“I-ini kan...”
Aku menutup kembali ransel itu dengan cepat setelah tidak mendengar suara air lagi dari arah kamar mandi, lalu buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi.
‘Tidak... itu ketinggalan...’
Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi kuletakkan di meja, dan tiba kembali di area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu.
Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku.
Aku memaksa bibirku untuk tersenyum, walau sangat susah untuk kulakukan. Rasa takutku membuatku susah untuk tersenyum. Senyumanku pasti akan terlihat aneh dimatanya.
Aku melirik ke arah ransel. “Bodoh! Harusnya ku ambil saja pistolnya,” pikirku, menyesal tidak melakukannya.
Entah Steven menyadari atau tidak, ia kemudian pergi menuju sofa. Duduk di dekat tas ransel, lalu membuka ritsletingnya.
Dadaku menjadi sesak. Terutama saat melihat Steven mengeluarkan senjata api itu dari dalam tas. Ya, dia mengeluarkannya dengan santai seolah itu hanya senjata mainan, lalu meletakkannya di meja dengan santai juga seakan aku tidak melihatnya.
“Apa yang ingin kau lakukan?!” Aku berteriak dalam hati.
Setidaknya kalimat itu yang ingin kuteriakkan, tapi kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutku. Aku gemetar ketakutan. Tubuhku serasa sangat lemas hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang masih ku pegang.
Suara gelas pecah dari dekat kakiku malah membuat Steven terkejut dan langsung menatap ke arahku, sebelum menatap pada senjata apinya lagi.
“A-apa... yang… ingin kau lakukan?” aku akhirnya bisa mengucapkan kalimat itu dengan terbata-bata setelah melihat Steven memagang senjata api itu lagi.
“Tidak. Maaf, saya cuma mau mengeluarkannya,” sahut Steven dengan ekspresi penuh penyesalan.
‘Cuma mau mengeluarkannya?!’
Steven berdiri tampak hendak berjalan ke arahku, namun ia berbalik lagi dan berjongkok di dekat meja sambil mengangkat senjata api itu di depan tubuhnya.
“Jangan... tolong...,” pintaku dengan suara bergetar takut. Sebenarnya suaraku hampir tidak keluar sama sekali.
“Tidak... Anda salah paham. Tolong percaya pada saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Anda,” ucap Steven sembari membongkar senjata api itu dengan cepat. Di sini aku tidak melihat dan menyadari kalau Steven sebenarnya juga sedang gugup karena melihatku terlalu takut.
Dia memisah-misahkan bagian senjata api dengan sangat cekatan juga sangat cepat seolah sudah sangat terlatih melakukannya, hingga aku melihat senjata api itu tidak lagi bisa digunakan untuk menembak.
“Maaf, di tempat saya biasanya memegang benda ini sudah biasa. Jadi saya tidak mengira Anda akan takut. Maksud saya… saya lupa kalau saya sedang tidak berada di kampung saya.”
Kata-kata itu tidak menenangkan, apalagi menghiburku. Imajinasiku malah berkembang semakin liar.
'Senjata api adalah benda biasa di tempatnya? Tinggal di mana dia sebenarnya? Di sebuah medan perang?'
Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Bu Rosa. Dia… Steven, mungkin anggota mafia.
Benar! Dia punya senjata api. Ada banyak uang di dalam ranselnya, juga ponsel model lama, dan rokok. Dan... sudah biasa memegang senjata api. Semuanya sangat cocok dengan apa yang sering kulihat di film-film Hollywood.
Polisi atau Tentara tidak mungkin membawa uang sebanyak itu kemana-mana. Dia pasti anggota mafia. Pasti seperti itu.
‘Mama sialan! Dia pasti mau membunuhku karena ingin menjual tanah dan rumah kami!’
Pikiranku berkembang luas, baru menyadari kenapa ibu tiriku memaksaku untuk menikahi pria ini.
Aku melirik pada salah satu pintu yang akan langsung tembus ke halaman belakang rumah begitu aku bisa membukanya. Itu adalah pintu terdekat dari posisiku berdiri saat ini.
‘Aku harus melarikan diri sekarang.’
Aku bergegas berlari menuju pintu itu. Setidaknya itulah niatku.
Sayangnya, syok yang kudapat setelah melihatnya mengeluarkan senjata api membuat kedua kakiku kaku dan gemetar. Bukannya berlari, aku malah terjatuh. Bahkan aku kemudian pingsan saat melihat Steven berlari ke arahku.
‘Mati aku!’
***
Aku mengerjap-ngerjapkan mata setelah terbangun dari tidurku dan langsung melihat...
“Astaga! Kau siapa?!”
Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan terpojok ke dinding.
Suamiku... Steven... Senjata api... Mafia...
Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi dan mengingat temuanku itu. Dan kami sekarang berada di dalam kamar yang sama. Aku bersama seorang mafia.
Walaupun aku berada di atas ranjang, aku akhirnya sadar kalau aku bukan baru bangun dari tidur. Aku pasti baru bangun dari pingsan! Aku ingat aku langsung kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.
“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh.
“Lihat...,” Steven mengangkat selembar kertas di tangan kanannya, lalu menaruhnya perlahan ke atas tempat tidur. Sambil menunjuk kertas itu ia kemudian berkata, “Ini izin membawa senjata api. Anda pasti tahu kalau tidak sembarang orang diizinkan memiliki senjata api di negara kita, kan?”
Aku masih menatapnya dengan tubuh gemetar sebelum akhirnya menurunkan pandanganku pada selembar kertas di atas tempat tidur.
Benar. Dari yang kutahu memang begitu. Tidak sembarang orang memiliki izin membawa senjata api di negara ini.
Aku mendekati kertas itu sambil terus menatap ke arahnya, takut kalau dia tiba-tiba menyergapku. Aku kemudian membaca tulisan di kertas dengan cepat, melihat cap dari POLRI dan yakin kalau cap itu asli.
Aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega, setidaknya sedikit dari rasa takut sudah beranjak pergi dari pikiranku.
Aku menatap Steven kembali. “Kenapa kau punya senjata api? Apa kau seorang pengawal pribadi? Tidak mungkin kau Polisi, kan?”
Aku melihat keraguan di wajah Steven, juga bisa mendengar helaan napas pendek darinya.
“Saya seorang pengawal pribadi,” sahutnya.
Kami bertatapan dalam keheningan cukup lama setelahnya.
Aku menatap dalam pada manik mata hitamnya, mempelajari apakah ada kebohongan di sana, sementara dia menatapku dengan tatapan seakan memohon agar aku memercayainya.
‘Baiklah, ayo coba percaya. Setidaknya dia bukan pengangguran.’
“Di mana senjatanya?” tanyaku lagi.
Steven tidak menjawab. Ia bergegas pergi keluar kamar, lalu kembali dengan membawa komponen senjata api yang masih terpisah-pisah itu padaku dan meletakkannya di tepi ranjang.
Melihat keadaan senjata api yang masih terbongkar, aku menjadi lebih tenang.
“Lalu... apa gaji pengawal pribadi sebesar itu? Maksudku... aku juga melihat tumpukan uang dalam ranselmu.”
Steven tersenyum.
‘Astaga! Bodoh. Aku malah mengumumkan sendiri kalau aku sudah membongkar tasnya.’
Tapi Steven kemudian mengangguk. Hanya itu jawaban yang diberikannya padaku.
“Baiklah... Jadi... kau bukan mafia atau sejenisnya, kan?”
Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Dia terkejut, lalu terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak tertawa.
“Bukan. Saya tidak bekerja seperti itu.”
“…”
“Saya tidak melakukan hal yang melanggar hukum.”
“Be-begitu...”
Aku mengangguk pelan, lalu menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku benar-benar malu karena sudah bersikap bodoh di depan pria yang berusia 10 tahun lebih muda dariku. Aku menyesal karena telah kehilangan ketenangan di hadapan pria yang bahkan berusia lebih muda dari adik tiri laki-lakiku ini.
‘Tapi mana ada wanita yang tidak takut saat ada orang asing membawa senjata api di hadapannya, kan? Ini tidak memalukan. Ini adalah hal yang wajar.’
Saat masih berusaha mengembalikan kepercayaan diriku lagi, aku merasakan kelembaban dan basah di antara kedua pahaku.
‘Hah? Kenapa basah?’
Tidak ingat kalau Steven berada di hadapanku, aku langsung meraba-raba bagian yang kurasa basah.
“Anda mengompol...,” ucap Steven dengan ragu, menyadari kebingunganku akan diriku sendiri.
Aku menatapnya dengan mulut terbuka lebar, lalu melihat celana panjang ketatku yang memiliki bekas basah lebar di antara kedua pahaku.
‘Astaga... memalukan sekali!’
Aku langsung melompat dan berlari ke kamar mandi. Tapi tak lama kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pakaian ganti di lemari.
Steven memerhatikan kesibukanku sambil mengulum bibirnya. Aku tahu dia sedang menahan diri agar tidak tertawa.
‘Memalukan! Benar-benar memalukan!’
***
Saat kesegaran air membasahi tubuhku, aku akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Mencoba mengesampingkan pemikiran lain, aku menatap kembali ke lantai, pada pakaian kotorku yang berhamburan.
Saat aku bangun, aku masih berpakaian lengkap. Pakaian yang sama dengan yang kukenakan untuk pernikahan.
‘Dia tidak melakukan apa-apa padaku, kan?’
Aku akhirnya bisa meyakininya setelah ingat kalau dia bahkan tidak menggantikan celanaku yang basah. Dia mungkin benar-benar bukan orang jahat, yang sudah pasti akan memanfaatkan keadaan saat aku pingsan.
Aku menoleh ke cermin yang berada di balik pintu kamar mandi, menatap pantulan diriku yang ada di dalamnya.
‘Atau karena aku kurang menarik?’
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang. “Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan. Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain. “Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.” Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami. “Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang. “Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingi
Setelah makan kami tidak langsung pulang, ―walaupun aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang. Keinginan itu akhirnya kalah saat aku kebetulan melihat Steven menatap jalanan dengan wajah bingung yang aneh, di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia bingung atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya. Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati, ―kebetulan aku juga belum pernah pergi ke Mal itu dan sekalian saja aku ingin melihat-lihat ke sana.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan, wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak, dia mungkin sedang merindukan kampung halamannya.‘Padahal dia baru dua hari di sini. Bagaimana kalau sudah satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Mungkinkah dia akan pergi meninggalkanku setelah itu?' Pikiranku malah menyimpang ke sana. Aku tidak peduli juga sih. Tapi..
Aku dan Steven baru pulang kembali ke rumah kami jam 7 malam setelah selama seharian menghabiskan waktu berbelanja dan berjalan-jalan di Mal. Walau awalnya aku hanya ingin mengantarkannya berjalan-jalan, sejujurnya pada akhirnya aku sendiri juga menikmati waktu yang kami habiskan bersama hari ini, terutama karena aku bisa kembali berbaur dengan keramaian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ya, sudah sangat lama bagiku, yang hampir tidak memiliki waktu dan uang lebih, untuk berjalan-jalan seperti ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, akhir pekanku biasanya cuma kuhabiskan untuk membaca novel ringan atau melihat-lihat referensi destinasi wisata di Youtube yang kemudian akan kumasukkan dalam daftar tujuan liburanku suatu saat nanti. Aku bahkan tidak ingat kapan punya waktu luang untuk berjalan-jalan seperti hari ini. Waktu luang? Sebenarnya, mungkin bukan waktu luang yang tidak kumiliki, melainkan uang. Apa karena gajiku kecil? Tidak juga. Sebelumnya mungkin s
“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya langsung menyukai Anda setelah melihat foto Anda. Saya tidak memikirkan lainnya.” Entah kenapa, kata-kata berbau pujian dari Steven membuatku sedikit malu hingga aku akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaanku tanpa bertanya apa pun lagi. ‘Kenapa dia tidak bertanya balik? Apa dia tidak penasaran?’ Aku agak bingung kenapa Steven tidak mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Jika menjadi dia, aku pasti akan penasaran dan bertanya hal serupa juga padanya. ‘Atau… apa dia takut kalau aku minta bercerai karena menikah di bawah paksaan?’ Aku melirik padanya, ―yang sudah sibuk membuka kardus-kardus kecil kembali dan benar-benar tidak terlihat ingin bertanya hal yang sama padaku. ‘Tapi tidak mungkin.’ Aku menatap ke kamar, ingat berapa banyak uang yang ada di sana, ―yang dibawanya ke sana-kemari tanpa takut dirampok, juga memberikannya padaku dengan santai. Dia bisa dengan mudahnya menemukan wanita cantik dengan uang seserahan sebanyak itu. Khususnya p
Karena ini hari Minggu, aku sengaja tidak memasang alarm di ponselku dan aku pun akhirnya bangun jauh lebih siang dari biasanya. Hal pertama yang kuingat setelah melihat jam di ponselku adalah Steven. Tidak seperti kemarin, kali ini aku langsung mengingatnya, ―terutama setelah beberapa puluh menit tidak bisa tidur karena harap-harap cemas kalau dia akan datang menyambut baik ‘ajakan’ tak sengaja dariku. Aku melihat dan meraba-raba tempat di sebelahku tidur yang masih rapi dan tidak merasakan hangat bekas ditiduri di sana. ‘Bodoh... Kalau dia sudah bangun lebih dari 30 menit tentu tidak akan terasa hangat.’ Aku menatap tubuhku, melihat pakaianku yang masih lengkap. Aku juga melihat pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Entah kenapa, aku malah agak sedikit tersinggung. ‘Apa aku tidak menarik baginya? Apa karena jarak usia kami?’ Aku baru beranjak dari tempat tidur saat mendengar suara berisik di luar kamar untuk pergi mengecek sumber suara mengganggu tersebut. Perhatianku langs
Selama kami berada di rumah Pak RT, Steven berbicara jauh lebih banyak dariku, ―sementara aku sendiri menghabiskan lebih banyak waktu hanya untuk mendengarnya berbicara dan mengaguminya. Dia bisa mengimbangi topik pembicaraan apa pun dengan sangat baik, bahkan saat Pak RT yang sudah berusia hampir 70 tahun itu mengajaknya berbicara tentang zaman setelah era kemerdekaan yang tidak kutahu dan tidak kumengerti sama sekali. ‘Benar-benar di luar dugaanku. Berapa sih umurnya?’ “Teh-nya Neng…” Aku hampir melompat kaget saat Bu RT tiba-tiba muncul di sampingku dari dalam ruang keluarga mereka. Aku mengangguk dan tersenyum malu sembari menerima teh yang Bu RT suguhkan padaku. Bodohnya aku tadi dengan lancang dan tanpa sengaja menolak kopi yang ia buatkan hanya karena aku tidak menyukai kopi manis dan berampas. Untung saja Steven pandai mencari alasan hingga Bu RT bisa mengerti dan memakluminya ―bahkan dia merasa bersalah karena menghidangkan minuman tanpa bertanya terlebih dulu padaku. A
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam. Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan, ―dia bukannya ingin terlihat baik dimataku. Karena terlalu fokus memperhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba naik tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul, ―aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya! Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjangku untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba itu. Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di kamar seperti ini, di atas ranjang kami, malah membuat keingina
Aku baru terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Setelah mematikannya, aku berbalik, ingin tahu apakah Steven tidur bersamaku atau tidak, ―dan aku tidak melihatnya ada disampingku. Kami tidak melakukannya tadi malam. Steven tidak datang menghampiriku sampai aku akhirnya tertidur. Walaupun harga diriku sedikit hancur, namun aku tidak mempermasalahkannya. Aku tahu pasti ada yang dipertimbangkannya hingga ia masih tidak mau melakukannya, atau mungkin karena aku tidak mengatakan kalau aku menginginkannya secara jelas hingga ia ragu untuk melakukannya. Yang terpenting aku sudah memberinya izin dan aku juga sudah tahu kalau dia tampak tertarik pada tubuhku. Aku melihatnya dengan sangat jelas saat duduk di sebelahnya tadi malam. “Pagi...,” sapaku pada Steven yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Pa...gi...,” sahut Steven. Terlihat jelas kalau dia tampak takjub memandang tubuh dibalik gaun tidurku yang lumayan transparan. Aku mengalihkan tatapanku ke meja makan, ―sengaja ingin membiark