Setelah makan pagi bersama dengan Sasadara, Hyang Yuda kemudian mengucapkan terima kasih kepada Sasadara dan berpamitan pergi.
“Jaga dirimu, Sasadara. Seorang gadis tinggal seorang diri di tempat yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan. . . itu pasti sangatlah berat,” ucap Hyang Yuda sebelum pergi.
Sasadara menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Hidup seorang diri di pinggir hutan akan lebih mudah bagi saya dan juga banyak orang daripada saya harus tinggal di desa dan membuat banyak orang di desa kesusahan.”
Hyang Yuda mengerutkan alisnya dan memandang heran ke arah Sasadara, “Apa maksudnya dengan itu?”
Sasadara tersenyum melihat ke arah Hyang Yuda, “Jika kita berjodoh dan bertemu lagi, saya akan menceritakan hal ini kepada Tuan. Bagaimana menurut Tuan?”
Hyang Yuda tersenyum mendengar ucapan bijak dari Sasarada kepada dirinya.
“Baiklah, jika kita berjodoh dan bertemu lagi. . .” jawab Hyang Yuda.
Hyang Yuda kemudian berjalan pergi meninggalkan area rumah Sasarada yang sederhana. Begitu berjalan sedikit jauh dan melihat bahwa Sasarada tidak mengikutinya, Hyang Yuda melepaskan Alesyan yang digunakannya untuk menyamar dan dalam sekejap mata kembali ke Amarloka.
Begitu tiba di Amaraloka, Hyang Yuda terkejut melihat keadaan Amaraloka yang sedikit lebih berantakan dari biasanya. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Hyang Yuda bertanya kepada satu Raksaka yang berdiri tidak jauh dari tempatnya tiba.
“Ada apa ini?” tanya Hyang Yuda kepada satu Raksaka di dekatnya.
“Itu. . . ah, selamat datang Hyang Yuda. . .”
Menyadari siapa yang sedang berbicara padanya, Raksaka itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Hyang Yuda.
“Ada apa sebenarnya ini?” tanya Hyang Yuda lagi.
“Itu. . . ulah Nagendra yang mengamuk tadi. Kami para Raksaka masih belum selesai membersihkan dan menata kembali Amaraloka karena ulah Nagendra.”
Mendengar jawaban dari Raksaka di depannya, senyuman segera terbentuk di sudut kiri bibir Hyang Yuda. Untuk sesaat, Hyang Yuda kemudian teringat dengan pesan Hyang Tarangga melalui saluran komunikasi tadi.
Jadi. . . benar – benar seperti yang aku harapkan.
Hyang Yuda tertawa kecil dan bertanya lagi kepada Raksaka di depannya, “Jadi, bagaimana akhirnya? Bagaimana akhirnya Nagendra itu bisa dihentikan?”
Raksaka itu menundukkan kepalanya lagi dan menjawab pertanyaan Hyang Yuda, “Hyang Amarabhawana turun tangan dan dengan menggunakan Bajrasani(1) miliknya untuk membuat Nagendra itu lemas dan tidak sadarkan diri.”
(1)Bajrasani dalam bahasa sansketa berarti petir.
“Bajrasani. . .” Hyang Yuda menggelengkan kepalanya dengan tersenyum kecil. “Hanya satu ekor Nagendra saja harus membuat Bajrasani bertindak, apakah para Hyang yang lain tidak ada yang bisa menghentikan satu ekor Nagendra itu?”
Raksaka menggelengkan kepalanya sebelum memberikan jawaban dari pertanyaan Hyang Yuda. “Tidak ada, Hyang Yuda. Begitu Sangkar Kausala menghilang dan kembali ke gudang Amaraloka, semua Hyang yang ada di aula Amaraloka kebingungan. Semua Hyang selain Hyang Tarangga dan Hyang Amarabhawana, memanggil senjata pusaka mereka. Namun bukannya menghentikan Nagendra, senjata pusaka yang digunakan oleh para Hyang justru menghancurkan pintu utama Aula Amaraloka dan membuat Nagendra keluar dari aula. Karena hal itu pula, kerusakan yang diakibatkan oleh Nagendra semakin meluas dan memaksa Hyang Amarabhawana memanggil Bajrasani, senjata pusaka miliknya.”
Hyang Yuda tertawa keras mendengar penjelasan dari Raksaka yang ada di hadapannya dan berkata, “Andai saja aku di sini dan bisa melihat kejadian itu, pasti benar – benar menyenangkan melihat para Hyang yang kalang kabut hanya karena satu Nagendra saja.”
