Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan

Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan

last updateLast Updated : 2025-09-11
By:  M. Haz BeyUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
5views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Seorang pemuda terpaksa kembali ke rumah tua peninggalan kakeknya di sebuah desa terpencil. Rumah itu menyimpan rahasia kelam: dahulu menjadi tempat ritual pesugihan yang dijalankan keluarganya. Sejak ia tinggal di sana, kejadian ganjil mulai muncul—suara tangisan tengah malam, bayangan hitam di lorong, hingga mimpi yang seolah nyata. Perlahan ia menemukan bahwa kekayaan keluarga mereka berasal dari perjanjian berdarah dengan makhluk gaib, dan kini giliran dirinya yang dituntut untuk melanjutkan perjanjian tersebut… atau mati dengan cara mengerikan.

View More

Chapter 1

Kunci di Bawah Genteng

“Setiap kekayaan menuntut tumbal.”

Kereta terakhir menurunkanku di stasiun kecil yang nyaris dikubur kabut. Dari sana aku menyewa ojek, menempuh jalan kampung yang berkelok—aspal retak, pepohonan jati menjulur seperti jari yang hendak mencakar langit. Pengendara hanya menoleh sekali ketika aku menyebutkan tujuan: rumah tua di ujung dusun Sabrang. Setelah itu, ia diam. Orang-orang di sini, rupanya, lebih memilih membiarkan banyak hal tak diucap.

Rumah itu berdiri di atas tanah yang lebih tinggi dari halaman sekitar, seperti mengawasi halaman dan jalan dari tatapan yang tak ramah. Dua menara kecil di kiri-kanannya, jendela-jendela besar bermata kaca kusam, dan atap yang melengkung seperti punggung binatang terluka. Waktu kecil, aku pernah datang ke mari sekali—menggenggam tangan ibu dengan kencang, sementara kakek menatapku lama-lama tanpa senyum. Kenangan itu menggeliat ketika aku memijakkan kaki lagi di depan gerbang besinya malam ini.

“Mas Raka?” suara seorang perempuan memecah dingin. Dari balik pohon sawo, seorang ibu berkerudung lusuh melangkah ragu. “Saya Murni. Orang-orang sini… banyak yang bilang jangan datang malam-malam. Rumah itu suka… menelan suara.”

“Menelan suara?”

“Kadang orang berteriak, tapi kita cuma dengar seperti angin lewat.” Ia meremas ujung selendangnya. “Turunannya Pak Surya, ya?”

Pak Surya—kakekku. Aku mengangguk. “Saya hanya datang untuk beres-beres. Beberapa hari saja.”

Bu Murni menunduk, seolah ada sesuatu yang lebih berat dari udara di sekeliling kami. “Kalau begitu, ini.” Ia menyodorkan kaleng biskuit tua yang penyok di sisi. “Dititipkan sama Pak RT. Katanya, ini kunci. Dulu disimpan Mbah Sumi, penjaga rumah. Tapi Mbah Sumi meninggal… mendadak. Kami takut ke sini.” Ia menelan ludah. “Kalau ada apa-apa, panggil saja. Walau… mungkin kami tak dengar.”

Aku berterima kasih dan menunggu sampai langkahnya menjauh. Ketika aku mendorong gerbang, engsel berdecit panjang, suaranya menggulung, pecah, lalu seketika lenyap—benar-benar lenyap—seakan dihisap oleh halaman yang gelap. Tak ada gaung yang kembali. Seperti berteriak ke dalam kain tebal.

Di teras, lampu neon menggantung mati. Aku menyalakan ponsel dan menyenter gagang pintu. Kaleng biskuit itu berat, di dalamnya bergemerincing. Bukan kunci biasa: ada lima, bentuknya tua dan panjang, gigi-giginya bergerigi aneh, seolah dibuat untuk lubang yang tak lazim. Ada pula seutas benang merah diikatkan pada salah satunya. Entah kenapa, yang bersimpul benang itu terasa paling dingin di kulit.

Pintu utama terkunci rapat. Kunci-kunci itu tak cocok. Aku memutar satu per satu, tapi lubang kuncinya keras kepala. Aku memutar yang terakhir—yang bertanda benang merah—dan mendadak ada klik lirih, seperti napas dilepaskan. Pintu bergerak sendiri beberapa milimeter, menyisakan celah gelap yang berbau anyir besi.

Aroma itu—aku kenal. Seperti darah lama yang mengering di pagar kawat. Menempel di hidung, di lidah, di ingatan. Aku menelan rasa mual, lalu mendorong daun pintu sekeras yang kubisa. Engselnya seolah telah menunggu perintah itu: menguap panjang, menyayat, dan kemudian berhenti, menyisakan ruang tamu besar yang terperangkap dalam waktu.

Perabot ukir berdebu, karpet Persia yang warnanya memudar, sebuah jam dinding bundar berhenti di angka 02.17. Di dinding menghadap tangga tergantung sebuah potret besar. Kakek duduk di kursi, tubuhnya tegak, jari-jari menumpu pada kepala tongkat. Matanya, dikerjakan dengan detail oleh seniman masa lalu, punya kilau yang menyebalkan: seperti benar-benar mengikuti gerak siapa pun yang masuk.

“Aku kembali,” kataku samar, entah pada siapa.

Udara di dalam rumah lebih dingin dari malam di luar. Ponselku berkedip-kedip, sinarnya melemah. Aku mengaktifkan senter manual kecil yang kubawa, lalu menyusuri ruang tamu ke meja kerja kayu jati yang menghadap jendela. Ada surat-surat lama bertumpuk di sana, diikat tali rafia yang hampir putus. Di atasnya, sebuah amplop cokelat paling baru, dengan namaku ditulis tangan: Untuk Raka.

Jantungku berdebar perlahan. Tanganku ragu membuka, seperti takut pada kata-kata yang mungkin menjelma mulut. Kertas di dalam menghitam di tepi, namun isi tulisannya masih jelas:

Raka,

Jika surat ini kau baca, berarti rumah itu telah memilihmu sebagai pewaris. Dengarkan ketentuan lamanya: jangan pernah menyalakan lampu di ruang bawah, jangan mencermin setelah tengah malam, dan jangan menjawab jika ada yang memanggil namamu dari lorong timur.

Kunci yang bertanda benang merah gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.

Kau mungkin akan mendengar langkah-langkah di atas plafon. Biarkan. Itu bukan untukmu.

—S.

S: Surya. Tulisan kakek, mirip kuku yang menggores kulit buah mangga terlalu keras. “Rumah itu telah memilihmu,” kalimat itu bergetar di kepalaku, lebih menyerupai mantra daripada peringatan. Aku menoleh ke potret. Sejenak, aku bersumpah: cahaya matanya berkedip.

Aku meletakkan surat itu kembali. “Ini konyol,” gumamku, setengah untuk menenangkan diri. Tetapi dalam tubuhku, ada sesuatu yang berjalan pelan: sebuah ingatan yang lupa, sebuah bau dari masa kecil, sebuah lagu nina bobo yang menyelip di telinga tanpa suara.

Tangga kayu di depan berderit pelan. Bukan karena angin—angin malam tak masuk ke sini—melainkan karena berat sesuatu yang melangkah. Langkah kecil, tergesa, berhenti, lalu mundur. Aku menyapu senter ke anak tangga satu per satu. Debu menari di udara seperti salju gosong. Tak ada siapa pun.

Di bawah tangga, pintu kecil tampak samar dalam bayangan—hampir tertutup karpet, seolah ingin dilupakan. Kunci dengan benang merah terasa semakin dingin di kantongku, seperti es batu yang tak mencair. Aku mundur selangkah. Surat kakek berulang di kepala: gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.

“Tidak malam ini,” kataku pada pintu yang diam.

Aku memilih memeriksa dapur terlebih dahulu. Kompor minyak tua, baskom seng, lemari kaca dengan cangkir-cangkir bunga biru yang kehilangan pasangannya. Di ambang jendela, seekor kupu-kupu malam menempel, sayapnya bergerigi seolah pernah disambar api. Dari luar, terdengar suara kodok dari arah kebun belakang. Suara itu datang, lalu… seperti dipelintir, diredam, menghilang sebelum mencapai telingaku sepenuhnya. Menelan suara. Bu Murni benar.

Aku mengambil napas panjang dan membuka keran. Air mengalir. Jernih pada awalnya, lalu memucat, lalu meninggalkan jejak kecoklatan di bak cuci. Aku menutupnya buru-buru. Di ubin dekat kakiku, ada sesuatu yang tak kupahami: tiga koin kuningan berjejer rapi, menempel seperti dilem. Masing-masing dicoret angka: 3, 0, 1. Bila disusun, 301. Atau… 10.3? Atau tanggal? Aku tidak tahu. Koin-koin itu dingin seperti kunci.

Tiba-tiba, jam di ruang tamu berdetak sekali. Hanya sekali. Bunyi “tek” yang tak punya kenalan “tok”. Aku merasakan tengkukku meremang. Jam yang berhenti di 02.17 tak seharusnya berbunyi. Aku menoleh ke arahnya dan, di saat yang sama, lampu luar rumah menyala sendiri—lampu yang tadi pasti mati. Cahaya menembus kaca jendela, memecah ruangan menjadi sayatan-sayatan tipis.

Di kaca itu, pantulan wajahku tampak pucat. Dan di belakang pantulan itu—di belakangku—ada sesuatu yang berdiri di kaki tangga. Aku tak berani menoleh. Aku hanya bisa memandang pantulan: sosok kecil, setinggi anak usia delapan, rambutnya basah menetes, baju putihnya menempel pada kulit. Wajahnya kabur, seolah paku-paku kecil menahan kulitnya agar tak jatuh. Ia mengangkat tangan, menunjuk lurus pada pintu bawah tangga.

“Jangan,” suaraku patah. “Aku belum—”

Sosok itu mencondongkan kepala. Air menetes lebih deras. Di kaca, aku melihat bibirnya bergerak. Tak ada suara keluar—rumah ini menelan suara—tapi aku membaca gerak bibirnya dengan jelas, terlalu jelas:

“Bayar.”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status