“Arion, apa kau sedang bercanda?” wajah Lean tampak kesal. “Buku ini kosong, tidak ada tulisan apa pun.” Sorot mata Lean menyimpan kekecewaan, namun ia tak menyalahkan Arion.
“Astaga, ayahku pastilah melindungi buku berharga ini, aku masih belum bisa mengelabuinya,” gumam Arion. “Maaf, teman-teman, aku tidak bermaksud-”
“Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Arion, tidak ada yang perlu dimaafkan!” tegas Seema, raut wajahnya sangat serius.
“Seema benar, Arion, kita hanya melakukan semampu kita saja, kau tidak salah.” Eireena pun setuju pada Seema.
“Tapi, sebelumnya bagaimana kau yakin di buku ini tertulis tentang iblis dan penyakit aneh itu?” tanya Hero, “Kau pasti sudah membaca isinya sekilas, kan?” kata Hero memastikan Arion setidaknya mengingat sesuatu.
“Jalan yang kupilih ini mungkin akan menjadi medan pertempuran yang panjang, tapi daripada hidup dengan rasa takut pada iblis itu dan kehilangan lebih banyak teman, aku menerima t
“Apa benar guru Farrabi yang bilang begitu?” Hero dicerca pertanyaan yang sama oleh teman-temannya. “Sulit dipercaya guru punya sisi lain begitu,” komentar Leander, yang ia tahu selama ini sosok Farrabi selalu terlihat diam dan tenang. “Dia guru yang mengagumkan,” kata Eireena dengan senyum di bibir tipisnya. “Kita memang tak bisa tahu sifat seseorang dari penampilan luarnya, kupikir guru Farrabi orang yang dingin,” ujar Arion. Ia memang ditekankan lebih disiplin oleh Farrabi, karena Arion menjadi contoh bagi anak-anak di bawah mereka. Tidak ada Seema di sana, gadis itu sedang melatih anak-anak di area latihan memanah. Saat selesai, ia pasti menyusul secepat kilat. “Tidakkah menurut kalian guru Farrabi sedikit kesepian?” Eireena melirik temannya satu per satu. “Bayangkan saja, dia tak sengaja ke sini, terlebih lagi dia satu-satunya manusia di Kota Gardraff yang tidak terikat dengan peri,” papar Eireena dengan gerakan tangannya. “Hero j
“Hero!” “Hero!” Samar-samar Hero masih mendengar ada banyak orang di sekitar. Tangannya yang mulai dingin digenggam erat oleh Mana, sementara Atalla bergegas memanggil Xalma, putranya harus sembuh, ia sungguh tak ingin kehilangan Hero. Suasana di lokasi festival berubah mencekam, Argana sigap menenangkan penduduk dan meminta mereka pulang ke rumah masing-masing. Keadaan yang sempat kacau perlahan menjadi sunyi, sepi, dan benar-benar tak ada lagi suara yang dapat didengar Hero. Ia pingsan nyaris kehabisan darah. Tombak yang melukai Hero hilang dengan sendirinya, jelas senjata itu tidak berasal dari Kota Gardraff. Hero dibawa ke pusat kesehatan kota untuk dirawat langsung oleh Xalma. Sahabat-sahabatnya, Seema, Leander, Arion, dan Eireena tak beranjak sedikit pun dari ruangan Hero dirawat. Mereka gelisah dan takut terjadi sesuatu yang buruk pada Hero. Bahkan Genio saja berkali-kali menanyakan keadaan Hero. “Maafkan, aku. Ini adalah-”
Leander menyelinap diam-diam mengikuti beberapa orang menuju aula di pusat kota. Ia sudah meminta Lyonell pulang sebab dengan ukuran sebesar itu, justru akan membuatnya mudah terlihat oleh orang lain. “Lean, ayo ke arah sini!” ajak Seema yang tiba-tiba muncul di belakang Lean. Mereka berdua mengendap-endap dan memperhatikan derap langkah agar tak diketahui. Farrabi dan Hector di dalam aula terlihat meminta pasukan bubar dan menekankan untuk terus meningkatkan penjagaan kota. Mereka kemudian memasuki sebuah ruangan, Atalla, Dryas, dan Argana sudah menunggu di sana. “Seema, kita tidak bisa terus di sini, ada jalan lain di belakang, ayo ikuti aku!” Leander dan Seema yang semula bersembunyi di balik pilar-pilar besar dalam aula pun bergegas pergi. “Mereka ada di ruangan ini, tapi ventilasi itu terlalu tinggi.” Lean kemudian mengedarkan pandangan dan melihat beberapa pohon tak jauh dari mereka. “Buat tangga, kita harus naik,” pinta Seema sambil men
“Apa benar dia ibuku?” Hero bertanya-tanya, tiga hari berlalu sejak festival berdarah yang membuat setiap orang siaga hingga saat ini. Hero berjalan menuju istana dari latihan malamnya, otot-otot di tubuhnya sekarang lebih terbentuk. Kecepatan dan ketangkasannya juga membaik, namun ia masih saja belum dapat mengalahkan Arion saat latihan di siang hari. “Walau dalam mimpi, semoga nanti aku bisa bertemu dengannya lagi,” lirihnya pelan dan tersenyum. Dulu Hero memang tak penasaran tentang orangtuanya, ia tak pernah mencari tahu, karena menurut Hero jika ia berada di panti asuhan itu berarti orangtuanya tak membutuhkan Hero. Namun sekarang berbeda, ia sangat ingin tahu, “Mungkin saja terlempar ke kota ini menjadi jalanku untuk menemukan kedua orangtua kandungku,” kata Hero penuh harapan. Ia sudah sangat bersyukur diangkat menjadi anak oleh Atalla dan Mana, tetapi Hero penasaran apa alasan orangtuanya menitipkan Hero di panti asuhan. “Aduh!”
Rapat para orang dewasa kembali diadakan di aula. Namun, kali ini Arion tidak menyelinap menggunakan kemampuannya sebab ia pergi sendirian ke tempat Hero dan Nino terkena ledakan. Oh, ternyata ia tak benar-benar sendiri. Leander juga di sana sedang mengendus-endus tanah menyelidiki aroma tertentu yang ia takutkan mengandung racun berbahaya. “Kau sedang melakukan apa, Leander?” tanya Arion. “Hei, apa kau tak melihatku?” ia balik bertanya dengan posisi tubuh yang merangkak. “Penyakit aneh yang menyebabkan tubuh menghitam itu adalah racun, bentuknya seperti serbuk pasir kehitaman yang tidak berbau, jika mengenai kulit sedikit saja bisa dipastikan kita akan tumbang, penyebarannya cepat sekali,” terang Leander. “Dari mana kau tahu?” Arion penasaran, seingatnya mereka belum membicarakan penyebab penyakit itu. Jika memang benar begitu maka dapat Arion bayangkan bahwa di masa lalu serbuk racun itu pastilah disebar di medan pertempuran dan membuat pasukan bang
“Penduduk Kota Gardraff,” ucap Atalla sembari membuka gulungan pengumuman. Matanya melihat penduduk kota dari barisan sebelah kanan hingga di sebelah kirinya. “Saat ini, kota dalam keadaan siaga ... serangan dari luar diperkirakan akan datang lagi.” Atalla mengembuskan napas dan melihat kekhawatiran di wajah penduduk.Terdengar suara beberapa orang yang berkomentar, “Kita dalam bahaya lagi,” kata mereka dan disambut anggukan dari yang lainnya.“Aku khawatir terjadi ledakan perang seperti 16 tahun lalu,” ujar mereka yang saling bercakap-cakap.“Semuanya mohon tenang!” seru Dryas menengahi keributan di tengah pengumuman yang disampaikan Atalla. Tak butuh waktu lama, suasana kembali hening dan Dryas memberi kode dengan tangannya bahwa Atalla dapat lanjut membacakan pengumuman.“Mulai saat ini, pasukan keamanan akan bergantian patroli di sekitar rumah penduduk, di setiap toko dan bangunan, sert
Beberapa orang mendapat keistimewaan berupa kekuatan yang diwarisi dari keluarga mereka. Namun, ada pula seseorang yang harus berjuang sekuat tenaga untuk menjadi lebih kuat. Telapak tangan Hero terasa kasar karena terus latihan berpedang, urat-urat lengannya bahkan terlihat lebih menonjol. Hero bukan lagi remaja kurus kering yang berjalan sambil menahan rasa lapar. Ia memang tidak memiliki kemampuan khusus, tetapi tekadnya semakin menguat dari hari ke hari. Hero ingin melindungi penduduk kota dan membuat mereka semua dapat melihat langit biru. “Mulai saat ini, kalian akan tinggal di sana.” Telunjuk Hector mengarah jauh ke hutan yang berjarak tiga kilometer dari gerbang kota. Setelah menyatakan kesiapan untuk tidak akan mundur, sembilan remaja yang dikomando oleh Hector langsung menuju lokasi latihan. Mereka menunggangi kuda melewati gerbang kota bersama dengan barang bawaan masing-masing. “Sesekali aku akan tetap datang ke sini.” Hero menepuk
Langit di Kota Gardraff masih tampak sendu, suasana malam hari di dalam hutan tak berbeda jauh dengan keadaan di kota, bola api berwarna ungu pucat menyala di bagian depan bangunan tempat tinggal sembilan pedang suci.Mereka baru saja menyelesaikan makan malam dan duduk di ruang tengah lantai pertama. Tak ada orang dewasa, di luar hanya ada beberapa orang dari pasukan keamanan yang sedang berjaga.“Sejujurnya, aku tidak pernah melihat Dann, Teon, dan Luka saat latihan bersama guru Farrabi,” kata Hero memecah keheningan di antara mereka.“Kalau di kelas berpedang, aku berada di tingkat menengah dan memang lebih banyak menghabiskan waktu di kelas ramuan obat,” ujar Teon sambil mengingat-ingat bahwa ia pernah melihat Hero sekali di dekat pusat kesehatan.“Aku lebih aktif di kelas berkuda, dan lebih menyukai tombak daripada pedang,” sahut Dann seraya berdiri lalu memeriksa keadaan di luar, dari pintu ia melihat Flash yang s