“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku.
Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak sopir setelah Steven memberi jawaban.Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan.“Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan.‘Apa?! Tidak, tunggu...’Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu?Aku tertawa. ‘Terlihat 1-2 tahun kan ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.’Pak sopir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa.“Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...”“Apa terlihat seperti itu, Pak?” Tanyaku dengan penuh semangat sebelum akhirnya tertawa lagi.“Maaf Neng. Maklum sudah tua, mata bapak sudah agak rabun...”Tawaku sirna seketika.'An…akonda. Jiaahhh... si bapak... Aku sudah melayang tinggi malah ditarik jatuh seketika. Jadi karena mata rabun tidak bisa melihat perbedaan usia kami yang sangat jauh ya? Hhh... Ternyata bukan karena aku terlihat awet muda.’Aku tertarik untuk menoleh pada Steven, saat merasa kalau dia sedang menatapku. Bukan hanya menatapku, dia ternyata sedang tersenyum juga.‘Haiss... Jangan tersenyum terutama untuk mengejekku! Kau tidak tahu kalau senyummu itu… Ah sudahlah!’Saat aku mengernyitkan kedua alisku, Steven buru-buru mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana, lalu mendekatkan ponselnya padaku.Aku membaca tulisan “Anda memang terlihat awet muda,” di layar ponselnya.Setelah mendelik padanya selama beberapa saat, aku pun mengambil ponselku juga lalu menunjukkan balasanku padanya, “Tidak usah menghiburku.”Berikutnya dia membalas agak panjang, “Saya tidak sedang menghibur, apalagi berbohong. Jujur, saat saya melihat foto Anda, saya kira Ibu Anda membohongi saya tentang usia Anda. Dan saat saya melihat Anda untuk pertama kalinya, saya tidak percaya jika Anda terlihat jauh lebih muda lagi dibandingkan yang ada di foto.”‘Omong kosong! Hahaha... Huft… rayuan lelaki.’Aku menyimpan kembali ponselku, tidak berniat membalas pujian Steven yang kuanggap hanyalah bualan kosong seperti yang sering para lelaki hidung belang ucapkan padaku. Aku kemudian melirik sebentar pada pak sopir melalui kaca spion, ―dia sedang senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia memperhatikan interaksi yang aku dan Steven lakukan.Aku kemudian memalingkan wajah, memerhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dari balik kaca mobil di sebelah kananku.Anehnya aku kembali ingat dengan apa yang baru saja Steven katakan, dan itu membuatku tidak bisa menahan senyum. Mungkin saja itu caranya untuk mencairkan suasana di antara kami agar bisa dekat denganku, dan pujian itu cukup membuatku sangat terhibur. ‘O... ow...’Rasa takut akan terlihat berbeda jauh saat sedang jalan berdua dengannya, ―yang selama beberapa hari ini menghantuiku, agak sedikit berkurang.‘Hah? Kenapa aku malah terbujuk oleh kata-katanya?!’***Steven memerhatikan keseluruhan tampak luar rumah sederhana kami selama beberapa saat, lalu tatapannya berhenti agak lama pada teras sebelum akhirnya mengikutiku masuk ke dalam rumah.Rumah kami memang masih belum direnovasi. Rumah tipe 36 yang bahkan hanya memiliki teras seukuran 1x3 meter. Entah apa yang developernya pikirkan saat membuat teras seukuran itu. Mungkin, jika ukuran 1x2 meter tidak mirip seperti sebuah kuburan, mereka akan membuatnya seukuran itu.Aku mempersilahkan Steven duduk di sofa bulu, satu dari dua perabotan yang ada di rumah kami yang kesemuanya kubeli secara kredit.“Kau lebih suka teh atau kopi?” Tanyaku pada Steven setelah menunggunya meletakkan tas ransel besar yang terlihat sangat berat itu, juga kantongan plastik yang ditentengnya di lantai.Entah apa isi plastik itu, yang pasti kuharap bukan makanan khas daerahnya. Bukannya aku tidak suka makanan khas daerah lain, tapi makanan itu mungkin sudah basi setelah tertutup dalam plastik seharian.Steven menatapku dengan mulut sedikit terbuka, seperti orang kebingungan saat mendapatkan pertanyaan yang agak berat untuk dimengerti.‘Apa di kampungnya teh dan kopi disebutkan dengan bahasa yang berbeda?’“Air hangat saja,” sahut Steven akhirnya.“Ok...”‘Itu lebih baik. Aku jadi tidak perlu repot.’“Apa saya boleh ke kamar mandi?” Tanyanya lagi.Aku menatap wajahnya yang mengkilap dipenuhi keringat kering bercampur debu.‘Ah... Dia pasti gerah karena pertama kalinya ke Jakarta, kan? Pantas dia tadi menatapku seperti itu. Apa dia masih merasa sungkan?’“Tentu. Kamar mandi ada di sana.” Aku menunjuk salah satu dari 4 pintu yang ada di rumah kami. Bagi yang pernah tinggal di rumah tipe 36 pasti tahu, hanya ada 4 pintu di rumah tipe tersebut. Pintu depan, pintu kamar, pintu kamar mandi, dan pintu menuju halaman belakang.Aku memerhatikannya mengeluarkan handuk dan pakaian dari dalam kantongan plastik, lalu mengikutinya ke kamar mandi, ―tentu hanya dengan tatapan mataku saja.Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintunya. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi. Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.‘Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.’Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas, dengan takaran yang lebih banyak, sebelum menambahkan air dingin. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi. Aku kemudian membawanya ke sofa, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran.‘Kalau pakaiannya ada di kantong plastik, lalu apa isi ransel besar ini? Kenapa dia tidak menaruh pakaiannya di dalam ransel saja?’Aku menatap ke pintu kamar mandi sebentar, lalu mendekati kantong plastik yang Steven letakkan di lantai, di dekat tas ranselnya, kemudian menyentuh kantongan plastik itu dengan ujung jemariku lalu menekan-nekannya. Dari kelembutannya, aku bisa menebak kalau isi tas plastik ini hanya pakaian.“Hmmm...”Aku malah penasaran juga dengan isi tas ranselnya.Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, lalu menatap tas ransel lagi.‘Tidak. Ini tidak benar.’Aku menyandarkan tubuhku ke sofa dan duduk diam beberapa saat.Setelah mendengar suara air berjatuhan ke lantai kamar mandi, barulah aku mendekati tas ransel Steven lagi.‘Benar... Inilah saatnya kalau mau memeriksa.’Aku meraih ritsleting dan menariknya perlahan sembari terus menatap ke pintu kamar mandi. Mengawasi seandainya Steven tiba-tiba membuka pintu tersebut.Setelah kurasa tasnya terbuka cukup lebar, barulah aku memalingkan wajah dan memeriksa isinya.“Astaga!”Aku melepaskan tas itu secara refleks.Tubuhku juga ikut mundur menjauh dengan refleks setelah melihat apa yang ada di dalam tas.Dengan jantung berdebar kencang akibat adrenalin yang meningkat, aku akhirnya menghampiri tas itu lagi untuk memastikan apa yang baru saja kulihat, dan benar saja. Ada sepucuk senjata api, HP model lama, dan sebungkus rokok di dalamnya dan... Aku membuka tas itu lebih lebar lagi, menggali-gali isinya untuk memastikannya lebih jauh.Selain benda-benda tadi, yang diletakkan di bagian atas, ransel itu hanya berisi bergepok-gepok uang seratus ribu yang masih tersegel per sepuluh juta, dan tersusun dengan sangat rapi.Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)
“I-ini kan...” Aku menutup kembali ransel itu dengan cepat setelah tidak mendengar suara air lagi dari arah kamar mandi, lalu buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi. ‘Tidak... itu ketinggalan...’ Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi kuletakkan di meja, dan tiba kembali di area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu. Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku. Aku memaksa bibirku untuk tersenyum, walau sangat susah untuk kulakukan. Rasa takutku membuatku susah untuk tersenyum. Senyumanku pasti akan terlihat aneh dimatanya. Aku melirik ke arah ransel. “Bodoh! Harusnya ku ambil saja pistolnya,” pikirku, menyesal tidak melakukannya. Entah Steven menyadari atau tidak, ia kemudian pergi menuju sofa. Duduk di dekat tas ransel, lalu membuka ritsletingnya. Dadaku menjadi sesak. Terutama saat melihat Steven mengeluarkan senjata api itu dari d
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang. “Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan. Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain. “Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.” Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami. “Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang. “Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingi
Setelah makan kami tidak langsung pulang, ―walaupun aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang. Keinginan itu akhirnya kalah saat aku kebetulan melihat Steven menatap jalanan dengan wajah bingung yang aneh, di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia bingung atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya. Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati, ―kebetulan aku juga belum pernah pergi ke Mal itu dan sekalian saja aku ingin melihat-lihat ke sana.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan, wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak, dia mungkin sedang merindukan kampung halamannya.‘Padahal dia baru dua hari di sini. Bagaimana kalau sudah satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Mungkinkah dia akan pergi meninggalkanku setelah itu?' Pikiranku malah menyimpang ke sana. Aku tidak peduli juga sih. Tapi..
