Setelah bertahun-tahun hidup sebagai ketua mafia yang disegani, Anton "Si Tangan Besi" tiba-tiba memutuskan untuk pensiun dan bertaubat. Keputusan ini muncul setelah ia nyaris tewas dalam sebuah baku tembak dengan geng saingannya. Saat terbaring di rumah sakit, Anton mengalami mimpi aneh yang membuatnya yakin bahwa sudah waktunya meninggalkan dunia kejahatan dan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, keluar dari dunia mafia ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Anak buahnya tidak percaya dengan keputusan Anton dan mengira ini hanya strategi untuk menjebak musuh. Sementara itu, para rivalnya menganggap Anton sedang menyusun rencana rahasia untuk merebut kembali kekuasaan. Situasi semakin rumit ketika seorang detektif cerdik, Luki, mulai mengawasi setiap gerak-gerik Anton karena mencurigai niatnya. Anton berusaha membuktikan kesungguhannya dengan membuka warung kopi di sudut kota. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Salah satu geng lama Anton menculik keponakannya, memaksanya untuk kembali ke medan laga. Dengan bantuan Luki (yang terpaksa bekerja sama karena keadaan), Anton harus menghadapi masa lalunya sekali lagi—kali ini bukan untuk berkuasa, tapi untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. Bisakah Anton benar-benar lepas dari dunia mafia, atau takdir sudah menuliskan bahwa seorang "Si Tangan Besi" akan selalu menjadi bagian dari dunia gelap?
View MoreSuasana di gudang tua di pinggiran kota malam itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di lantai beton yang dingin. Bau asap rokok bercampur dengan aroma bensin menyebar di udara, menambah berat suasana. Di tengah ruangan, Anton "Si Tangan Besi" duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Tangannya menggenggam rokok yang hampir habis, sementara tatapannya kosong menatap lantai.
"Gua udah muak sama semua ini," gumam Anton pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Di hadapannya, tiga anak buahnya—Bono, Jaki, dan Reno—saling pandang dengan ragu. Mereka tahu betul kalau bos mereka jarang bicara soal perasaannya, apalagi menyatakan kebosanan terhadap dunia yang selama ini membuat namanya ditakuti di seluruh penjuru kota. "Bos, serius nih?" Bono akhirnya angkat bicara, nada suaranya setengah tidak percaya. "Kita udah hampir nguasain separuh kota. Tinggal nunggu waktu sebelum geng si Rudi keok. Masa lu mau cabut sekarang?" Anton menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu mematikan puntung rokok di asbak aluminium. Tatapannya tajam menatap Bono. "Lu pikir gua nggak capek? Setiap hari hidup di bawah bayang-bayang peluru? Bangun pagi nggak pernah tahu ini bakal jadi hari terakhir gua hidup atau nggak? Gua udah muak, Bon." Jaki tertawa kecil. "Jadi... lu mau jadi orang baik sekarang? Buka warung kopi? Jadi tukang bakso, mungkin?" Anton tersenyum tipis. "Mungkin aja. Buka warung kopi kayaknya enak." "Terus, modalnya gimana? Emang bisa dari penghasilan kita di dunia gelap itu? Kalau uangnya haram mau dikelola kayak gimana juga, ya tetep haram." Timpal salah satu anak buahnya, panjang kali lebar. Dengan tenang, Anton duduk di kursi barunya. Sudah memiliki modal dari tabungan lamanya, dari penghasilan yang halal. "Udah, kalian tenang aja..." Ketiga anak buahnya terdiam, menatap Anton seolah dia sudah kehilangan akal sehat. Reno menggeleng-gelengkan kepala. "Bos, lu tahu nggak kalau orang kayak kita nggak bisa keluar begitu aja? Dunia kita ini nggak punya pintu keluar." Anton berdiri. Tatapannya dingin dan penuh ketegasan. "Kalau nggak ada pintu keluar, gua bakal bikin sendiri." Malam itu, Anton benar-benar merasa bahwa hidupnya harus berubah. Semua ini bermula dari kejadian dua minggu lalu. Saat itu, Anton dan anak buahnya sedang mengatur transaksi senjata di pelabuhan. Semuanya berjalan mulus, sampai tiba-tiba geng Rudi datang membawa pasukan bersenjata lengkap. Peluru berdesing ke segala arah. Anton sempat berlindung di balik peti kayu, tapi satu peluru menembus bahunya. Rasa panas dan perih langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Darah mengalir deras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Anton pikir itu adalah akhir hidupnya—tapi di tengah kesadarannya yang mulai menipis, dia melihat sosok pria tua berjubah putih berdiri di hadapannya. "Ini bukan hidup yang seharusnya kau jalani," kata pria itu dengan suara dalam dan menenangkan. "Kalau kau ingin kesempatan kedua, tinggalkan dunia ini." Saat Anton sadar di rumah sakit tiga hari kemudian, kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya. Itu bukan sekadar mimpi, Anton yakin. Itu adalah peringatan. Sekarang, setelah keluar dari rumah sakit, Anton merasa inilah saatnya untuk berubah. Dunia mafia mungkin telah memberinya kekuasaan, uang, dan rasa hormat—tapi itu juga telah membuatnya kehilangan banyak hal. Teman-temannya mati satu per satu, orang-orang yang dia cintai menjauh, dan hidupnya selalu dihantui rasa cemas. Anton memutuskan untuk memulai semuanya dari nol. Dia membeli sebuah ruko kecil di sudut kota yang sudah lama kosong. Tempat itu dulunya adalah toko kelontong, tapi sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dengan bantuan beberapa orang kepercayaannya, Anton mulai merenovasi tempat itu. Cat dinding yang terkelupas diganti dengan warna krem yang lembut. Meja dan kursi kayu ditata rapi di sudut ruangan. Aroma kopi mulai menyebar ketika Anton mencoba mesin kopi yang baru dibelinya. "Mulai hari ini, kita ubah jalan hidup kita. Ke jalan yang lebih lurus, lebih aman, dan yang paling penting, lebih halal." Ucap Anton dengan bangga kepada para anak buahnya. Suatu pagi, ketika Anton sedang mengepel lantai, pintu ruko terbuka. Luki, seorang detektif dari kepolisian, masuk dengan tatapan curiga. Luki adalah musuh lama Anton—atau lebih tepatnya, rival yang selalu gagal menangkapnya. "Si Tangan Besi buka warung kopi?" Luki menyandarkan dirinya di ambang pintu, tangannya disilangkan di dada. "Ini rencana baru buat nyamar, ya?" Anton menatap Luki sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. "Gua udah pensiun, Luk. Cuma mau cari hidup yang tenang." Luki tertawa sinis. "Orang kayak lu nggak bisa hidup tenang. Cepat atau lambat, masa lalu bakal nyeret lu balik." Anton berhenti mengepel. Tatapannya dingin. "Kita lihat aja." Selama beberapa minggu pertama, semuanya berjalan lancar. Warung kopi Anton mulai ramai. Orang-orang datang bukan hanya karena rasa kopinya yang enak, tapi juga karena ingin melihat apakah benar seorang mantan mafia bisa berubah jadi warga sipil biasa. Di Warkopnya tersedia berbagai varian, ada kopi espresso, latte, dan juga varian lainnya. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Akan cepat berganti dengan ketegangan. Suatu malam, ketika Anton sedang merapikan meja, telepon di konter berbunyi. Anton mengangkatnya, dan suara di ujung sana langsung membuat darahnya membeku. "Bos Anton," suara itu berat dan dingin. "Kau pikir bisa keluar semudah itu?" Anton terdiam. Jantungnya berdebar. "Keponakanmu, Rina, ada di tangan kami sekarang. Kalau kau mau dia selamat, kau tahu harus melakukan apa." Suara penelpon itu tidak terdengar asing di telinga Anton, sudah lama ia mengenalnya. Telepon terputus. Anton menggenggam gagang telepon erat-erat, matanya berkilat marah. Dalam hitungan detik, insting lamanya kembali muncul. Pintu warung kopi terbuka, dan Luki berdiri di ambang pintu dengan tatapan serius. "Masalah?" Anton menatap Luki tajam. "Mereka bawa keponakan gua." Luki menghela napas panjang. "Gua bilang juga apa. Dunia lu nggak bakal ngelepas lu semudah itu." Anton mengambil jaket kulit hitamnya dari gantungan. "Kalau mereka pikir gua bakal tinggal diam, mereka salah besar." Luki menyeringai. "Gua ikut." Anton menatap Luki sejenak, lalu mengangguk. "Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nyalahin lu." "Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nangkep lu," balas Luki dengan senyum kecil. Luki ingin menguji kesungguhan Anton untuk keluar dari dari gelap ini. Anton berjalan keluar, diikuti Luki. Malam itu, Anton tahu satu hal pasti—jalan keluar dari dunia gelap tidak akan semudah yang ia bayangkan. Tapi kali ini, dia tidak akan berjuang untuk kekuasaan atau uang. Dia berjuang untuk orang yang ia cintai. Dan untuk itu, dia rela menghadapi apa pun.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments