Hantu Penunggu Vila
Jessica sahabatku mengajak untuk menginap 3 malam di Villa keluarganya di daerah Batu, Jawa . Sebenarnya aku enggan, karena hal ini mengingatkan akan kenangan masa kecil yang masih membuatku trauma hingga sekarang.Saat itu usiaku baru 8 tahun, ketika keluarga Ibu mengajak kami berlibur di Vila yang baru saja dibangun. Vila tersebut memiliki bangunan 4 lantai, dari luar semua tampak normal dan sama sekali tidak menunjukkan kesan seram.Aku yang saat itu masih kecil dan bosan karena harus melihat orang dewasa sibuk bercerita, memutuskan untuk turun ke bawah. Bawah merupakan ruangan basemant yang disulap menjadi kamar, lengkap dengan kamar mandi yang seluruhnya bertembok kaca.Pada saat siang hari semua tampak begitu indah, belum lagi pada zaman itu bangunan yang dipenuhi kaca masih jarang. Namun jangan harap kamu akan merasa nyaman ketika malam tiba.Keganjilan pertama yang kutemui adalah menemukan jejak kaki anak kecil di lantai, tidak seperti di film yang kotor dan penuh lumpur, jejak tersebut hanya seperti kaki seseorang yang berkeringat.Anehnya di Vila saat itu anak kecilnya hanya aku dan Keponakanku yang masih berusia 8 bulan. Sehingga jejak kaki tersebut, bukan milik kami.Deg.
Sekira tiba-tiba seluruh tubuhku berdesir, seperti ada angin yang baru saja melewati tungkuk leherku. Aku yang merasa takut, berlari ke atas untuk mencari orang.“Non kenapa?” Tanya Ibu penjaga Vila.“Anu Bi.” Kataku terpotong bingung menjelaskan bagaimana.
“Lihat anak kecil?”
“Nggak Bi Anu tadi….”
“Ella, mau makan nggak?” Potong Mama memanggilku untuk ke ruang makan.
“Iya Ma sebentar.”
“Itu Non dipanggil Mamanya, Bibi pamit dulu ya.”
Kejadian kemarin seperti angin lalu untukku yang masih kecil, namun bagi ‘mereka’ tidak. Hari ini Mama dan saudaranya pergi ke Pasar untuk berbelanja bahan makanan, Sepupuku yang lain pergi berenang, sehingga di rumah hanya ada aku, Bibi penjaga Vila, Keponkanku yang berusia 8 bulan bersama Baby Sitternya.Bibi penjaga Vila sepertinya sedang berada di kamarnya, sedangkan Keponakanku dan Baby Sitternya berada di lantai 1. Aku pun sendirian di lantai 2 ditemani dengan acara TV di hari Minggu.Usai bosan menonton, aku memutuskan mematikan TV dan membaca buku komik yang kubawa dari rumah. Deg.Jantungku seolah berhenti berdetak ketika melihat pantulan dari layar TV yang mati ada seorang anak kecil berdiri di bawah tangga. Perawakannya seperti manusia pada umumnya, hanya anehnya dia tidak memakai pakaian.Aku memberanikan diri melihat ke belakang, namun anak tersebut sudah tidak ada. Aku kembali melihat ke layar TV dan dia masih tetap berdiri di tempat yang sama.Bagaimana ini, untuk pergi ke tempat Baby Sitter dan Keponakanku aku harus melewati tangga, tapi kakiku sama sekali tidak bisa melangkah karena terlalu takut.Hhh. Aku memutuskan untuk menyalakan TV agar tidak melihat lagi pantulan anak tersebut. Namun entah berapa kali menekan tombol ON, TV tetap tidak mau menyala dan anak tersebut masih terlihat di layar.
“Ella kamu di mana?”“Ma.” Jawabku pelan karena takut dia mengetahui keberadaanku.
“Ellaaa.”
Aku menutup mata. “Maaaaaaaaaaa sini.”
“Kenapa?” Tanya mamaku berlari ke arahku.
“Tadi. Tadi. Tadi ada.”
“Ada apa?” Tanya Mama memotongku.
Aku terdiam. Bayangan anak tersebut sudah hilang dari layar TV, seolah hanya ingin menunjukkan dirinya padaku seorang. “Nggak apa-apa Ma.”
Malamnya aku sudah lupa dengan kejadian tadi, mungkin karena terlalu asik menikmati acara BBQ Party. Namun ketenangan ini tidak berlangsung lama, kami yang mengadakan acara di Roof Top tiba-tiba dikagetkan dengan teriakan Sepupuku yang saat itu asyik telepon dengan pacarnya.“Kaira kenapa?” Tanya Tante Rini turun menghampiri anaknya.
Kaira terdiam, kemudian sambil menangis mulai menceritakan kejadian yang dialami.
//Saat itu dia memang sengaja pergi ke lantai paling bawah, agar bisa telepon tanpa mendengar kebisingan. Maklum tidak hanya mengadakan BBQ Party, kami juga bermain kembang api.Semua biasa-biasa saja, sampai sesaat dia mendengar suara langkah kaki mendekat.“Bentar ya Don, ada yang datang.”“Siapa?” Tanya Doni penasaran.
“Aneh.”
“Kenapa?”
“Nggak ada orang.”
“Kamu salah dengar mungkin.”
Saat itu Kaira masih tidak berpikir aneh-aneh dan mengira bahwa mungkin dia salah mendengar. Namun tidak lama berselang itu kejadian aneh kembali terjadi.
“Ada siapa Kai di sana?”“Nggak ada siapa-siapa, kenapa?” Tanya Kaira bingung, karena sama sekali tidak ada yang turun ke bawah.
“Anu.” Jawab Doni ragu.“Anu kenapa Don?”
“Kamu yakin? Soalnya aku dengar ada orang lagi ngobrol.”
Kaira terdiam. Saat ini dia hanya seorang diri, bahkan suara kami di atas tidak terdengar olehnya, bagaimana Doni yang saat itu sedang telepon dengannya mendengar suara?
“Tak. Tak. Tak.” Suara kaca diketuk, membuat Kaira tanpa sadar melihat sumber bunyi tersebut, namun betapa terkejutnya dia ketika melihat sesosok wanita dengan wajah berdarah-darah sedang menatapnya.\\
“Kaira takut Ma, Kaira mau pulang!”“Besok kita pulang ya Nak.”
“Sekarang Ma.” Rengeknya masih menangis ketakutan.
“Papa kamu sudah tidur, tadi kebanyakan minum sama Om Hasan.”
“Kita tidur ramai-ramai di ruang tamu saja ya.” Bujuk Tante Rini.
Setelah kejadian yang dialami Kaira, aku memutuskan untuk cerita ke Mama apa yang kualami selama di sini. Namun tidak disangka ternyata tidak hanya Aku, Kaira, tetapi Mama dan Tante Rini juga mengalami beberapa kejadian ganjil.Sebenarnya kejadian ganjil yang dialami Mama dan Tante Rini tidak berupa penampakan, hanya hal-hal kecil seperti keran air yang tiba-tiba menyala, suara tertawa anak kecil, dan langkah kaki. Namun tetap saja hal tersebut tidak membuat nyaman, terutama mereka sudah berani menampakan dirinya kepadaku dan Kaira. Sehingga sepulangnya kami, Papa menghubungi pemilik Vila untuk melakukan pembersihan.Sayangnya pemilik Vila sudah lepas tangan dengan kejadian yang dialami oleh para penyewa. Sebab mereka sudah berulang kali mendatangkan orang pintar, namun para penunggu tetap tidak ingin pergi karena merasa sudah lebih dulu di sana.Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is