Terima kasih untuk Reader yang sudah mengikuti cerita ini sampai akhir. Terima kasih untuk dukungan Vote, komentar, dan Rate, yang sudah membantu author semangat menulis... Thank you (^^) MeowMoe
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Ma, Keysa tidak suka pria ini. Dia terlalu muda, Ma... Apalagi pekerjaannya tidak jelas!” Rengekku pada Camila, ibu tiriku. Dia memaksaku menikah dengan sembarang pria sesuai kemauannya hanya karena merasa malu pada teman-teman dan tetangga yang sering menyindirku karena aku belum menikah juga di usiaku yang sudah menginjak 36 tahun. “Sampai kapan putrimu mau hidup sendiri Jeng? Malu loh dikatai perawan tua terus sama teman-teman kita.” Kalimat sindiran itu hampir berulang kali terdengar dari Bu Imah, tetangga sebelah rumah kami. Sialnya lagi… Bu Imah hanya salah satu contoh dari sekian banyak penggosip yang tak pernah lelah membicarakan kehidupanku. Masih ada Bu Devi, Bu Siti, Bu Rosa dan banyak lagi. Mereka selalu membicarakan hal yang sama berulang kali, dan pada akhirnya membuat ibu tiriku juga turut menyindirku setiap hari. Sampai pada suatu saat, teman-teman bedebahnya itu membawa foto beberapa pria yang juga sedang mencari istri untuk dijodohkan padaku. Totalitas sekali kan
Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha mengikuti ke mana arah angin. Maksudku…, angin takdir yang diarahkan oleh ibu tiriku. Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah. Aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini. Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube. Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa bukan? Kekangan. Sikap posesif. Yah..., bisa dibilang karena itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti itu. Apa yang kualami di dalam
“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku. Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak sopir setelah Steven memberi jawaban. Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan. “Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan. ‘Apa?! Tidak, tunggu...’ Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu? Aku tertawa. ‘Terlihat 1-2 tahun kan ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.’ Pak sopir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa. “Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...” “Apa terlihat
“I-ini kan...” Aku menutup kembali ransel itu dengan cepat setelah tidak mendengar suara air lagi dari arah kamar mandi, lalu buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi. ‘Tidak... itu ketinggalan...’ Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi kuletakkan di meja, dan tiba kembali di area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu. Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku. Aku memaksa bibirku untuk tersenyum, walau sangat susah untuk kulakukan. Rasa takutku membuatku susah untuk tersenyum. Senyumanku pasti akan terlihat aneh dimatanya. Aku melirik ke arah ransel. “Bodoh! Harusnya ku ambil saja pistolnya,” pikirku, menyesal tidak melakukannya. Entah Steven menyadari atau tidak, ia kemudian pergi menuju sofa. Duduk di dekat tas ransel, lalu membuka ritsletingnya. Dadaku menjadi sesak. Terutama saat melihat Steven mengeluarkan senjata api itu dari d
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang. “Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan. Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain. “Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.” Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami. “Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang. “Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingi
Setelah makan kami tidak langsung pulang, ―walaupun aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang. Keinginan itu akhirnya kalah saat aku kebetulan melihat Steven menatap jalanan dengan wajah bingung yang aneh, di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia bingung atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya. Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati, ―kebetulan aku juga belum pernah pergi ke Mal itu dan sekalian saja aku ingin melihat-lihat ke sana.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan, wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak, dia mungkin sedang merindukan kampung halamannya.‘Padahal dia baru dua hari di sini. Bagaimana kalau sudah satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Mungkinkah dia akan pergi meninggalkanku setelah itu?' Pikiranku malah menyimpang ke sana. Aku tidak peduli juga sih. Tapi..
Aku dan Steven baru pulang kembali ke rumah kami jam 7 malam setelah selama seharian menghabiskan waktu berbelanja dan berjalan-jalan di Mal. Walau awalnya aku hanya ingin mengantarkannya berjalan-jalan, sejujurnya pada akhirnya aku sendiri juga menikmati waktu yang kami habiskan bersama hari ini, terutama karena aku bisa kembali berbaur dengan keramaian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ya, sudah sangat lama bagiku, yang hampir tidak memiliki waktu dan uang lebih, untuk berjalan-jalan seperti ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, akhir pekanku biasanya cuma kuhabiskan untuk membaca novel ringan atau melihat-lihat referensi destinasi wisata di Youtube yang kemudian akan kumasukkan dalam daftar tujuan liburanku suatu saat nanti. Aku bahkan tidak ingat kapan punya waktu luang untuk berjalan-jalan seperti hari ini. Waktu luang? Sebenarnya, mungkin bukan waktu luang yang tidak kumiliki, melainkan uang. Apa karena gajiku kecil? Tidak juga. Sebelumnya mungkin s