Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius.
"Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"
Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.
Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga.
"Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.
Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.
Mencari pengganti pasangan yang sudah tiada itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.
"Untuk saat ini, Nisa tetap ingin sendiri, Pak. Biarlah dia dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu. Lagi pula, Bima kan ... bisa mencari orang lain. Kenapa harus Nisa?" katanya terbata saat menyebut nama laki-laki itu. Betapa dia merasa jijik setiap kali harus mengucapkannya.
Pandu menarik napas panjang mendengar itu, lalu berkata. "Kalau memang begitu keputusanmu, Bapak menghargai. Nanti Bapak akan bicara dengan Mbak Ratih mengenai jawabanmu."
Annisa mengangguk tanda setuju. Selintas dia teringat saat pertama kali berkenalan dengan Bima, saat acara pentas seni untuk amal yang diadakan fakultasnya. Dia ditunjuk menjadi panitia yang bertugas mengundang ketua angkatan fakultas lain. Ketika mengantarkan undangan, laki-laki itu adalah salah satu penerimanya.
Berawal dari itulah mereka mejadi dekat. Wajah Annisa yang ayu dengan tutur kata lembut, membuat Bima mabuk kepayang. Akhirnya setelah melakukan penjajakan beberapa bulan, dia mengiyakan saat laki-laki itu menyatakan cinta.
Bima yang tampan juga pintar memang banyak disukai kaum Hawa. Namun, hatinya telah tertambat pada satu wanita. Annisa gadis desa yang sederhana dan keibuan.
Sayang, setelah lulus kuliah, mereka harus berpisah karena Bima akan meneruskan pendidikan ke luar negeri. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2. Sejak itulah hubungan mereka menjadi renggang.
Annisa mencurigai bahwa laki-laki itu memiliki kekasih lain dengan melihat foto-foto mereka yang begitu mesra di media sosial. Hanya saja Bima menyangkalnya berulang kali. Sikapnya juga semakin tak peduli dan jarang memberikan kabar.
Puncaknya ketika sebuah foto mesra diunggah oleh Bima ketika bersama seorang wanita saat perayaan hari Valentine. Itu membuat Annisa kecewa dan patah hati.
Kehadiran Rahman yang awalnya dimanfaatkan Annisa untuk mencari info tentang adiknya, justru malah mendekatkan mereka. Apalagi setelah laki-laki itu menceritakan bahwa dia menderita suatu penyakit dan ingin menikah atas keinginan sang ibu.
Annisa dengan begitu yakin menerima pinangan Rahman untuk menjadi istri, tanpa mengatakan hal itu langsung kepada Bima.
Berbeda dengan adiknya, Rahman begitu baik dan sopan. Dia juga mengerti ilmu agama sehingga setelah menikah, banyak hal yang dia ajarkan kepada sang istri. Annisa sedikit demi sedikit mulai berbenah diri.
"Kamu melamun, Nduk?"
Annisa seketika tersadar dari lamunannya ketika sang ayah kembali berucap.
"Ndak, Pak," jawabnya gelagapan.
"Ya sudah, sana istirahat. Kalau masih mual, ndak usah masak dulu biar Bapak beli di warung. Tapi, kalau kamu nanti sudah sehat, sebaiknya kita mulai berhemat," lanjut Pandu. Tanggung jawabnya kini bertambah, tak hanya menjaga sang putri, tetapi juga melindungi cucunya kelak.
"Alhamdulillah," ucap Annisa setelah mendengarkan penuturan ayahnya.
Setelah kerjadian hari itu, di mana dia dibawa ke rumah sakit karena pingsan di penginapan, besok paginya mereka langsung pulang. Rencana liburan sekaligus pendekatan yang semula diprediksi akan lancar menjadi gagal total. Bima memilih untuk segera pulang dengan alasan akan mempersiapkan pekerjaan.
Mengetahui Annisa hamil dan kemungkinan itu adalah hasil dari sang kakak, Bima menjadi lemas dan mundur teratur. Dia meminta ibunya untuk pulang, tanpa mengetahui bahwa janin yang dikandung oleh wanita itu adalah anaknya.
"Kalau begitu, doakan Bapak sehat. Kita besarkan anakmu bersama-sama," ucap Pandu sembari menatap putrinya dengan rasa sayang.
Setiap kali melihat Annisa, maka yang tampak adalah wajah sang istri. Mereka seperti pinang dibelah dua, baik rupa maupun sikap. Tutur kata yang halus serta kesabaran yang dimiliki dua wanita itu membuat Pandu mengucap syukur tiada henti. Oleh karena itulah, rasanya dia tak perlu ada wanita lain di rumah mereka.
"Iya, Pak."
"Mulai sekarang kamu jangan terlalu capek mengurusi rumah. Bapak mau lihat panen di sawah. Semoga dengan kehadiranmu, rezeki keluarga kita semakin berlimpah dan berkah," lanjut Pandu seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut.
Annisa menangis terharu mendengar penuturan sang ayah, lalu memeluknya dengan erat. Betapa beruntungnya dia memiliki laki-laki itu di dalam hidup. Rasanya dia sudah tak memerlukan orang lain untuk tempat berlindung.
Pandu meninggalkan rumah dan melaju dengan motor menuju ujung kampung, di mana beberapa petak tanah miliknya berada. Dia hanya pegawai rendahan, sehingga memiliki aset sejumlah itu saja sudah merasa cukup.
"Assalamualaikum, Pak!" sapa salah seorang yang mengerjakan sawahnya.
"Waalaikumsalam. Ini saya bawakan gorengan." Pandu menunjukkan kantong berwarna hitam yang isinya tadi dia belikan di warung dekat rumah.
"Alhamdulillah. Sebentar lagi kami selesai. Bapak ke saung saja dulu, nanti kami menyusul. Ada kopi, tapi sudah dingin," jawab yang lain menimpali.
Pandu kembali melajukan motor menuju saung yang dia bangun tak jauh dari sawah. Dulu sewaktu Annisa masih kecil, mereka bertiga kerap menghabiskan waktu di sawah setiap hari libur tiba. Istrinya akan memasak dan membawa bekal untuk dimakan bersama.
Setelah membuka bungkus plastik dan memindahkan gorengan ke dalam wadah, Pandu menuang kopi dingin ke dalam gelas. Para pekerja sawahnya selalu membawa minuman itu dari rumah beserta bekal dan juga rokok sebagai teman istirahat.
Matanya menatap hamparan kuning di depan. Panen tahun ini tak sebanyak tahun sebelumnya. Nanti, jika musim tanam baru dimulai, dia akan turun langsung sehingga hasil yang didapat lebih banyak.
"Tumben datang ke sini, Pak?" tanya salah seorang pekerja yang asyik mengipas wajahnya dengan caping. Cuaca hari ini cukup terik sehingga bau asam tercium dari keringat mereka yang menetes.
"Cari udara segar. Biar pikiran fresh," jawab Pandu santai. Dia mulai mencocolkan gorengan ke saus sambal dan mengunyahnya pelan.
"Kebetulan kami memang lapar. Pas saja Bapak bawakan makanan," kata yang lain sembari meneguk kopi dengan begitu nikmatnya. Bagi mereka kesederhanaan seperti itu sudah cukup membahagiakan.
"Ada Annisa pulang," ucapannya itu membuat para pekerja saling berpandangan.
"Syukurlah kalau begitu. Jadi Bapak ada teman di rumah. Ndak kesepian lagi."
"Kasihan putriku. Dia sedang mengandung saat suaminya meninggal," lanjut Pandu dengan mata menerawang. Kopinya tersisa setengah gelas, begitu juga dengan beberapa gorengan yang lenyap ke dalam perut.
"Namanya takdir Tuhan, Pak. Kita hanya bisa menerima. Insyaallah nanti anak itu membawa rezeki bagi ibu dan keluarganya."
"Aamiin."
Pandu mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh di dalam hati sembari membayangkan wajah sang putri. Lalu, mereka asyik berbincang hingga sajian di saung habis tak bersisisa dan hari mulai gelap.
***
Annisa membuka tutup sajian di meja karena merasa lapar. Ada sepiring singkong rebus dan teh dingin di teko. Wanita itu menarik kursi dan mengambil sepotong lalu mulai menikmatinya.
"Nak. Semoga kita berdua bisa kuat menjalaninya," ucap Annisa dengan gamang sembari mengusap perut yang masih rata dengan pelan.
Annisa sebenarnya ingin jika bayi itu lahir nanti, dia bisa bertemu dengan ayahnya. Namun, ketika dia mengingat kembali perlakuan Bima, rasanya laki-laki itu memang tak pantas menjadi bapak dari anaknya.
Biarlah dia menjalani semua itu tanpa didampingi seorang suami. Ayahnya yang kelak akan menjadi pengganti Bima, sehingga anaknya tak akan kehilangan sosok bapak.
"Mas Rahman, suatu saat aku akan kembali dan membawa anak kita untuk berziarah ke makammu. Bagiku, hanya kamulah yang pantas menjadi ayahnya."
Air matanya kembali menetes dengan dada yang kembali terasa sesak. Inilah takdir Tuhan yang harus dia terima dan dijalani sekalipun terasa begitu menyakitkan.
Bukankah telah dijanjikan kepada setiap umat manusia yang mau bersabar. Bahwa apa pun yang diikhlaskan untuk dilepaskan, selalu akan diberikan pengganti yang lebih baik.
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari
"Muhammad Attar," ucap Annisa ketika ditanya siapa nama putranya."Dia suci. Ibunya yang telah berdosa," lanjutnya dengan air mata bercucuran.Semua orang menjadi haru ketika melihat itu. Ratih memeluk menantunya dengan erat untuk menguatkan. Pandu mengusap air mata saat pertama kali menggendong Attar. Sementara Bima menahan keinginan mendekap bayi mungil itu karena larangan Annisa.Satu bulan Attar dirawat di ruang NICU karena mengalami kendala di saluran pernapasan. Setiap hari Annisa datang ke rumah sakit untuk membesuk putranya. Beberapa kali dia bahkan diberikan kesempatan untuk mengganti popok atas seizin perawat ruangan.Attar akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya mulai membaik, dengan syarat harus rajin kontrol ke rumah sakit untuk perkembangannya.Bima sendiri kerap meluangkan waktu untuk setelah pulang bekerja untuk melihat putranya. Sejauh ini, laki-laki itu telah berkorban banyak hal. Salah satunya menjual motor
Bima terbangun saat mendengar suara berisik di dapur, disertai dengan bau harum masakan yang menguar di hampir semua ruangan. Laki-laki berjalan ke belakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan kompor. Gerakan Annisa yang sedang mengaduk sesuatu itu membuatnya menelan ludah. Seksi."Masak apa?" tanya Bima sembari melipat tangan di dada dan bersandar di daun pintu.Annisa membalikkan badan dan menatap laki-laki itu sesaat, lalu mengalihkan pandangan dan lanjut memasak.Mendapat perlakuan seperti itu, Bima berjalan mendekati istrinya."Kayaknya enak," ucapnya sembari mengintip ke arah kompor dari balik tubuh Annisa.Bug!Tiba-tiba saja sendok penggorengan mendarat mulus di wajah Bima, sebagai reaksi dari Annisa yang terkejut. Wanita itu tak menyangka jika suaminya berjalan mendekat, dengan posisi seperti hendak memeluk dari belakang."Jangan kasar sama suami, Nis," ucap Bima mengaduh seraya mengusap hidu
Bima memarkir mobilnya memasuki pekarangan. Suasana tampak sepi, sehingga dia langsung mengambil kunci cadangan dan masuk ke rumah. Laki-laki itu menyimpan sepatu di rak dan meletakkan tas di meja, lalu berjalan menuju kamar.Dengan pelan Bima membuka gagang pintu kamar dan merasa senang saat mendapati itu tidak dikunci. Lalu, dia menuju ranjang di mana Annisa sedang tertidur pulas di samping Attar.Annisa dan Attar tertidur dengan posisi saling berpelukan, sehingga membuat Bima iri. Dia ingin merasakan hal yang sama, terutama ... memeluk istrinya lagi. Senyum melengkung di bibir Bima saat melihat kedua wajah itu. Dikecupnya pipi Attar dengan lembut, lalu beralih menatap Annisa. Laki-laki itu menimbang-nimbang beberapa sesaat, lalu menyetuh dahi istrinya dengan penuh rasa sayang. Dalam hati berucap, semoga suatu saat dia bisa ikut berbaring di sana bersama mereka.Bima hendak ke luar kamar ketika terdengar suara gerakan. Sehingga dia