Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.
Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print.
"Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda.
"Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya.
"Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.
Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat, laki-laki itu menyetor jari telunjuknya ke mesin absen, lalu berjalan menuju lift.
Nadine menggerutu dan menghentakkan kaki karena kesal. Baru kali ini ada seseorang yang menolak pesonanya. Selama ini, hanya dengan modal senyuman, kaum Adam akan bertekuk lutut bahkan mengejar untuk mendapatkan perhatiannya.
"Kasihan Nadine, dicuekin Pak Bima."
"Iya, ganjen amat, sih. Semua mau diembat."
"Eh, denger-denger Pak Dirut juga udah kena perangkap dia, ya."
"Katanya sih begitu. Gak tau, deh."
"Dasar serakah. Bagus aja Pak Bima nolak dia. Biar kita-kita juga kebagian."
Begitulah bisik-bisik yang santer terdengar. Nadine memilih untuk diam dan tak peduli, lalu mengantre di lift setelah menyetor absen. Sayangnya, Bima sudah naik duluan. Sehingga kesempatannya untuk kembali mendekati laki-laki itu, menjadi pupus seketika.
"Pagi, Pak," ucap Tiara, gadis manis yang beberapa bulan ini menjadi sekretaris Bima.
"Ya," jawab laki-laki itu singkat sembari membuka kunci ruangan dan masuk dengan cepat.
Sudah hampir empat bulan Bima bekerja di kantor itu, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sosok Annisa masih saja bergelayut di pelupuk mata, juga mengganggu tidur malamnya.
Entah sudah berapa banyak wanita yang mencoba mendekati, beberapa di antaranya bahkan dengan sengaja dikenalkan. Namun cinta, sekaligus perasaan bersalah kepada Annisa terus saja membayangi.
Ada rasa perih di hati Bima saat ibunya mengatakan bahwa Annisa menolak lamaran mereka. Lalu, rasa menyesal kembali muncul. Ternyata setelah menodai wanita itu, cintanya tetap tak berbalas. Namun, secara diam-diam dia tetap berusaha mendekati sang pujaan hati secara perlahan.
Bima merasa masih ada harapan untuk merebut hati Annisa kembali, sekalipun dia tahu itu penuh perjuangan. Apalagi ada banyak kenangan indah mereka sewaktu kuliah.
Begitu pintu terbuka, Bima langsung menyalakan pendingin ruangan, lalu meletakkan tas di meja. Dia duduk dengan tenang dan menyalakan PC dan mulai memeriksa beberapa email yang masuk.
Ada sedikit kendala di beberapa divisi mengenai jaringan, juga rencana perusahaan yang akan menerapkan program baru untuk memudahkan laporan.
Saat sedang serius membalas email, ponselnya bergetar tanda ada panggilan yang masuk.
"Ya, Bu?" Bima menjawabnya ketika nama sang ibu tertera di layar ponsel.
"Sibuk, Nak?" tanya Ratih.
"Kayak biasa, Bu. Namanya juga kerja," jawabnya sembari mengutak-atik laporan yang harus dikirm saat itu juga.
"Besok libur, 'kan?"
"Iya, Bu. Memangnya ada apa?" tanya Bima serius. Biasanya kalau ibu menelpon di saat jam kerja, berarti ada hal penting yang akan dibicarakan.
"Besok Ibu mau pergi arisan sama ibu-ibu komunitas amal. Kamu bisa antar?"
Bima menghela napas karena sudah tahu apa maksudnya. Sudah sering dia diminta mengantar ibunya berpergian. Pada akhirnya, tujuan utama mereka adalah perjodohan.
"Lihat nanti ya, Bu. Biasanya kalau hari Sabtu, aku diminta training tim IT cabang kecil," jawabnya.
Sebenarnya di perusahaan itu ada beberapa karyawan senior yang ikut mendaftar sewaktu lowongan manager dibuka. Namun, berkat ijazah sekolah di luar negeri itulah Bima diterima bekerja dan langsung menempati posisi yang cukup tinggi.
Ada banyak komplain dan cibiran yang menghampirinya di awal bekerja. Bima tetap berusaha untuk tenang saat menanggapi itu semua. Dia membuktikannya dengan prestasi. Itu terwujud dalam waktu tiga bulan berjalan. Sistem instalasi, jaringan software maupun hardware menjadi lebih lancar dari sebelumnya. Atas usulnya juga, perusahaan dalam waktu dekat akan menerapkan program baru, sehingga laporan input data penjualan lebih mudah dan cepat untuk di-entry.
Perusahaan memang akan mengeluarkan banyak biaya kali ini. Namun, sesuai dengan hasil yang akan didapat, karena program yang baru lebih efisien dalam menghemat waktu, juga meminimalisir kesalahan.
