Raymond membuka kedua matanya. Di depan matanya, ia melihat sosok Hazel dengan rambut cokelat gelap panjangnya yang disampirkan ke samping telinga kirinya, mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Begitu melihatnya siuman, wajah khawatir Hazel sirna, berganti lega. Ia memandang ke sekelilingnya. Hanya ada Hazel. Apa Martha sudah pergi? Atau Martha hanya menghubungi ambulans dan meninggalkannya begitu ambulans tiba menjemputnya?
“Sudah siuman?”
Tubuhnya masih terasa lemas karena pengaruh obat bius. Ia memandang ke sekelilingnya sebelum perhatiannya tertuju pada Hazel yang duduk di sampingnya. Sejak kapan ia berada di klinik? Dan kenapa Hazel ada di sini?
“Apa masih terasa sakit? Perlu kupanggil dokter?”
“Nggak, nggak perlu.” Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Pelan-pelan ia mencoba untuk bangun dan duduk menyandar dengan bantal yang segera diletakkan Hazel di belakang untuk menopangnya. Bagus. Ini jauh lebih baik dibandingkan tadi. Kelihatannya ia sudah melewati masa kritis. “Kamu kenapa bisa di sini? Aku nggak ingat ngasih tahu lokasiku ke kamu.”
“Kebiasaan lama.” Hazel menjawabnya cepat, seolah itu hal yang normal.
Ia menaikkan sebelah alisnya. “Maksudnya?”
“Aku belum pernah cerita ke kamu?” Hazel mendekat padanya hingga jarak wajah mereka tersisa beberapa sentimeter. “Aku dulu membantu ayahku yang bekerja sebagai detektif swasta. Jadi menemukan keberadaanmu itu bukan hal yang sulit.”
Tunggu sebentar! Jadi wanita yang ada di depannya ini terbiasa membantu pekerjaan ayahnya yang bekerja sebagai detektif swasta? Berarti bukan Martha yang memberitahu Hazel, tapi Hazel sendiri yang mencari tahu keberadaannya? Fakta baru yang benar-benar mengejutkan. Siapa yang menyangka kalau wanita yang ada di sampingnya saat ini memiliki bakat sebagai detektif?
“Makasih, Hazel.”
“Kamu itu sama saja sama ayahku, selalu membuat orang khawatir. Hmph!” Hazel menggembungkan kedua pipinya yang malah membuat wanita ini terlihat sangat imut Ia tertawa, tidak menyangka melihat sisi Hazel yang bawel karena mengkhawatirkan keadaannya. Mungkin karena terbiasa membantu ayahnya, wanita ini sama sekali tidak menanyakan alasan kenapa ia sampai terluka seperti ini.
“Maafkan saya, Tuan Putri.” Ia menarik tangan kanan Hazel, mengecup punggung tangan wanita ini. Bisa ditebak, wajah wanita ini merona hebat karenanya, membuatnya ingin mengerjai wanita ini sekali lagi. “Nggak akan kuulangi lagi.”
Ia pura-pura meringis kesakitan sambil memegangi perutnya, ingin melihat reaksi Hazel.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak, masih agak sakit.” Ia berusaha keras menahan diri agar tidak tertawa saat melihat wajah Hazel yang begitu mengkhawatirkannya. “Mungkin kalau kamu menciumku, rasa sakitnya akan hilang.”
Ia tidak benar-benar serius saat mengatakannya. Seharusnya sebentar lagi wanita ini pasti akan memukulinya atau mungkin memarahinya karena candaannya.
Pasti begitu…
Eh?
Ia terkejut saat mendapati Hazel bergerak mendekatinya dengan mata yang terpejam dan wajahnya yang merona, menempelkan bibir mungilnya itu ke bibirnya.
“Sudah mendingan?”
Ah, sial! Manis banget sih!?
“Nggak gitu caranya ciuman, Hazel.” Ia tertawa pelan, menarik wanita ini mendekat padanya. “Tapi seperti ini.”
Ia membalas ciuman Hazel. Mencium aroma parfum yang dikenakan wanita ini memancingnya untuk menyentuh bibir mungil ini sekali lagi namun ia urungkan. Ditatapnya wanita yang ada di sampingnya itu lekat-lekat. “Aku suka kamu. Mau mempertimbangkan tawaran untuk menjadi pacarku, Hazel Skylar?”
***
Ia terus bersenandung, merayakan keberhasilannya karena pernyataan cintanya diterima Hazel, tidak mempedulikan dua orang perawat yang baru saja selesai merapikan kamar dan membantunya melepas infus serta mengurus administrasi klinik yang menatapnya seperti orang aneh. Ia tidak peduli. Setelah berdebat dengan dokter yang menanganinya agar memperbolehkannya pulangーdan berakhir dengan ia yang memenangkan perdebatan tersebut, dokter akhirnya menyerah, mengizinkan Raymond untuk rawat jalan walaupun dari kondisinya, ia masih harus diopname selama seminggu untuk memantau kondisinya. Ia bisa merasakan tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya, dan itu sudah cukup. Nyawa adik perempuan Arnold berada dalam bahaya, dan ia tidak punya waktu untuk menikmati kasur di klinik ini dan beristirahat dengan nyaman. Lebih baik waspada dan bergerak cepat, karena ia tidak tahu kapan musuh akan bergerak.
Selesai mengganti pakaiannya, ia keluar dari kamarnya, menghampiri Hazel yang sibuk bermain dengan ponselnya.
“Maaf lama,” Raymond menyodorkan tangannya, menawarkan diri untuk membawakan tas jinjing Hazel yang ditolak cepat oleh Hazel. Kelihatannya Hazel khawatir dengannya. Sambil berusaha menahan diri agar tidak melompat senang karena Hazel khawatir, ia kembali memaksa untuk membawakan tas jinjing itu hingga wanita itu menyerah.
“Nggak nanggung ya, kalau kamu sampai ambruk.” Hazel agak enggan menyerahkan tasnya setelah wanita ini memasukkan ponselnya di dalam tas itu.
“Iya, iya.”
Entah kenapa, Raymond merasa sisi Hazel yang sekarang ini sangat manis. Ia menarik tangan Hazel dengan tangannya yang bebas, menggandeng tangan mungil itu agar tidak menghilang dari hadapannya. Ia takut kalau fakta bahwa Hazel adalah pacarnya itu ternyata hanya salah satu dari mimpinya yang belum terwujud, sehingga begitu ia merasakan tangan mungil yang terasa hangat itu, ia baru benar-benar yakin bahwa wanita ini benar-benar Hazel Skylar, orang yang ia suka sejak pandangan pertama. Bukan berarti ia tidak pernah dekat dengan wanita. Di Morozov memang ada banyak wanita yang dekat dengannya, namun tidak semenarik seperti wanita yang berjalan di sampingnya ini. Begitu mereka keluar dari klinik, mereka baru menyadari bahwa hari sudah malam. Udaranya dingin, tapi pakaiannya yang tebal berhasil menghangatkan tubuhnya sekitar 75 persen. Ia menyadari Hazel terus berjalan dengan kepala menunduk, membuatnya sedikit khawatir. Apa wanita ini baik-baik saja?
“Hazel?”
“Iya?”
“Kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Hazel masih menunduk.
Gawat. Arnold pernah mengatakan padanya kalau wanita yang mengatakan bahwa mereka baik-baik saja itu sebenarnya mengerikan, karena bisa jadi mereka menyembunyikan sesuatu. Ia mulai khawatir. Apa langkahnya menyatakan perasaan pada Hazel terlalu cepat? Apa mungkin wanita ini sebenarnya menolak karena usia mereka yang terpaut agak jauh? Sial, ia tidak mempertimbangkan aspek umur sama sekali. Apa yang sebaiknya ia lakukan untuk memecah situasi canggung ini? Apa sebaiknya ia menarik pernyataan cintanya, menunggu sampai wanita ini benar-benar siap?
“Yakin? Bilang aja, nggak apa-apa.” Ia menghentikan langkahnya seraya melepaskan tangan Hazel dari genggamannya, lalu berdiri tepat di depan wanita ini, khawatir. “Apa sebaiknya aku tarik kembali pernyataan cintaku tadi, menunggu sampai kamu benar-benar siap?”
“Bu-bukan itu!” Hazel mendongakkan kepalanya, memandangnya dengan wajah yang merona hebat. Wanita ini melambaikan kedua tangannya, lalu memalingkan wajahnya begitu menyadari jarak mereka yang sangat dekat. “Itu, di kamar tadi…”
“Iya?” Ia menunggu Hazel menyelesaikan perkataannya tadi, tidak bisa menebak apa yang ingin dikatakan wanita ini padanya.
“Soal ci-ciu-ciuman itu,” suara Hazel bergetar saat mengatakannya.
Ah, ia paham sekarang.
“Maksudmu, yang tadi itu ciuman pertamamu, Hazel?” Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda Hazel. Wanita ini mengangguk.
“Oh, berarti aku jadi orang yang pertama yang menciummu, gitu?”
Wanita ini kembali mengangguk. Imutnya…
“Kupikir kamu merasa terganggu karena pernyataan cintaku.” Ia memandangi langit malam di kota Cirillo yang terlihat sangat cantik. Sudah dua bulan sejak ia tinggal di kota ini, namun ia masih belum terbiasa melihat langit malam yang dipenuhi oleh bintang-bintang. Di kota lamanya, pemandangan seperti ini sulit didapatkan. Polusi yang tebal menjadi alasan di baliknya. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Hazel. Dibandingkan dengan langit malam, wanita yang ada di sampingnya ini jauh lebih cantik.
“Bu-bukan!”
Ia tertawa melihat reaksi Hazel yang imut. “Iya, aku paham. Ngomong-ngomong, aku harus pergi ke suatu tempat untuk mengambil barangku. Kamu mau ikut?”
***
Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.
Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat
Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.
Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek
Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita
Begitu Raymond kembali ke apartemen, matahari sudah terbit. Hazel sudah pergi ke tempat kerjanya, karena ia tidak menemukan wanita itu di mana pun. Meninggalkan bubur yang sudah dingin dan beberapa obat yang harus ia minum di atas meja, lengkap dengan catatan di kertas Post It di atas tutup mangkuk bubur.Sudah kusiapkan bubur. Jangan lupa diminum obatnya.HazelIa menarik kertas itu dari tutup mangkuknya, menjejalkannya di dalam saku celananya. Memaksakan diri untuk membuka tutup mangkuk
Sudah dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi. Lukanya sudah pulih seperti semula, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak kembali bekerja di kafe Hazel, dan mendatangi rumah Thyme setelah waktu kerjanya di kafe ini selesai. Menjalankan dua pekerjaan sekaligus sangat sulit, sehingga harus ia akui, ia kagum pada Hazel yang bisa bekerja di dua tempat yang berbeda tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Kalau dipikirkan lagi, ia sama sekali tidak pernah mendengar Hazel mengeluh soal pekerjaannya. Sulit untuk menggambarkan apakah Hazel benar-benar menikmati pekerjaannya atau tidak, karena wanita itu selalu memasang wajah lesu setiap kali berangkat ke tempat kerja, dan malah terlihat bersemangat setiap kali pulang kerja. Bahkan wanita itu menyempatkan diri untuk membawa pulang makanan-makanan manis yang wanita itu buat di waktu senggangnya saat kafe sepi untuknya. Selalu memastikan untuk memberitahunya bahwa semua ma
Raymond meletakkan dokumen terakhir di atas meja kerja Thyme, mendapati Thyme tengah tertidur lelap—entah sejak kapan—meniduri tumpukan dokumen yang seharusnya ditanda tangani anak itu.“Thyme?” Raymond mencoba membangunkan Thyme dengan mengguncangkan sedikit bahu Thyme. Gagal. Sekali lagi ia mencoba membangunkannya, dan syukurnya berhasil. Bisa repot kalau Thyme sampai tidak bangun juga, karena itu berarti ia harus mengorbankan jam pulangnya untuk menunggu hingga anak itu terbangun.“Ah, maaf ketiduran,” kata Thyme.“Tidak apa. Tapi sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Bakal sakit kalau tidur di sini.”