Share

Bab 4 - Aku Bukan Mafia

“I-ini kan...”

Aku menutup kembali ransel itu dengan cepat setelah tidak mendengar suara air lagi dari arah kamar mandi, lalu buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi.

‘Tidak... itu ketinggalan...’

Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi kuletakkan di meja, dan tiba kembali di area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu.

Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku.

Aku memaksa bibirku untuk tersenyum, walau sangat susah untuk kulakukan. Rasa takutku membuatku susah untuk tersenyum. Senyumanku pasti akan terlihat aneh dimatanya.

Aku melirik ke arah ransel. “Bodoh! Harusnya ku ambil saja pistolnya,” pikirku, menyesal tidak melakukannya.

Entah Steven menyadari atau tidak, ia kemudian pergi menuju sofa. Duduk di dekat tas ransel, lalu membuka ritsletingnya.

Dadaku menjadi sesak. Terutama saat melihat Steven mengeluarkan senjata api itu dari dalam tas. Ya, dia mengeluarkannya dengan santai seolah itu hanya senjata mainan, lalu meletakkannya di meja dengan santai juga seakan aku tidak melihatnya.

“Apa yang ingin kau lakukan?!” Aku berteriak dalam hati.

Setidaknya kalimat itu yang ingin kuteriakkan, tapi kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutku. Aku gemetar ketakutan. Tubuhku serasa sangat lemas hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang masih ku pegang.

Suara gelas pecah dari dekat kakiku malah membuat Steven terkejut dan langsung menatap ke arahku, sebelum menatap pada senjata apinya lagi.

“A-apa... yang… ingin kau lakukan?” aku akhirnya bisa mengucapkan kalimat itu dengan terbata-bata setelah melihat Steven memagang senjata api itu lagi.

“Tidak. Maaf, saya cuma mau mengeluarkannya,” sahut Steven dengan ekspresi penuh penyesalan.

‘Cuma mau mengeluarkannya?!’

Steven berdiri tampak hendak berjalan ke arahku, namun ia berbalik lagi dan berjongkok di dekat meja sambil mengangkat senjata api itu di depan tubuhnya.

“Jangan... tolong...,” pintaku dengan suara bergetar takut. Sebenarnya suaraku hampir tidak keluar sama sekali.

“Tidak... Anda salah paham. Tolong percaya pada saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Anda,” ucap Steven sembari membongkar senjata api itu dengan cepat. Di sini aku tidak melihat dan menyadari kalau Steven sebenarnya juga sedang gugup karena melihatku terlalu takut.

Dia memisah-misahkan bagian senjata api dengan sangat cekatan juga sangat cepat seolah sudah sangat terlatih melakukannya, hingga aku melihat senjata api itu tidak lagi bisa digunakan untuk menembak.

“Maaf, di tempat saya biasanya memegang benda ini sudah biasa. Jadi saya tidak mengira Anda akan takut. Maksud saya… saya lupa kalau saya sedang tidak berada di kampung saya.”

Kata-kata itu tidak menenangkan, apalagi menghiburku. Imajinasiku malah berkembang semakin liar.

'Senjata api adalah benda biasa di tempatnya? Tinggal di mana dia sebenarnya? Di sebuah medan perang?'

Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Bu Rosa. Dia… Steven, mungkin anggota mafia.

Benar! Dia punya senjata api. Ada banyak uang di dalam ranselnya, juga ponsel model lama, dan rokok. Dan... sudah biasa memegang senjata api. Semuanya sangat cocok dengan apa yang sering kulihat di film-film Hollywood.

Polisi atau Tentara tidak mungkin membawa uang sebanyak itu kemana-mana. Dia pasti anggota mafia. Pasti seperti itu.

‘Mama sialan! Dia pasti mau membunuhku karena ingin menjual tanah dan rumah kami!’

Pikiranku berkembang luas, baru menyadari kenapa ibu tiriku memaksaku untuk menikahi pria ini.

Aku melirik pada salah satu pintu yang akan langsung tembus ke halaman belakang rumah begitu aku bisa membukanya. Itu adalah pintu terdekat dari posisiku berdiri saat ini.

‘Aku harus melarikan diri sekarang.’

Aku bergegas berlari menuju pintu itu. Setidaknya itulah niatku.

Sayangnya, syok yang kudapat setelah melihatnya mengeluarkan senjata api membuat kedua kakiku kaku dan gemetar. Bukannya berlari, aku malah terjatuh. Bahkan aku kemudian pingsan saat melihat Steven berlari ke arahku.

‘Mati aku!’

***

Aku mengerjap-ngerjapkan mata setelah terbangun dari tidurku dan langsung melihat...

“Astaga! Kau siapa?!”

Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan terpojok ke dinding.

Suamiku... Steven... Senjata api... Mafia...

Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi dan mengingat temuanku itu. Dan kami sekarang berada di dalam kamar yang sama. Aku bersama seorang mafia.

Walaupun aku berada di atas ranjang, aku akhirnya sadar kalau aku bukan baru bangun dari tidur. Aku pasti baru bangun dari pingsan! Aku ingat aku langsung kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.

“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh.

“Lihat...,” Steven mengangkat selembar kertas di tangan kanannya, lalu menaruhnya perlahan ke atas tempat tidur. Sambil menunjuk kertas itu ia kemudian berkata, “Ini izin membawa senjata api. Anda pasti tahu kalau tidak sembarang orang diizinkan memiliki senjata api di negara kita, kan?”

Aku masih menatapnya dengan tubuh gemetar sebelum akhirnya menurunkan pandanganku pada selembar kertas di atas tempat tidur.

Benar. Dari yang kutahu memang begitu. Tidak sembarang orang memiliki izin membawa senjata api di negara ini.

Aku mendekati kertas itu sambil terus menatap ke arahnya, takut kalau dia tiba-tiba menyergapku. Aku kemudian membaca tulisan di kertas dengan cepat, melihat cap dari POLRI dan yakin kalau cap itu asli.

Aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega, setidaknya sedikit dari rasa takut sudah beranjak pergi dari pikiranku.

Aku menatap Steven kembali. “Kenapa kau punya senjata api? Apa kau seorang pengawal pribadi? Tidak mungkin kau Polisi, kan?”

Aku melihat keraguan di wajah Steven, juga bisa mendengar helaan napas pendek darinya.

“Saya seorang pengawal pribadi,” sahutnya.

Kami bertatapan dalam keheningan cukup lama setelahnya.

Aku menatap dalam pada manik mata hitamnya, mempelajari apakah ada kebohongan di sana, sementara dia menatapku dengan tatapan seakan memohon agar aku memercayainya.

‘Baiklah, ayo coba percaya. Setidaknya dia bukan pengangguran.’

“Di mana senjatanya?” tanyaku lagi.

Steven tidak menjawab. Ia bergegas pergi keluar kamar, lalu kembali dengan membawa komponen senjata api yang masih terpisah-pisah itu padaku dan meletakkannya di tepi ranjang.

Melihat keadaan senjata api yang masih terbongkar, aku menjadi lebih tenang.

“Lalu... apa gaji pengawal pribadi sebesar itu? Maksudku... aku juga melihat tumpukan uang dalam ranselmu.”

Steven tersenyum.

‘Astaga! Bodoh. Aku malah mengumumkan sendiri kalau aku sudah membongkar tasnya.’

Tapi Steven kemudian mengangguk. Hanya itu jawaban yang diberikannya padaku.

“Baiklah... Jadi... kau bukan mafia atau sejenisnya, kan?”

Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Dia terkejut, lalu terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak tertawa.

“Bukan. Saya tidak bekerja seperti itu.”

“…”

“Saya tidak melakukan hal yang melanggar hukum.”

“Be-begitu...”

Aku mengangguk pelan, lalu menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku benar-benar malu karena sudah bersikap bodoh di depan pria yang berusia 10 tahun lebih muda dariku. Aku menyesal karena telah kehilangan ketenangan di hadapan pria yang bahkan berusia lebih muda dari adik tiri laki-lakiku ini.

‘Tapi mana ada wanita yang tidak takut saat ada orang asing membawa senjata api di hadapannya, kan? Ini tidak memalukan. Ini adalah hal yang wajar.’

Saat masih berusaha mengembalikan kepercayaan diriku lagi, aku merasakan kelembaban dan basah di antara kedua pahaku.

‘Hah? Kenapa basah?’

Tidak ingat kalau Steven berada di hadapanku, aku langsung meraba-raba bagian yang kurasa basah.

“Anda mengompol...,” ucap Steven dengan ragu, menyadari kebingunganku akan diriku sendiri.

Aku menatapnya dengan mulut terbuka lebar, lalu melihat celana panjang ketatku yang memiliki bekas basah lebar di antara kedua pahaku.

‘Astaga... memalukan sekali!’

Aku langsung melompat dan berlari ke kamar mandi. Tapi tak lama kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pakaian ganti di lemari.

Steven memerhatikan kesibukanku sambil mengulum bibirnya. Aku tahu dia sedang menahan diri agar tidak tertawa.

‘Memalukan! Benar-benar memalukan!’

***

Saat kesegaran air membasahi tubuhku, aku akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Mencoba mengesampingkan pemikiran lain, aku menatap kembali ke lantai, pada pakaian kotorku yang berhamburan.

Saat aku bangun, aku masih berpakaian lengkap. Pakaian yang sama dengan yang kukenakan untuk pernikahan.

‘Dia tidak melakukan apa-apa padaku, kan?’

Aku akhirnya bisa meyakininya setelah ingat kalau dia bahkan tidak menggantikan celanaku yang basah. Dia mungkin benar-benar bukan orang jahat, yang sudah pasti akan memanfaatkan keadaan saat aku pingsan.

Aku menoleh ke cermin yang berada di balik pintu kamar mandi, menatap pantulan diriku yang ada di dalamnya.

‘Atau karena aku kurang menarik?’

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Hi5
detail ceritanya bagus, semangat otor
goodnovel comment avatar
Siti Rayanna
lucu ceritanya ssru juga
goodnovel comment avatar
eko pujianto
bagus bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status