Aku dan Steven baru pulang kembali ke rumah kami jam 7 malam setelah selama seharian menghabiskan waktu berbelanja dan berjalan-jalan di Mal. Walau awalnya aku hanya ingin mengantarkannya berjalan-jalan, sejujurnya pada akhirnya aku sendiri juga menikmati waktu yang kami habiskan bersama hari ini, terutama karena aku bisa kembali berbaur dengan keramaian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ya, sudah sangat lama bagiku, yang hampir tidak memiliki waktu dan uang lebih, untuk berjalan-jalan seperti ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, akhir pekanku biasanya cuma kuhabiskan untuk membaca novel ringan atau melihat-lihat referensi destinasi wisata di Youtube yang kemudian akan kumasukkan dalam daftar tujuan liburanku suatu saat nanti. Aku bahkan tidak ingat kapan punya waktu luang untuk berjalan-jalan seperti hari ini. Waktu luang? Sebenarnya, mungkin bukan waktu luang yang tidak kumiliki, melainkan uang. Apa karena gajiku kecil? Tidak juga. Sebelumnya mungkin s
“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya langsung menyukai Anda setelah melihat foto Anda. Saya tidak memikirkan lainnya.” Entah kenapa, kata-kata berbau pujian dari Steven membuatku sedikit malu hingga aku akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaanku tanpa bertanya apa pun lagi. ‘Kenapa dia tidak bertanya balik? Apa dia tidak penasaran?’ Aku agak bingung kenapa Steven tidak mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Jika menjadi dia, aku pasti akan penasaran dan bertanya hal serupa juga padanya. ‘Atau… apa dia takut kalau aku minta bercerai karena menikah di bawah paksaan?’ Aku melirik padanya, ―yang sudah sibuk membuka kardus-kardus kecil kembali dan benar-benar tidak terlihat ingin bertanya hal yang sama padaku. ‘Tapi tidak mungkin.’ Aku menatap ke kamar, ingat berapa banyak uang yang ada di sana, ―yang dibawanya ke sana-kemari tanpa takut dirampok, juga memberikannya padaku dengan santai. Dia bisa dengan mudahnya menemukan wanita cantik dengan uang seserahan sebanyak itu. Khususnya p
Karena ini hari Minggu, aku sengaja tidak memasang alarm di ponselku dan aku pun akhirnya bangun jauh lebih siang dari biasanya. Hal pertama yang kuingat setelah melihat jam di ponselku adalah Steven. Tidak seperti kemarin, kali ini aku langsung mengingatnya, ―terutama setelah beberapa puluh menit tidak bisa tidur karena harap-harap cemas kalau dia akan datang menyambut baik ‘ajakan’ tak sengaja dariku. Aku melihat dan meraba-raba tempat di sebelahku tidur yang masih rapi dan tidak merasakan hangat bekas ditiduri di sana. ‘Bodoh... Kalau dia sudah bangun lebih dari 30 menit tentu tidak akan terasa hangat.’ Aku menatap tubuhku, melihat pakaianku yang masih lengkap. Aku juga melihat pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Entah kenapa, aku malah agak sedikit tersinggung. ‘Apa aku tidak menarik baginya? Apa karena jarak usia kami?’ Aku baru beranjak dari tempat tidur saat mendengar suara berisik di luar kamar untuk pergi mengecek sumber suara mengganggu tersebut. Perhatianku langs
Selama kami berada di rumah Pak RT, Steven berbicara jauh lebih banyak dariku, ―sementara aku sendiri menghabiskan lebih banyak waktu hanya untuk mendengarnya berbicara dan mengaguminya. Dia bisa mengimbangi topik pembicaraan apa pun dengan sangat baik, bahkan saat Pak RT yang sudah berusia hampir 70 tahun itu mengajaknya berbicara tentang zaman setelah era kemerdekaan yang tidak kutahu dan tidak kumengerti sama sekali. ‘Benar-benar di luar dugaanku. Berapa sih umurnya?’ “Teh-nya Neng…” Aku hampir melompat kaget saat Bu RT tiba-tiba muncul di sampingku dari dalam ruang keluarga mereka. Aku mengangguk dan tersenyum malu sembari menerima teh yang Bu RT suguhkan padaku. Bodohnya aku tadi dengan lancang dan tanpa sengaja menolak kopi yang ia buatkan hanya karena aku tidak menyukai kopi manis dan berampas. Untung saja Steven pandai mencari alasan hingga Bu RT bisa mengerti dan memakluminya ―bahkan dia merasa bersalah karena menghidangkan minuman tanpa bertanya terlebih dulu padaku. A
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam. Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan, ―dia bukannya ingin terlihat baik dimataku. Karena terlalu fokus memperhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba naik tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul, ―aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya! Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjangku untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba itu. Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di kamar seperti ini, di atas ranjang kami, malah membuat keingina