanan bukan sesuatu yang berharga. Jika mereka ingin gadis perawan, mereka bisa mencari dengan sekejap mata bahkan tanpa harus menikah.""Begitukah?""Tentu saja."Ruwan tersenyum sambil meninggalkan ayah
Sina terus menatap bosan pada dua pasangan labil di depannya. Ia memutar matanya dengan malas."Jika kalian ingin berkelahi, jangan disini!"Suara Sina yang menggema di seluruh hutan seolah terdengar seperti hembusan angin lembut. Mereka mengabaikannya dan terus berdebat siapa yang paling benar. Hal itu membuat Sina semakin kesal."Inilah alasan kenapa aku benci manusia. Mereka benar-benar tidak peka."Tanpa memerdulikan jeritan kesakitan adiknya, Ruwan terus menggenggam tangan Lana dengan keras."Lepaskan!""Tidak!!"Ruwan terus menggenggam tangan itu seolah-olah tangan Lana adalah tali harapan terakhirnya. Terlihat wajah Lana yang kesakitan, namun hal tersebut belum mampu membangkitkan simpatinya."Diam!"Gerakan Lana langsung berhenti, matanya yang memerah menatap Ruwa
Hembusan angin seolah berhenti dan hujan seolah menahan airnya untuk tidak turun lagi. Rasa dingin di kulit seolah hilang entah kemana. Hanya ada perasaan kosong di dalam hatinya.Suara cangkul yang mengeruk tanah terdengar jelas, namun ia tetap diam dan menghiraukannya. Sina terus menatap ke depan, menatap seorang gadis yang menangis di depannya.Gadis itu terlentang dengan pasrah, hanya dengan bermodalkan kain batik basah. Ia terlihat menyedihkan namun luar biasa di saat yang sama."Apa yang kamu inginkan?"Suara Sina terdengar pelan, ada rasa simpati terkandung di dalamnya. Namun siapa pun yang mendengar itu, niscaya akan terkagum-kagum tentang betapa anggun dan cantiknya saat ia bertanya. Seperti seorang dewi."Redakan amarahku. Biarkan tubuh ini membusuk dan menyatu dengan tanah karena Tuhan menghendakinya. Rasa cinta ini membunuhku, tapi aku tak menyesal kar
Sina membersihkan badannya yang di penuhi lumpur di sungai. Air yang dingin menambah kesegaran di tubuhnya. Matahari yang mulai terlihat membuat suasana semakin menyenangkan. Setelah badannya bersih dan kembali segar, ia segera bangun dan bersiap kembali ke rumah Lana. Ia mendapatkan ingatan samar mengenai kehidupan sehari-hari gadis itu. Kehidupan gadis itu ia anggap sebagai kehidupan membosankan dan bodoh. Walaupun kebodohan dianggap sebagai kecantikan yang polos dan murni, namun ia enggan untuk melakukannya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk bertingkah seperti seorang rendahan. Ia adalah penguasa api biru, mahluk yang di puja-puja. Ia tidak akan merendahkan dirinya barang setitik pun. Ia berjalan di jalan setapak menuju rumahnya. Dari kejauhan terdengar suara gadis-gadis yang bercengkrama. Mereka hendak menuju sungai sambil membawa pakaian kotor. Suara mereka yang nyaring membuat telinga Sina terganggu. "Sangat berisik, apa gadis-gadis jaman sekar