Ketika dua insan kreatif bersaing dalam satu proyek besar, siapa sangka tubuh mereka justru tertukar? Radha, seorang penulis dengan dunia imajinasinya yang luas, harus berhadapan dengan Krisna—ilustrator jenius yang dingin, perfeksionis, dan terlalu banyak aturan. Mereka tidak pernah cocok. Tapi takdir berkata lain. Suatu malam, setelah pertengkaran hebat, keduanya terbangun di tubuh yang salah: Radha menjadi Krisna, dan Krisna menjadi Radha. Hidup yang sebelumnya terasa menyebalkan kini berubah jadi penuh rahasia dan dilema. Di tengah kekacauan itu, mereka mulai saling melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan. Tentang luka yang disembunyikan. Tentang impian yang terkubur. Dan tentang satu kutukan yang terikat pada kisah lama yang belum selesai ditulis. Bisakah Radha dan Krisna kembali ke tubuh mereka? Atau... justru mereka menemukan sesuatu yang jauh lebih penting dalam pertukaran itu?
view more“Radha!” Seorang perempuan berdress merah selutut, melambaikan tangan dari kejauhan. Panggilan itu terdengar semangat dengan tangan yang melambai antusias.
Radha, wanita berambut panjang yang diikat rapi, kemeja putih yang dipadukan dengan celana jeans membungkus tubuhnya yang ramping, berlari kecil menghampiri perempuan yang tak lain adalah temannya. Radha melirik wanita itu, tampak terlihat berseri-seri dan segar. “Hai, Ros!” balasnya sembari tersenyum. Keduanya pun saling menghampiri, hingga bertemu di satu titik. “Gimana? Sudah siap?” Mata Ros menatap Radha yakin. Radha mengangguk, dia mengepal tangannya dan diangkat sedikit tinggi. “Sudah pasti, siap!” serunya antusias. Ros tertawa, sahabat kecilnya itu selalu terlihat bersemangat, namun wajah Ros seketika langsung berubah ketika teringat suatu hal. “Tapi—” Ucapannya terhenti, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Dahi Radha mengkerut, dia sangat tahu sifat sahabatnya, pasti ada sesuatu yang tidak beres. “Tapi apa, Ros?” tanyanya tak sabaran. “Peraturannya sedikit berubah, Ra. Kita harus melawan para ilustrator,” ujarnya ragu. “Apa?” Dahinya kembali mengkerut, dia terdiam sejenak mencerna apa yang disampaikan sang sahabat. “Kita diminta untuk menandingi para ilustrator komik yang jelas-jelas sangat berbeda motivasi dengan kita,” tambahnya lagi. “Peraturan konyol macam apa itu? Ini lomba adaptasi cerita ke film, bukan ke komik!” Radha menarik napas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya lagi. “Sepertinya panitia lomba ini habis makan kecubung!” Radha berjalan meninggalkan Ros yang masih terpaku di tempat awal. Wanita berambut sebahu tersebut terlihat sangat tidak terima. “Ra, tunggu!” teriak Ros dari kejauhan, menyusul Radha yang berjalan lebih dulu darinya. *** Setelah beberapa menit berjalan. Akhirnya, Radha dan Ros sampai di sebuah gedung yang dikhususkan untuk memamerkan karya lukisan sang ilustrator. Mereka pun masuk ke delam gedung bernuansa emas tersebut. Sesampainya di dalam, Radha dan Ros langsung disambut berbagai macam karya bernilai tinggi. Mulai dari lukisan sejarah, alam, hingga yang abstrak. Setelah beberapa saat berkeliling, mereka berdua berhenti pada satu lukisan yang terlihat berbeda dari yang lain. Bibir Ros menebarkan senyum yang begitu merekah. Tapi, tidak dengan Radha. Dia memandang lukisan tersebut dengan tatapan benci. Menurutnya, tak ada yang lebih indah dari rangkaian kata dalam sastra dibanding dengan lukisan abstrak yang orang-orang tidak akan paham. Tangan lebar Radha menutup mata Ros yang sedari tadi tak berhenti memandangi lukisan tersebut. “Apa yang indah dari lukisan ini, ha? Ngga usah mandang seperti itu!” “Seindah ini, kok,” rungut Ros. Dia sungguh tidak habis pikir dengan temannya yang sangat puitis itu. “Pokoknya jelek, ya, jelek!” Sementara mereka berdua berdebat. Tiba-tiba, derap langkah kaki terdengar berat dari belakang. Pameran sekaligus lomba yang dikunjungi banyak orang, namun minim suara itu, membuat suara langkah kaki tersebut terdengar sedikit keras. “Mulut siapa yang berani bilang lukisanku jelek?” Suara berat terdengar beriringan dengan langkah kaki. Radha dan Ros sontak menoleh, ternyata yang berbicara adalah pria tampan bermata elang, beralis tebal dan hidungnya pun mancung. Menatap mereka tajam penuh tuntutan. Manik Ros berbinar, dia langsung terbuai dengan ketampanan pria tersebut. “Hai, Mas ganteng!” serunya. Radha mencibir, dia membuang wajah seakan tak ingin melihat pria tersebut. Ros memang tak tahu tempat, kalau begini, Radha yang menanggung malu. “Maaf! Saya tidak maksud begitu,” ujar Radha. Dia sedikit membungkuk agar pria tersebut mau memaafkannya. Pria yang memakai pin nama bertuliskan Krisna itu pun mengangguk. Dia tidak terlalu mengambil pusing dengan kritikan orang-orang terhadap karyanya. “Baiklah, aku maafkan! Lain kali, mulutnya dijaga, ya. Tidak semua orang mau memaafkan sepertiku.” Radha gelagapan, dia mengaku salah. Memang tidak seharusnya dia berkata demikian terhadap karya orang lain. “Sekali lagi terima kasih, kami pergi dulu.” Radha menarik tangan Ros. Dia ingin cepat pergi dari sana sekarang juga. Tapi, sepertinya takdir berkata lain. Tubuh kecil Radha tak sengaja menyenggol tangan Krisna yang sedang memegang beberapa kaleng cat minyak yang tidak tertutup rapat. Membuat cat itu tumpah ke baju putih milik Radha. “Aish! Sial! Apa ini?” teriaknya. Sontak Ros pun terkaget, dia segera membantu Radha membersihkan tumpahan warna itu menggunakan telapak tangannya. “Astaga, Ra! Cat-nya ngga mau hilang!” Krisna pun sama terkejutnya, semua cat minyak milik pria itu tumpah. “Aduh! Bagaimana, sih! Ini cat terakhir yang aku punya!” Radha menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya, namun tidak bisa. “Eh, kamu! Bajuku kena tumpahan cat minyak milik kamu. Seharusnya aku yang marah!” Manik Krisna terbuka lebar. “Kenapa jadi kamu yang nyolot? Seharusnya, ‘kan aku!” Radha menggeram, perlombaannya sebentar lagi dan baju putih satu-satunya yang dia miliki malah berakhir tragis. Dia menggigit bibir, kepalanya berisik mencari cara bagaimana agar tetap bisa ikut lomba tanpa harus pulang dulu untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian ide pun muncul dari benak perempuan itu. “Cepat lepas bajumu!” seru Radha tiba-tiba. Mendengar ucapan Radha, sontak Ros menutup wajahnya karena malu. Dia tidak menyangka temannya itu akan bertindak demikian. “Jangan, dong, Ra! Pergi aja dari sini, yuk!” “Apa-apaan kamu? Baru ketemu sudah nyuruh buka baju. Dasar mesum!” Ros mengutuk diri sendiri. Bukan dia pelakunya, tapi malunya numpang duduk di wajah. Tangan kurus wanita itu menarik Radha yang masih berdiri tegap dengan tangan menengadah di depan Krisna. “Sudah, Ra … malu!” Radha menepis tangan Ros. “Apa, sih, Ros. Kenapa harus malu? Aku hanya minta pria ini tanggung jawab!” Suara Radha sedikit keras, membuat semua orang sekitar menoleh padanya. Krisna memutar mata malas. Dia tidak merasa berbuat apapun dengan wanita ini. Tapi, tiba-tiba dimintai tanggung jawab. Dia melepas jaketnya dan memberikan pada Radha. “Ini, tapi ingat! Kembalikan jaketku!” Radha tersenyum senang. Usahanya tidak sia-sia. Radha tahu betul kalau dia yang salah. Tapi, gengsinya terlalu mahal untuk sekedar minta maaf. Setelah meninggalkan tempat itu, Ros pun langsung mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi ingin meledak. “Ra! Aku malu banget, loh!” Bibir wanita itu mengerucut, dia menghentikan langkahnya di belakang Radha yang lebih dulu berjalan di depannya. Radha berhenti, dia menoleh dan menghela napas panjang, seolah dialah orang yang paling teraniaya. “Maaf, ya, Ros. Aku terpaksa.” Wanita itu menyeringai polos. Tapi tiba-tiba, Ros berteriak, “Ra, awas!”Denting suara piring yang beradu dengan sendok dan garpu, mengisi keheningan meja makan dengan hidangan yang cukup sederhana. Tak ada yang berbicara, hingga akhirnya Ros memutuskan untuk buka suara. “Ra, udah, dong. Jangan sedih gitu. Semua pasti ada jalannya, kok.” Suapan terakhir berhasil masuk ke dalam mulut Ros. Dia menaruh sendoknya dan meminggirkan piring agak ke tepi. Perempuan yang sudah lama bersahabat dengan Radha itu, menatap wanita di depannya intens. Radha tidak menyentuh makanannya sama sekali. “Ngga ada gunanya juga kamu sedih kayak gini. Toh, semuanya udah terjadi, ‘kan?” Radha yang sedari tadi hanya mengaduk-ngaduk makanannya, menghentikan kegiatannya. Dia menoleh pada Ros, tatapan perempuan itu terlihat sendu dan wajahnya pun tampak sangat lesu. “Ros, apa benar aku dikutuk atau semua ini cuman mimpi aja, ngga mungkin banget hal kayak gini terjadi, ‘kan?” tanya Radha yang masih ragu dan tak percaya. Ros menggeleng cepat
Krisna berdiri diam di depan cermin setelah beberapa jam berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Dia berulang kali menepuk pipinya agar tersadar dari mimpi buruk ini. “Ayo sadar Krisna … ngapain kamu bayangin wajah wanita keras kepala itu, sih?” Krisna tak hentinya menepuk pipi mulus dan mungil itu berulang kali. Pria tinggi yang sangat tertarik dengan dunia artistik pun memutuskan mencubit pipi gembul nan lembut tersebut lumayan keras. “Aduh!” Krisna meringis, rasa panas menjalar di pipi sebelah kanannya. Rasa sakitnya terasa sangat nyata. Jadi, dapat disimpulkan ini bukanlah mimpi. Dia terlalu fokus pada perubahan wajahnya yang begitu drastis. Sehingga, pemuda tampan kekar tersebut tidak menyadari bahwa postur tubuhnya juga sudah mengalami perubahan yang sangat tidak masuk akal. Krisna menunduk, matanya tertuju pada dada yang terlihat bertambah volume, hingga persis seperti dada perempuan. Manik indah Kri
Radha mengambil satu lukisan, melihatnya tajam, lalu menjatuhkannya dengan gemetar. “Begini rasanya dihina atas sesuatu yang kamu buat sepenuh hati? Rasain!” “Kurang ajar!” Suara Krisna mencuat di tengah hantaman hujan deras yang mengguncang atap seperti derap sepatu tentara. Lukisan itu jatuh tak berdaya seolah tak ada lagi harapan bagi karya seni tersebut untuk bertahan. Krisna berdiri diam, tangannya mengepal erat, semburat merah padam menjalar di seluruh wajahnya. Sebelum akhirnya dia berjalan buru-buru menghampiri wanita yang sudah dikuasai api kemarahan. Buk! Satu pukulan didaratkan Krisna pada dinding kamarnya. Nyaris saja pria itu memukul Radha. Radha tersudutkan, kepalan tangan milik Krisna hampir saja mengenai pipi mulus wanita itu. “Bodoh!” seru Krisna yang mulai tersulut emosi “Apa? Kamu mau marah, ha?” Wanita itu seperti tak ada takutnya sama sekali. Kepalanya mendongak, seperti ingin menantang pria di depannya berduel. Krisna menarik napas dalam. Dia berusaha menah
Hujan semakin deras, angin kencang menerbangkan rambut pendek Ros yang sudah separuh basah. Teriakan lirih wanita itu mencuat di tengah rintik air yang jatuh menimpa bagaikan gundam.Ros terduduk, dia tidak peduli jalanan yang kotor membasahi celananya. Dia mengangkat kepala Radha dan langsung memeluknya erat. Tak kuasa menahan tangis, tangan Ros bergetar seakan wanita itu ditinggal untuk selamanya.Beberapa saat kemudian, Krisna datang, dia memberikan payung pada Ros. “Pegang payungku. Biar aku yang mengangkatnya!” Ros mengangguk, dia menerima payung Krisna dan berdiri sedikit lebih jauh memberi ruang untuk pria itu.***Detik jarum jam yang tergantung di dinding kamar Krisna, mengiringi tangis Ros yang sedari tadi tidak kunjung berhenti. Tangannya tak pernah melepas tangan sang sahabat yang terbaring lemah di atas kasur.Suara langkah membuyarkan isakan wanita yang setia duduk di samping Radha. Dia sedikit mengecilkan suaranya, mengingat yang datang adalah pemilik rumah.“Sudah, di
Suara yang tidak terdengar asing, mendengung di telinga Ros. Dia langsung menoleh cepat. Seseorang berdiri di belakang mereka—berbaju putih yang sedikit basah dengan tatapan penuh tanya. Payung berwarna perak, sedikit menutupi bagian wajahnya.Radha tak membuka mata. Bibirnya mulai bergerak dan langsung melontarkan tanya dengan suara lirih. “Siapa itu, Ros?” Ros tidak menggubris pertanyaan Radha. Dia malah fokus pada pria yang datang tiba-tiba.“Krisna?” Mata Ros terbuka lebar kala mendapati pria itu berdiri di belakang. “Kenapa bisa di sini?” tanyanya.Dengan tenang pria itu menjawab, namun matanya tertuju pada wanita yang sedang meraup kenyamanan di bahu Ros. “Baru saja. Apa dia selalu selemah ini setelah lomba?” tanyanya lagi.“Aku juga ngga tahu, kayaknya Radha kelelahan,” jawab Ros seadanya.Sadar ada yang membicarakan dirinya, Radha pun membuka mata. Dia menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. “Siapa, Ros?”“Krisna, Ra,” jawab Ros.Mendengar nama itu, Radha pun langsung bangun
Ros berlari cepat menghampiri Radha, dia menarik tangan sahabatnya itu. “Ada motor, Ra!” serunya tergesa-gesa.Radha terhempas ke pelukan Ros. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ulah motor ugal-ugalan yang hampir saja menabraknya. Ros menarik napas sejenak, dia melepas tangan Radha. “Hampir aja kamu tertabrak,” ujarnya buru-buru.Radha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus dadanya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Makasih, Ros. Aku ngga tau kalo ngga ada kamu, mungkin aku ngga akan selamat.”“Iya, Ra. Lain kali jangan berdiri terlalu dekat dengan jalan, ya,” ujarnya sembari tersenyum.Ros kembali mengingat alasan dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Radha di depannya dengan tatapan lembut seperti kapas. “Lain kali jangan gitu ke orang yang ngga dikenal, ya. Kalau mau begitu jangan pas sama aku.” “Iya, ngga lagi, kok,” jawabnya dan menatap teman di depannya itu polos.Ros pun luluh, tatapan polos Radha selalu berhasil me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments