Seorang pemuda terpaksa kembali ke rumah tua peninggalan kakeknya di sebuah desa terpencil. Rumah itu menyimpan rahasia kelam: dahulu menjadi tempat ritual pesugihan yang dijalankan keluarganya. Sejak ia tinggal di sana, kejadian ganjil mulai muncul—suara tangisan tengah malam, bayangan hitam di lorong, hingga mimpi yang seolah nyata. Perlahan ia menemukan bahwa kekayaan keluarga mereka berasal dari perjanjian berdarah dengan makhluk gaib, dan kini giliran dirinya yang dituntut untuk melanjutkan perjanjian tersebut… atau mati dengan cara mengerikan.
View More“Setiap kekayaan menuntut tumbal.”
Kereta terakhir menurunkanku di stasiun kecil yang nyaris dikubur kabut. Dari sana aku menyewa ojek, menempuh jalan kampung yang berkelok—aspal retak, pepohonan jati menjulur seperti jari yang hendak mencakar langit. Pengendara hanya menoleh sekali ketika aku menyebutkan tujuan: rumah tua di ujung dusun Sabrang. Setelah itu, ia diam. Orang-orang di sini, rupanya, lebih memilih membiarkan banyak hal tak diucap.
Rumah itu berdiri di atas tanah yang lebih tinggi dari halaman sekitar, seperti mengawasi halaman dan jalan dari tatapan yang tak ramah. Dua menara kecil di kiri-kanannya, jendela-jendela besar bermata kaca kusam, dan atap yang melengkung seperti punggung binatang terluka. Waktu kecil, aku pernah datang ke mari sekali—menggenggam tangan ibu dengan kencang, sementara kakek menatapku lama-lama tanpa senyum. Kenangan itu menggeliat ketika aku memijakkan kaki lagi di depan gerbang besinya malam ini.
“Mas Raka?” suara seorang perempuan memecah dingin. Dari balik pohon sawo, seorang ibu berkerudung lusuh melangkah ragu. “Saya Murni. Orang-orang sini… banyak yang bilang jangan datang malam-malam. Rumah itu suka… menelan suara.”
“Menelan suara?”
“Kadang orang berteriak, tapi kita cuma dengar seperti angin lewat.” Ia meremas ujung selendangnya. “Turunannya Pak Surya, ya?”
Pak Surya—kakekku. Aku mengangguk. “Saya hanya datang untuk beres-beres. Beberapa hari saja.”
Bu Murni menunduk, seolah ada sesuatu yang lebih berat dari udara di sekeliling kami. “Kalau begitu, ini.” Ia menyodorkan kaleng biskuit tua yang penyok di sisi. “Dititipkan sama Pak RT. Katanya, ini kunci. Dulu disimpan Mbah Sumi, penjaga rumah. Tapi Mbah Sumi meninggal… mendadak. Kami takut ke sini.” Ia menelan ludah. “Kalau ada apa-apa, panggil saja. Walau… mungkin kami tak dengar.”
Aku berterima kasih dan menunggu sampai langkahnya menjauh. Ketika aku mendorong gerbang, engsel berdecit panjang, suaranya menggulung, pecah, lalu seketika lenyap—benar-benar lenyap—seakan dihisap oleh halaman yang gelap. Tak ada gaung yang kembali. Seperti berteriak ke dalam kain tebal.
Di teras, lampu neon menggantung mati. Aku menyalakan ponsel dan menyenter gagang pintu. Kaleng biskuit itu berat, di dalamnya bergemerincing. Bukan kunci biasa: ada lima, bentuknya tua dan panjang, gigi-giginya bergerigi aneh, seolah dibuat untuk lubang yang tak lazim. Ada pula seutas benang merah diikatkan pada salah satunya. Entah kenapa, yang bersimpul benang itu terasa paling dingin di kulit.
Pintu utama terkunci rapat. Kunci-kunci itu tak cocok. Aku memutar satu per satu, tapi lubang kuncinya keras kepala. Aku memutar yang terakhir—yang bertanda benang merah—dan mendadak ada klik lirih, seperti napas dilepaskan. Pintu bergerak sendiri beberapa milimeter, menyisakan celah gelap yang berbau anyir besi.
Aroma itu—aku kenal. Seperti darah lama yang mengering di pagar kawat. Menempel di hidung, di lidah, di ingatan. Aku menelan rasa mual, lalu mendorong daun pintu sekeras yang kubisa. Engselnya seolah telah menunggu perintah itu: menguap panjang, menyayat, dan kemudian berhenti, menyisakan ruang tamu besar yang terperangkap dalam waktu.
Perabot ukir berdebu, karpet Persia yang warnanya memudar, sebuah jam dinding bundar berhenti di angka 02.17. Di dinding menghadap tangga tergantung sebuah potret besar. Kakek duduk di kursi, tubuhnya tegak, jari-jari menumpu pada kepala tongkat. Matanya, dikerjakan dengan detail oleh seniman masa lalu, punya kilau yang menyebalkan: seperti benar-benar mengikuti gerak siapa pun yang masuk.
“Aku kembali,” kataku samar, entah pada siapa.