"Ya jangan begitu jawabnya. Pokoknya besok harus bisa. Ibu tunggu!"
Ratih memutuskan panggilan setelah sedikit memaksa putranya. Sebenarnya bisa saja mereka membicarakan itu di rumah, tetapi Bima selalu pulang larut malam sehingga dia sudah tertidur.
Bima sendiri memang tak pernah langsung pulang ke rumah selesai jam kantor. Dia akan duduk di cafe untuk menikmati segelas kopi dan sepotong cheese cake bersama teman-temannya. Satu kebiasaannya sejak tinggal di luar negeri yang belum bisa ditinggalkan sampai sekarang.
Setelah suara ibunya menghilang bersamaan dengan sambungan yang terputus, tiba-tiba dia teringat akan sesuatu hal dan menelepon seseorang.
"Gimana dengan pesanan saya. Apa sudah dikirim?" Dia bertanya kepada seseorang di seberang sana.
"Sudah. Sesuai dengan pesanan Bapak. Jika sesuai jadwal, harusnya hari ini sudah sampai."
Bima mengangguk mendengarkan penuturan itu, lalu menutup telepon setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas.
Setelah meletakkan ponsel di meja, Bima melanjutkan pekerjaan hingga tiba makan siang. Kali ini dia meminta Tiara untuk mengantarkan makanan ke ruangan, karena tak keburu waktu untuk ke luar.
"Masuk!" ucapnya ketika mendengar suara pintu diketuk.
"Hai, Bim!" Sebuah sapaan manja terdengar bersamaan dengan masuknya sesosok wanita cantik.
"Loh, ngapain kamu ke sini?" tanya laki-laki itu heran ketika melihat Nadine dengan santainya duduk di sofa ruangan.
"Mau ajak kamu makan siang," jawab wanita itu sembari tersenyum manis.
"Aku udah pesen online. Sorry," tolak Bima halus. Nadine seperti tak tahu malu karena masih saja terus mengejarnya.
"Kalau gitu kita makan bareng. Aku pesen online juga," katanya dengan begitu percaya diri.
Bima menggelengkan kepala karena sudah tak dapat berkata. Ketika pesanan makanannya tiba, mau tak mau mereka duduk makan bersama sembari bercerita.
***
Annisa bergegas memakai hijab saat ada yang mengetuk pintu rumah. Bapak masih di sawah pada jam segini, sehingga dia sudah bisa menduga bahwa yang datang itu adalah tamu.
"Ya?" Dia bertanya kepada seorang laki-laki berseragam yang berdiri di depan pintu.
"Ibu Annisa?"
"Benar," jawabnya singkat.
"Ini ada paket."
Annisa menerima kotak itu lalu melihat siapa pengirimnya. Ternyata dari ibu mertua. Sejak kedatangannya tiga bulan lalu, mereka tetap berkomunikasi dengan baik, sekalipun dia secara terang-terang menolak lamaran Bima.
"Tanda-tangan di sini ya, Bu," ucap si pengantar paket sembari menyerahkan sebuah pulpen.
Annisa menorehkan coretan tangannya kemudian menutup pintu setelah petugas paket pergi. Dia meletakkan kotak itu di meja dan mengambil gunting, lalu memeriksa isinya.
Wajah Annisa sembringah ketika melihat apa isianya. Beberapa baju hamil dan hijab panjang dengan warna senada. Wanita itu membuka bungkusnya satu per satu dan terkejut saat melihat isi kartu ucapan yang terselip di salah satu baju.
'Semoga kamu suka. Bima.'
Ada perasaan tak enak ketika Annisa membaca pesan itu. Jelas bahwa Bima lah yang sebenarnya mengirim bingkisan hanya mengatas namakan ibunya. Entah apa maksud dari laki-laki itu, yang pasti dia tak akan memakainya.
Annisa mengusap perutnya yang sudah mulai telihat membuncit. Rasa mual dan muntahnya sudah berkurang, justru selera makannya kini meningkat. Wanita itu memasukkan kembali isi bingkisan ke dalam kotak dan menyimpannya di kamar.
Ada rasa bimbang di hatinya, antara ingin mengatakan hal yang sebenarnya atau tetap menutup rapat semua aib. Lalu, dia kembali meneguhkan hati kepada keputusan awal, bahwa ayah dan ibu mertuanya tak boleh mengetahui kejadian itu.
Annisa berjalan ke dapur, hendak menyiapkan makan malam untuk ayahnya yang sebentar lagi akan pulang. Wanita itu berencana akan mencari pekerjaan jika nanti putranya sudah lahir.
Annisa tak mungkin membebankan semua biaya kepada sang ayah mengingat kondisi fisiknya yang semakin renta. Semoga mereka diberikan rezeki yang berlimpah untuk menyambung hidup agar lebih baik.
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari
"Muhammad Attar," ucap Annisa ketika ditanya siapa nama putranya."Dia suci. Ibunya yang telah berdosa," lanjutnya dengan air mata bercucuran.Semua orang menjadi haru ketika melihat itu. Ratih memeluk menantunya dengan erat untuk menguatkan. Pandu mengusap air mata saat pertama kali menggendong Attar. Sementara Bima menahan keinginan mendekap bayi mungil itu karena larangan Annisa.Satu bulan Attar dirawat di ruang NICU karena mengalami kendala di saluran pernapasan. Setiap hari Annisa datang ke rumah sakit untuk membesuk putranya. Beberapa kali dia bahkan diberikan kesempatan untuk mengganti popok atas seizin perawat ruangan.Attar akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya mulai membaik, dengan syarat harus rajin kontrol ke rumah sakit untuk perkembangannya.Bima sendiri kerap meluangkan waktu untuk setelah pulang bekerja untuk melihat putranya. Sejauh ini, laki-laki itu telah berkorban banyak hal. Salah satunya menjual motor
Bima terbangun saat mendengar suara berisik di dapur, disertai dengan bau harum masakan yang menguar di hampir semua ruangan. Laki-laki berjalan ke belakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan kompor. Gerakan Annisa yang sedang mengaduk sesuatu itu membuatnya menelan ludah. Seksi."Masak apa?" tanya Bima sembari melipat tangan di dada dan bersandar di daun pintu.Annisa membalikkan badan dan menatap laki-laki itu sesaat, lalu mengalihkan pandangan dan lanjut memasak.Mendapat perlakuan seperti itu, Bima berjalan mendekati istrinya."Kayaknya enak," ucapnya sembari mengintip ke arah kompor dari balik tubuh Annisa.Bug!Tiba-tiba saja sendok penggorengan mendarat mulus di wajah Bima, sebagai reaksi dari Annisa yang terkejut. Wanita itu tak menyangka jika suaminya berjalan mendekat, dengan posisi seperti hendak memeluk dari belakang."Jangan kasar sama suami, Nis," ucap Bima mengaduh seraya mengusap hidu
Bima memarkir mobilnya memasuki pekarangan. Suasana tampak sepi, sehingga dia langsung mengambil kunci cadangan dan masuk ke rumah. Laki-laki itu menyimpan sepatu di rak dan meletakkan tas di meja, lalu berjalan menuju kamar.Dengan pelan Bima membuka gagang pintu kamar dan merasa senang saat mendapati itu tidak dikunci. Lalu, dia menuju ranjang di mana Annisa sedang tertidur pulas di samping Attar.Annisa dan Attar tertidur dengan posisi saling berpelukan, sehingga membuat Bima iri. Dia ingin merasakan hal yang sama, terutama ... memeluk istrinya lagi. Senyum melengkung di bibir Bima saat melihat kedua wajah itu. Dikecupnya pipi Attar dengan lembut, lalu beralih menatap Annisa. Laki-laki itu menimbang-nimbang beberapa sesaat, lalu menyetuh dahi istrinya dengan penuh rasa sayang. Dalam hati berucap, semoga suatu saat dia bisa ikut berbaring di sana bersama mereka.Bima hendak ke luar kamar ketika terdengar suara gerakan. Sehingga dia
Hari Minggu pagi.Annisa sedang sibuk mengolah bahan makanan di dapur, sementara itu Bima membawa putranya bermain di depan rumah. Tak terasa kini usia Attar memasuki bulan kelima. Anak itu sudah bisa tengkurap dan melempar mainan yang berada didekatnya. Sapaan para tetangga yang menanyakan perkembangan Attar dijawab Bima dengan antusias. Dia menceritakan bagaimana perjuangan anak dan istrinya pada saat persalinan dulu. Setelah merasa cukup mendapat sinar matahari, laki-laki itu membawa putranya masuk ke rumah."Mama ... siapkan air mandi Attar, dong," ucap Bima sembari duduk di sofa dan mengajak putranya berbincang.Annisa yang sejak tadi sibuk memotong sayur, berjalan ke depan dan mengintip dari balik pintu. Bima tampak asyik bercerita, sementara Attar tertawa senang dan mencoba menyentuh wajah ayahnya.Mereka berdua begitu mirip bak pinang di belah dua. Hanya saja, Attar mewarisi bibir Annisa yang tebal. Bibir yang membuat Bi