Saat peperangan meledak, hujan di Ziel tak henti-hentinya turun. Alam sepertinya mendukung para pribumi dengan menurunkan hujan deras agar mereka bisa memiliki lebih banyak waktu untuk lari, sedangkan tentara Nippon kesulitan karena cuaca dan Medan yang belum mereka kuasai.Disaat hujan terus mengguyur Ziel dan tentara Nippon memaksakan diri untuk masuk, Pieter bersembunyi di balik pohon sambil membawa pedang telah ia asah selama beberapa hari. Matanya telah terbiasa oleh hujan dan kabut, jadi Pieter mampu melihat dengan jelas gerakan lawan dibalik pohon itu.'hmm mereka terlihat familiar'Tentara Nippon memiliki perawakan yang hampir sama dengan pribumi, hanya saja kulitnya putih dan matanya agak sipit. Hampir mirip dengan keturunan Tionghoa yang biasa Pieter lihat. Mereka memiliki suara yang keras dan perawakan yang kaku, jadi wajar saja jika Pieter merasa wajah mereka terlihat familiar.Pieter bergerak dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin meremehkan musuh. Walaupun tubuh Pieter
Di lain pihak, Jiwana telah mendengar tentang invasi Nippon ke pulau ini yang berniat menggantikan kekuasaan Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana tidak setuju, bukan hanya karena ia bekerja bersama para bangsawan Netherland, tapi juga karena Jiwana merasa bahwa bangsawan Netherland tidak terlalu kejam selama di pulau ini, mereka hanya sangat sombong dan pelit.Netherland memang memiliki riwayat buruk dengan para pribumi, akan tetapi itu hanya berlaku di pulau seberang. Di pulau ini, Jiwana lah yang mengaturnya. Ia menjilat para bangsawan Netherland untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Ia juga membujuk para pribumi untuk mau bekerja tanpa sebuah paksaan. Sehingga keduanya tidak memiliki konflik yang berarti.Akan tetapi Nippon datang dan Jiwana tidak tau seperti apa strategi politik yang akan dilakukan Nippon di masa depan. Jiwana takut Nippon akan lebih sulit dibujuk dan akan menyengsarakan pribumi dan lebih kejam dari Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana membentuk kelompok k
Dinginnya udara di sekitar, tidak menyurutkan semangat mereka untuk memulai ritual sesegera mungkin. Mereka berdiri dengan pola melingkar sambil memakai pakaian serba hitam menyerupai malam. Bibir mereka pun terus merapalkan doa-doa keramat untuk melancarkan ritual yang ada.Mereka terus berbisik menyatu dengan embun yang jatuh di hutan terlarang. Melingkari mayat seorang gadis yang berhasil mereka bunuh. Gadis ini adalah seseorang yang terlahir dengan kutukan. Membuat roh leluhur marah dan menurunkan bencana pada kaumnya. Gadis dengan pesona Dewi yang membius para lelaki untuk tunduk padanya. Karena kecantikan adalah bentuk dari menyimpangnya keseimbangan alam.Suara burung hantu terus menggema memecahkan keheningan hutan, seolah alam merestui ritual mereka malam ini.Api abadi terus menyala di t
Matahari mulai menyingsing namun terhalang lebatnya pohon-pohon besar nan kokoh disekitarnya. Jiwana terus berkeliling melihat lebih detail tempat ini. Mengamati dan memikirkan apa saja yang bisa mereka manfaatkan untuk meningkatkan pundi-pundi uang mereka.Matanya lagi-lagi tertuju pada satu titik, yaitu batu besar yang ia lihat kemarin. Namun pemandangan hari ini sedikit berbeda, terdapat seorang laki-laki berpakaian hitam menghadap sang batu, sambil menyatukan tangan menyentuh dahinya.Ini merupakan ritual yang sering ia lihat dan dengar. Namun ini pertama kalinya ia melihat pancaran energi yang begitu kuat mempengaruhi batin nya. Ia terus menatap orang itu sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.'apa yang sedang kamu lihat anakku?'Mata Jiwana langsung melotot kaget. Suara itu terdengar lembut dan mengayomi namun berhasil membuat bulu kuduk
Langkah Jiwana semakin ringan mengingat ia sudah memiliki kandidat yang tepat untuk tuannya. Senyum sumringah dan berwibawa tetap terpatri di wajahnya. Sebagai kesatria ia harus mempertahankan citra mulia untuk membuat orang semakin segan padanya.Di jaman Kolonial ini kita harus memiliki sedikit keserakahan untuk mendapatkan kesejahteraan. Menjadi naif dan terlalu berempati pada orang lain dianggap sebagai kehancuran dini.Mereka yang berjuang demi tanah air harus terkubur diusia muda, dengan banyak penyesalan dan air mata. Mereka bodoh dan terlalu percaya diri dan Jiwana bukan orang yang sama seperti mereka. Ia adalah orang yang hidup untuk dirinya sendiri.Hidup bergelimang harta dan akan menikahi gadis cantik adalah impian semua pria. Mengumpulkan sedikit pundi-pundi uang dari hasil menjilat para kaum kulit putih. Terdengar menjijikkan namun menjanjikan. Mereka yang terlalu setia pada tanah air tak akan berakhir dengan
Langkah kaki Jiwana terus menyusuri jalan setapak menuju hutan. Ia hampir mencapai pagar perbatasan antara desa dan hutan bagian dalam, akan tetapi suara nyaring dari arah belakang segera membuatnya berbalik."Tuan tunggu dulu!" Orang itu segera berlari menuju ke arahnya. "Ada hal yang lupa Tuan kami sampaikan kepada pelungguh. Tuan kami akan mengadakan pertemuan di Balai Desa terkait dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tuan kami mengharapkan agar tuan juga ikut dalam musyawarah tersebut.""Oh tentu saja saya pasti akan ikut." Sambil tersenyum ramah.Mendengar kepastian dari Jiwana orang itu pun tersenyum sumringah. "Terima kasih Tuan. Kami akan menunggu tuan pada besok malam di Balai Desa."Orang itu pun mengucap pamit dengan wajah senang. Ia sebenarnya telah menyiap
Malam telah berganti malam, rasa lelah terus menyelimuti hatinya. Punggung serta tubuhnya yang letih membutuhkan istirahat. Jiwana terus menghela nafas dengan pelan. Ada rasa frustasi yang tersimpan didalamnya.Setiap hari ia harus berkeliling ke setiap rumah warga di seluruh Desa. Berusaha meyakinkan mereka untuk ikut bersamanya, sambil berharap bahwa mereka akan tertarik walau hanya dengan iming-iming uang dan gotong royong.Matanya seolah terpejam sejenak, menikmati kebohongan yang ia sampaikan setiap harinya.Ada rasa malu terselip dihati Jiwana, akan tetapi jumlah uang yang ada didalam kantongnya telah berhasil menutup hatinya. Ia adalah seorang pendosa untuk kaumnya, tetapi seorang raja untuk ambisinya. Ia bahagia menjadi orang yang egois dan ia ingin seperti itu selamanya.jiwana perlahan berjalan di jalan setapak menuju hutan. Suara hewan malam terus terdengar dan menemaninya, ia terbia
Suara desiran angin yang kencang terdengar keras dibalik daun-daun yang bergesekan. Suara rapalan-rapalan mantra memenuhi gendang telinganya. Mereka tersenyum senang sambil menusuk jantung mereka sebagai bentuk pengabdian.Tangan Jiwana terus mendekat, mencoba meraih mereka dan mencegah agar pisau itu tidak merobek jantung. Namun tubuhnya seolah terpaku ditempat yang sama dan tak bisa kemana-mana.Matanya terus melotot kaku menyaksikan adegan berdarah didepannya.Ritual telah usai namun api biru itu tidak juga padam. Seolah mengatakan bahwa aku abadi. Kobaran api yang membara perlahan-lahan berubah menjadi bentuk manusia. Api itu terus menunjuk Jiwana dengan marah."Semuanya adalah salahmu!!"Suara itu terus menggema memenuhi hutan. Bahkan pohon-pohon bergoyang dengan keras menambah kengerian didalamnya.Jiwana kesal dan putus asa. Dadanya sesak dan tak bisa mengatakan apa