Udara di dalam rumah lebih dingin dari malam di luar. Ponselku berkedip-kedip, sinarnya melemah. Aku mengaktifkan senter manual kecil yang kubawa, lalu menyusuri ruang tamu ke meja kerja kayu jati yang menghadap jendela. Ada surat-surat lama bertumpuk di sana, diikat tali rafia yang hampir putus. Di atasnya, sebuah amplop cokelat paling baru, dengan namaku ditulis tangan: Untuk Raka.
Jantungku berdebar perlahan. Tanganku ragu membuka, seperti takut pada kata-kata yang mungkin menjelma mulut. Kertas di dalam menghitam di tepi, namun isi tulisannya masih jelas:
Raka,
Jika surat ini kau baca, berarti rumah itu telah memilihmu sebagai pewaris. Dengarkan ketentuan lamanya: jangan pernah menyalakan lampu di ruang bawah, jangan mencermin setelah tengah malam, dan jangan menjawab jika ada yang memanggil namamu dari lorong timur.
Kunci yang bertanda benang merah gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.
Kau mungkin akan mendengar langkah-langkah di atas plafon. Biarkan. Itu bukan untukmu.
—S.
S: Surya. Tulisan kakek, mirip kuku yang menggores kulit buah mangga terlalu keras. “Rumah itu telah memilihmu,” kalimat itu bergetar di kepalaku, lebih menyerupai mantra daripada peringatan. Aku menoleh ke potret. Sejenak, aku bersumpah: cahaya matanya berkedip.
Aku meletakkan surat itu kembali. “Ini konyol,” gumamku, setengah untuk menenangkan diri. Tetapi dalam tubuhku, ada sesuatu yang berjalan pelan: sebuah ingatan yang lupa, sebuah bau dari masa kecil, sebuah lagu nina bobo yang menyelip di telinga tanpa suara.
Tangga kayu di depan berderit pelan. Bukan karena angin—angin malam tak masuk ke sini—melainkan karena berat sesuatu yang melangkah. Langkah kecil, tergesa, berhenti, lalu mundur. Aku menyapu senter ke anak tangga satu per satu. Debu menari di udara seperti salju gosong. Tak ada siapa pun.
Di bawah tangga, pintu kecil tampak samar dalam bayangan—hampir tertutup karpet, seolah ingin dilupakan. Kunci dengan benang merah terasa semakin dingin di kantongku, seperti es batu yang tak mencair. Aku mundur selangkah. Surat kakek berulang di kepala: gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.
“Tidak malam ini,” kataku pada pintu yang diam.
Aku memilih memeriksa dapur terlebih dahulu. Kompor minyak tua, baskom seng, lemari kaca dengan cangkir-cangkir bunga biru yang kehilangan pasangannya. Di ambang jendela, seekor kupu-kupu malam menempel, sayapnya bergerigi seolah pernah disambar api. Dari luar, terdengar suara kodok dari arah kebun belakang. Suara itu datang, lalu… seperti dipelintir, diredam, menghilang sebelum mencapai telingaku sepenuhnya. Menelan suara. Bu Murni benar.
Aku mengambil napas panjang dan membuka keran. Air mengalir. Jernih pada awalnya, lalu memucat, lalu meninggalkan jejak kecoklatan di bak cuci. Aku menutupnya buru-buru. Di ubin dekat kakiku, ada sesuatu yang tak kupahami: tiga koin kuningan berjejer rapi, menempel seperti dilem. Masing-masing dicoret angka: 3, 0, 1. Bila disusun, 301. Atau… 10.3? Atau tanggal? Aku tidak tahu. Koin-koin itu dingin seperti kunci.
Tiba-tiba, jam di ruang tamu berdetak sekali. Hanya sekali. Bunyi “tek” yang tak punya kenalan “tok”. Aku merasakan tengkukku meremang. Jam yang berhenti di 02.17 tak seharusnya berbunyi. Aku menoleh ke arahnya dan, di saat yang sama, lampu luar rumah menyala sendiri—lampu yang tadi pasti mati. Cahaya menembus kaca jendela, memecah ruangan menjadi sayatan-sayatan tipis.
Di kaca itu, pantulan wajahku tampak pucat. Dan di belakang pantulan itu—di belakangku—ada sesuatu yang berdiri di kaki tangga. Aku tak berani menoleh. Aku hanya bisa memandang pantulan: sosok kecil, setinggi anak usia delapan, rambutnya basah menetes, baju putihnya menempel pada kulit. Wajahnya kabur, seolah paku-paku kecil menahan kulitnya agar tak jatuh. Ia mengangkat tangan, menunjuk lurus pada pintu bawah tangga.
“Jangan,” suaraku patah. “Aku belum—”
Sosok itu mencondongkan kepala. Air menetes lebih deras. Di kaca, aku melihat bibirnya bergerak. Tak ada suara keluar—rumah ini menelan suara—tapi aku membaca gerak bibirnya dengan jelas, terlalu jelas:
“Bayar.”
Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.“Rakha… jangan lari… giliranmu…”Aku menutup telinga, tapi bisikan i
Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan it
Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.
Kabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-ol
Malam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.Tidak ada jawaban.Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya,
Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments