Share

Bab 7

Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.

Pukul 9 malam. Belum terlalu larut. Harusnya kedua anak itu masih terjaga. Agak ragu, Raymond menekan tombol bel yang ada di dekat pagar rumah.

“Siapa?” Terdengar suara Gerald dari kotak suara yang ada di atas bel rumahnya, menjawab dengan nada ketus.

“Orang yang tadi bersama Amanda.”

“Sebentar.”

Tidak butuh waktu lama untuk menunggu Gerald karena kurang dari semenit, anak itu sudah berlari keluar dari rumahnya, membuka pintu pagarnya.

“Masuklah.” Ia menangkap sedikit nada gusar saat anak itu mengatakannya. Ia menyadari tatapan anak itu yang mengarah pada Hazel yang bersembunyi di balik punggungnya.

“Dia pacarku. Nggak keberatan kan, kubawa juga?”

“Ah. Jadi kasihan sama Amanda.”

“Ada apa memang?” Raymond kebingungan mendengar perkataan Gerald. Tapi anak itu malah mengangkat bahu, tidak berniat untuk menjelaskannya, memberi kode pada mereka berdua untuk segera masuk ke dalam.

Dengan sikap gentleman, Raymond mempersilakan Hazel untuk masuk terlebih dahulu, lalu dia yang menutup pintu rumah itu seraya meletakkan sepatu yang ia kenakan di rak sepatu yang berada di dekat pintu masuk rumah. 

“Permisi,” ujar Hazel sambil membungkuk sedikit. Gerald, menoleh sekilas, menyunggingkan senyum senang karena sikap sopan Hazel, dan melemparkan tatapan tajamnya pada Raymond yang tidak ia gubris. Mengikuti Gerald, mereka melangkah masuk, melewati berbagai ruangan sebelum akhirnya tiba di ruang tamu yang letaknya agak ke belakang. Struktur rumah yang aneh. Kelihatannya pemilik rumah ini bukan tipe yang suka menerima tamu. Raymond melihat wajah Amanda yang awalnya senang saat melihatnya, lalu kecewa begitu melihat sosok Hazel yang berdiri di sampingnya.

Hm, sebentar. Sepertinya ia paham apa yang dimaksud dengan perkataan Gerald di depan rumah tadi.

“Kopi, teh, atau cokelat panas?” Gerald berjalan menuju ruang dapur yang berada di belakang ruang tamu, bersebelahan dengan ruang makan. 

“Kopi,” ujar Raymond sambil duduk di atas kursi, merebahkan kepalanya ke sandaran kursi tersebut, “jangan terlalu manis.”

“Kamu kira ini kedai kopi?” Gerald memutar bola matanya, menahan dongkol. Tapi kelihatannya anak itu tetap membuatkannya karena tercium aroma kopi dari dapur.

“Ng… cokelat panas saja, kalau tidak merepotkan.” Hazel ragu-ragu duduk di sampingnya. Matanya terus mengawasi sekeliling rumah ini, sambil sesekali mengamati benda-benda yang ada di sekitarnya. Untuk ukuran orang yang sering membantu pekerjaan detektif, Hazel itu sangat kaku. Sepertinya Hazel bukan tipe yang sering membantu ayahnya untuk urusan di lapangan, tapi lebih ke pencarian yang menggunakan data. Sebentar, kalau begitu, berarti pacarnya ini juga berasal dari kota yang sama, dong? Setahunya, hanya orang-orang dari Morozov saja yang begitu menggilai data. Mungkin sebaiknya ia tanyakan pada Hazel suatu hari nanti, saat ada kesempatan.

“Sama sekali nggak kalau buat Kakak.” Sikap Gerald jauh lebih ramah saat berbicara dengan Hazel, sehingga membuatnya sedikit jengkel karenanya. Anak sialan…

Sudahlah, lebih baik ia abaikan saja. Tidak ada waktu untuk meributkan hal remeh. Luka akibat tembakan peluru tadi kembali berdenyut, sepertinya karena efek obat biusnya sudah mulai menghilang. Ia butuh obat pereda nyeri, tapi tidak sekarang. Keinginannya untuk meminum kopi hitam yang pekat dan merokok jauh lebih kuat daripada rasa nyerinya, sehingga begitu Gerald kembali dari dapur dengan membawa empat cangkirーsalah satunya adalah kopi hitam yang pekat sesuai keinginannyaーia langsung mengambilnya sebelum Gerald memberikannya padanya dan menyesapnya. Ia tidak mempedulikan Gerald yang memberikan masing-masing cangkir pada Amanda dan Hazel sambil bergumam merutukinya, membuat anak ini semakin mirip dengan ibu-ibu.

Begini lebih baik. Kalau ia bisa merokok, mungkin akan ia lakukan sekarang. Tapi kelihatannya mustahil mengingat ia lupa membawa asbak portable dan di rumah ini tidak menyediakan asbak sama sekali, sehingga terpaksa ia mengurungkan niatnya.

“Maunya nggak ngundang kalian masuk sebenarnya. Tapi kamu berhutang penjelasan padaku,” Gerald membenarkan letak kacamatanya begitu duduk di kursi yang letaknya agak jauh dari Raymond.

Raymond meletakkan cangkirnya yang kini tersisa setengah, lalu menghela napas panjang. Sebenarnya ia tidak siap untuk mengatakannya. Tapi apa yang dikatakan Gerald tadi benar. Ia memang berhutang penjelasan pada dua anak ini. 

“Kalau gitu langsung saja ke poin pentingnya: Aku ke kota ini untuk menyelidiki kasus kematian temanku dua bulan lalu.”

“Lalu? Apa hubungannya dengan kami?” Gerald mencondongkan tubuhnya. Lututnya menghadap ke arahnya, menandakan kalau anak ini tertarik dengan ceritanya.

“Itu dia. Petunjuknya ada pada secarik kertas yang ditinggalkan temanku sebelum ia mati. Dan itu tentang kamu, Amanda Chloe.”

Amanda tampak terkejut mendengarnya. “Aku?”

“Ya. Makanya aku datang ke kota ini. Aku tidak tahu kalau kamu adalah adik temanku sampai hari ini. Yang jelas, aku khawatir kalau orang yang membunuh temanku itu kini bergerak mengincarmu.”

Amanda terlihat syok mendengar penjelasannya, memandangnya dengan tatapan tidak percaya. “Nggak. Aku ingat banget kalau aku ini anak tunggal!”

“Awalnya aku juga mengira seperti itu. Tapi itu baru dugaanku untuk sementara.”

“Sebentar,” sela Gerald, saat ia hendak melanjutkan pembicaraannya, “berarti maksudmu, Amanda sebenarnya punya kakak Pria yang tidak Amanda ketahui, lalu sekarang temanku ini berada dalam bahaya? Kok kayak cerita fiksi yang sering kubaca, sih?”

“Soal cerita fiksi yang sering kamu baca, itu bukan urusanku.” Raymond menahan dongkol. Bisa-bisanya anak ini menyamakan keadaan temannya saat ini dengan cerita fiksi. “Malam ini harusnya aman. Orang-orang itu tidak akan datang malam itu, kujamin. Tapi aku nggak tahu kalau besok. Makanya, hari ini kuminta Amanda untuk menginap di rumahmu.”

“Aku paham.”

“Yah, karena kelihatannya kamu nggak bisa bela diri, jadi besok Amanda akan kubawa ke tempat yang aman untuk sementara waktu sampai keadaan kembali normal. Itu rencana sementara.”

Gerald menimang sejenak perkataannya, lalu menunduk lemas. “Sebel sih, tapi kata-katamu benar.”

“Aku nggak tahu,” Raymond bisa mendengar sedikit keraguan di nada bicara Amanda saat ia mempersilakan anak ini untuk berbicara. “Tentang aku yang ternyata punya kakak. Aku yang diincar oleh orang yang bahkan nggak kuketahui. Aku… aku…”

Raymond menghela napas panjang, sambil memegangi luka bekas tembakannya yang nyerinya bukan main, memandang Gerald yang tengah menenangkan Amanda yang mulai menangis. “Gerald, apa Priska bisa bela diri?”

“Setahuku nggak, sih. Tapi Thyme bisa.”

Apa? Thyme? Anak Pria berparas imut itu? Serius?

“Badannya memang mungil, tapi setahuku ayahnya itu mafia di kota ini, jadi dia bisa bela diri.”

Ia tertawa miris dalam hati. Pantas saja selama ini ia kesulitan mencari tahu latar belakang Thyme selain publikasi tentang kekayaan dan perusahaan kepala keluarga Umberbridge. “Apa kita bisa minta Thyme untuk memperbolehkan Amanda tinggal di rumahnya sementara waktu? Seenggaknya sampai situasinya aman.”

“Akan kucoba.”

“Kalau gitu semuanya sudah beres,” Raymond beranjak dari kursinya setelah meneguk kopi hitamnya yang sudah dingin hingga tak bersisa, “kami pamit dulu. Makasih untuk kopinya.”

***

Raymond meminum obat pereda nyerinya begitu mereka tiba di apartemen, lalu menyandarkan tubuhnya di atas kursi sofa. Nyeri sialan! Kenapa muncul di saat yang tidak tepat, sih?

“Raymond, kan udah kubilang. Obatnya itu diminum setelah makan,” Hazel cemberut begitu tahu ia sudah meminum obatnya tanpa menunggu Hazel yang tadi pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan piyama tidur motif panda berwarna kuning dan cocok dengan Hazel. Tangan wanita itu bersedekap berdiri di depannya, menunggu penjelasannya.

“Maaf.”

“Kali ini kumaafkan,” Hazel mendesah, lalu berjalan menuju dapur, “mau kue yang kemarin?”

“Boleh.”

“Oke. Oh, sampai lupa. Jangan coba-coba untuk merokok, seenggaknya sampai lukamu pulih. Dokter yang bilang.”

“Iya, aku paham Hazel,” jawab Raymond, agak enggan, karena ia baru saja akan beranjak dari kursi sofanya dan mengambil stok rokok yang ada di kamarnya. Sial. Mulutnya gatal karena ingin menghirup asap rokok yang biasanya bisa menenangkan pikirannya yang kalut. Bisa mati dia kalau terus begini.

Tapi, ada untungnya juga ia terkena peluru tadi. Ia jadi tahu sisi lain Hazel yang perhatian. Mungkin kondisinya sekarang nggak buruk-buruk amat. Lebih baik ia nikmati saja. Kesempatan seperti ini kan jarang terjadi. Walaupun harus mengorbankan keinginannya untuk merokok.

Raymond melihat Hazel yang kini kembali ke ruang tamu, menyodorkan piring yang berisi kue kemarin dan air mineral. Lalu setelah meletakkannya di atas meja, Hazel duduk di sampingnya. Menyentuh keningnya dengan punggung tangannya lalu membandingkan dengan suhu tubuhnya sendiri untuk mengecek suhu badannya. Membuka sedikit pakaian Raymond, memeriksa kalau-kalau lukanya kembali terbuka, lalu menutup kembali setelah mendapati bahwa lukanya tidak terbuka. Sebentar. Kok rasanya ia seperti tinggal bersama perawat?

“Hazel?”

“Hm?” Wanita itu merapikan bungkus obat yang berantakan karena ia mengambil obat itu terburu-buru tadi, tidak menoleh padanya. 

“Bisa suapin, nggak?” Raymond tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Sebenarnya bisa saja ia makan kuenya sendiri, tapi ia ingin melihat reaksi Hazel.

“Bentar, ya?” Hazel tertawa melihatnya merajuk, lalu mengambil piring itu, menyendokkan kue itu pada Raymond yang tidak menyangka kalau pacarnya ini benar-benar melakukannya. “Buka mulutmu.”

Raymond menunduk, lalu membuka mulutnya. Rasa manis kue menjalar ke seluruh rongga mulutnya yang terasa pahit, ditambah dengan senyum Hazel yang sangat manis sudah membuatnya melupakan keinginannya untuk merokok.

“Ada yang mau kutanyakan padamu, Raymond.”

“Ya?” Ia kembali membuka mulutnya setelah selesai mengunyah suapan pertama dari Hazel, melahap suapan kedua.

“Jadi, alasanmu datang ke kota Cirillo ini bukan untuk mencari suasana baru, tapi dalam rangka penyelidikan?”

Raymond menggeleng, menelan kuenya lalu menghentikan tangan Hazel yang hendak menyendokkan kue itu untuk ketiga kalinya. “Nggak juga. Aku memang mencari suasana baru selain karena menyelidiki kematian temanku. Tapi bertemu denganmu itu bonus tambahan yang kuambil dengan senang hati.”

Hazel segera memalingkan wajahnya menjauh darinya. “A-a-paan sih?”

Ia tertawa pelan. Melihat tas belanja yang tergeletak manis di atas meja membuatnya teringat kalau ia belum memberikan barang yang ia beli tadi pada Hazel. Ia menjauhkan tangannya dari Hazel, mencondongkan sedikit tubuhnya untuk meraih tas belanja yang terbuat dari kertas berwarna cokelat, memberikannya pada Hazel. “Untukmu.”

Sekarang, tinggal menunggu reaksi Hazel. Wanita ini meletakkan piringnya, terlihat antusias saat membuka tas belanja itu. Matanya berbinar begitu mendapati isi dari tas itu, menatap Raymond tidak percaya.

“Cantik sekali…” Hazel mengamati lekat-lekat cangkir itu. Kelihatannya Hazel menyukainya. Keputusannya untuk membeli set cangkir yang harganya cukup mahal ini sangat tepat. Untung saja pikiran negatif yang sempat melintas di pikirannya soal Hazel yang tidak akan menyukai hadiahnya itu tidak benar.

“Aku tadi membelinya karena kupikir desainnya cocok denganmu. Suka?”

Wanita ini mengangguk, dan langsung berlari meletakkan set cangkir pemberiannya ke dapur sambil melompat kegirangan. Melupakan tugasnya untuk menyuapkan kuenya hingga habis. Sudahlah. Melihat Hazel yang senang karena hadiah pemberiannya sudah membuatnya senang. Ia menatap kue yang tersisa itu agak enggan, menghabiskan kue itu. Lalu tanpa ia sadari, ia sudah tertidur di kursi sofa begitu efek obatnya bekerja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status