Sebuah suara kencang terdengar dari Aula Amaraloka yang memanggil nama Hyang Yuda dan membuat kesenangan yang dirasakan oleh Hyang Yuda dalam sekejap menghilang.
“Hyang Yuda. . . harap segera datang ke Aula Amaraloka untuk melapor.”
Dari suaranya yang kencang dan dahsyat, Hyang Yuda dapat mengenali pemilik suara yang sedang mencari – cari keberadaannya saat ini. Suara itu adalah suara milik Hyang Amarabhawana. Hyang Yuda sangat yakin, Hyang Amarabhawana sedang mencari – cari dirinya menunggu laporan penting yang harus segera disampaikannya.
“Baiklah. . .” kata Hyang Yuda kepada Raksaka yang menemaninya berbicara sejak kedatangannya ke Amaraloka, “aku harus pergi dulu sebelum Hyang Amarabhawana membuat getaran kencang dengan suara miliknya itu.”
Raksaka itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Hyang Yuda yang mulai berjalan pergi menuju ke Aula Amaraloka.
Dengan menggunakan kemampuannya sebagai dewa Amaraloka, Hyang Yuda berpindah tempat dan dalam sekejap mata sudah berdiri di depan meja besar Hyang Amarabhawana.
“Hyang Amarabhawana. . .” sapa Hyang Yuda dengan menundukkan kepalanya dengan tujuan memberi hormat.
“Hyang Yuda. . . akhirnya Hyang Yuda kembali juga ke Amaraloka,” kata Hyang Amarabhawana ketika menyadari keberadaan Hyang Yuda di depan meja kerjanya.
“Ya, saya telah kembali, Hyang Amarabhawana,” jawab Hyang Yuda masih dengan menundukkan kepalanya.
Hyang Amarabhawana menatap Hyang Yuda yang masih menundukkan kepalanya dan memberi perintah kepada Hyang Yuda untuk mengangkat kepalanya.
Sesuai dengan perintah Hyang Amarabhawana, Hyang Yuda mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Hyang Amarabhawana.
“Ceritakan padaku bagaimana cara Hyang Yuda menangkap Nagendra itu? Apakah Hyang Yuda mengalami kesulitan saat menangkapnya?”
“Tidak, Hyang Amarabhawana. . .” jawab Hyang Yuda. “Saya tidak merasa kesulitan sedikit pun.”
“Bagaimana cara Hyang Yuda menangkapnya?”
“Dengan menggunakan pusaka milik saya, Saharsa Buntala, Hyang Amarabhawana.”
“Hanya itu saja?” tanya Hyang Amarabhawana dengan wajah tidak percaya.
“Ya, hanya itu saja Hyang Amarabhawana.”
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana memberi tepuk tangan kepada Hyang Yuda sebagai bentuk pujian dan rasa bangganya.
“Kamu tahu Hyang Yuda, beberapa Hyang yang berada di Aula Amaraloka ketika sangkar milik Hyang Yuda datang bersama dengan Nagendra di dalamnya, tidak ada yang bisa menghentikan Nagendra itu dengan mudah. Dan Hyang Yuda baru saja mengatakan Hyang Yuda menangkapnya dengan mudah hanya dengan menggunakan Saharsa Buntala milik Hyang Yuda?”
“Apakah jawaban yang saya berikan tidak tepat, Hyang Amarabhawana?” tanya Hyang Yuda ragu – ragu.
“Tidak. . . tidak. Justru aku sedang memuji Hyang Yuda. Aku terkejut Hyang Yuda menangkap Nagendra dengan mudahnya sementara beberapa Hyang yang ada di sini justru membuat banyak kekacauan di saat berusaha menangkap Nagendra.”
Hyang Amarabhawana bertepuk tangan lagi sebagai bentuk pujian kepada Hyang Yuda.
“Terima kasih atas pujian dari Hyang Amarabhawana. Benar – benar sebuah kehormatan bisa menerima pujian dari Hyang Amarabhawana.” Hyang Yuda berkata dengan merendah.
Raut wajah Hyang Amarabhawana perlahan berubah menjadi serius dan Hyang Yuda melihat dengan jelas perubahan raut wajah Hyang Amarabhawa di hadapannya.
Seperti yang diperkirakan oleh Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana kemudian mengajukan pertanyaan yang lebih serius dari pertanyaan sebelumnya.
“Bagaimana Hyang Yuda bisa menemukan Nagendra yang memanfaatkan Girilaya ketika para Hyang lain dan bahkan Hyang Madyapada tidak mengetahuinya?”
Hyang Yuda menelan ludahnya dan mulai menceritakan setiap rincian kejadian yang membawanya kepada Nagendra yang sedang melakukan pesta makan besar dengan memanfaatkan Girilaya. Hyang Yuda bahkan tidak menutupi pertemuannya dengan gadis manusia bernama Sasarada di Janaloka.
“Jadi. . . karena Hyang Yuda ingin menebus kesalahan, Hyang Yuda dengan terpaksa mengantarkan gadis manusia itu kembali ke rumahnya dan berakhir dengan terpaksa juga menginap di rumah gadis manusia itu?” tanya Hyang Amarabhawana memastikan pernyataan dari Hyang Yuda.
“Ya, Hyang Amarabhawana. . .”
“Karena itu pula, Hyang Yuda dapat mencium bau darah manusia yang telah dimakan oleh Nagendra yang terbawa oleh angin. . .” kata Hyang Amarabhawana lagi untuk memastikan pertanyaan Hyang Yuda.
“Ya, Hyang Amarabhawana. Begitulah ceritanya, karena merasa tidak pernah mendengar Nagendra yang tinggal di tanah itu dengan terpaksa saya membuka saluran komunikasi di seluruh Amaraloka.”
“Bagus sekali. . . Hyang Yuda melakukan tugas dengan sangat baik. Setidaknya Hyang Yuda sudah mengurangi nyawa manusia yang akan melayang dan akan menjadi korban keganasan Nagendra. Saat ini, Hyang Tarangga dan Hyang Marana juga sudah pergi ke tanah itu dan membersihkan semua Atma yang terjebak di tanah itu. Takutnya jika membiarkan Atma dari korban Nagendra lebih lama lagi, tanah itu mungkin tidak lagi menjadi Girilaya dengan aura suci melainkan berubah menjadi aura gelap yang justru memancing banyak Mara.”
Mendengar kata Mara diucapkan oleh Hyang Amarabhawana, Hyang Yuda kemudian teringat dengan interogasinya kepada Nagendra sebelum mengirim Nagendra ke Amaraloka.
“Hyang Amarabhawana. . .” panggil Hyang Yuda dengan sopan.
“Ya?”
“Ada yang ingin saya tanyakan. . .”
“Katakan. . .”
“Sebelum mengirim Nagendra ke Amaraloka semalam, saya mengiterogasi Nagendra dan menayakan padanya bagaimana dia bisa mengetahui tentang tanah suci itu. . .”
“Lalu, jawaban apa yang Hyang Yuda terima?” tanya Hyang Amarabhawana.
“Nagendra mengetahui tanah itu dari seorang Mara, bukan sekedar Mara biasa tapi Nagendra menyebutnya dengan Mahamara. Apakah Hyang Amarabhawana mengetahui siapa Mahamara yang dimaksud oleh Nagendra?”
Hyang Amarabhawana terdiam dan berpikir sejenak sebelum mengajukan pertanyaan kepada Hyang Yuda, “Hyang Yuda yakin itu yang dikatakan oleh Nagendra?”
Hyang Yuda menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Saya yakin. Saya bahkan menggunakan Bares Katana milik saya untuk memastikan kebenaran dari ucapan Nagendra. Sayangnya, Nagendra tidak mengingat bagaimana rupa dari Mahamara yang dia maksud. Bukankah ini sesuatu yang janggal, Hyang Amarabhawana?”
Hyang Amarabhawana terdiam untuk sejenak lagi dan menimbang – nimbang di depan Hyang Yuda sembari mengetukkan jarinya beberapa kali ke meja kerjanya.
Setelah menunggu selama beberapa saat, Hyang Yuda kemudian menerima perintah dari Hyang Amarabhawana. Sebelum mengatakan perintahnya, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Yuda untuk mendekat ke sisinya dan kemudian berkata dengan nada yang lirih di dekat telinga Hyang Yuda, “Untuk sementara. . . tolong rahasiakan ini dari semua Hyang yang ada di Amaraloka. Sebelum aku mendapat kepastiannya, jangan sampai para Hyang di Amaraloka mengetahui hal ini. Apakah Hyang Yuda bisa melakukannya?”
“Baiklah, saya mengerti.”
“Hyang Yuda bisa pergi. Beristirahatlah, Hyang Yuda sudah bekerja dengan keras semalam. . .”
“Terima kasih, Hyang Amarabhawana.”
Setelah mengatakan hal itu, Hyang Yuda berjalan pergi meninggalkan Aula Amaraloka dan kembali ke ruangan pribadi miliknya.
“Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan
Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata
Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda
Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh
Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l
Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad