Share

Menara Olympus

Penulis: Salim
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-05 12:50:18

Pagi hari, sebelum matahari bangun seutuhnya. Aku melakukan aktifitas yang sudah lama aku tekunin, yaitu berlatih bersama guru.

Aku mengingat perkataan kakek waktu aku malas berlatih, dia kata. "Ilmu itu tidak ada batasnya, jika kamu berpikir bahwa dirimu sudah hebat, itu adalah awal kesombonganmu mulai tumbuh."

Aku tidak mengerti yang kakek katakan, aku memang hebat, pukulanku kuat, bisa menghancurkan batu besar sampai berkeping-keping.

"Coba kamu daki pohon ini sampai kepuncaknya, Indra." ucap guru.

"Aku sudah pernah memanjat pohon itu, guru. Waktu latihan pertama, apa guru tidak ingat?" tanyaku.

"Saat itu kamu tidak menyadari apa yang ada di atas sana. Kamu ingin tahu dari mana virus iblis itu. Jawabannya ada di atas sana."

Mendaki pohon adalah latihan yang sangat membosankan, bagaimana tidak. Jika kamu sudah berhasil memecahkan teka-teki, kamudian kamu di perintah menyelesaikan teka-teki itu lagi, kamu tidak akan sebahagia saat pertama dulu.

Namun, untuk mengetahu jawab yang aku cari, aku harus memanjatnya. Memang ada apa di atas sana selain awan dan burung-burung yang terbang bebas.

Sampai di puncang pohon tertinggi di dalam hutan kehidupan. Mataku menyapu sekitar, mencari jawab itu. Tidak ada yang berbeda, dari dulu mataku hanya melihat burung, awan dan matahari yang perlahan mendaki langit.

"Apa kamu melihatnya, Indra?" Guru berteriak dari bawah sana.

Aku melambaikan tangan, memberi isyarat.

"Coba kamu lihat dengan teliti ke seluruh arah."

Aku kembali menyari, terus mencari, keseluruhan kawasan yang bisa mataku jangkau, sampai aku menemukan sesuatu yang menarik.

"Aku melihat ada pohon yang lebih tinggi, guru, sampai menembus awan." teriakku.

"Penglihatanmu sungguh buruk, Indra. Itu menara, bukan pohon." Guru memberi isyarat, menyuruhku turun.

"Kenapa menara itu sangat tinggi? Siapa yang membuatnya?" tanyaku setelah sampai ke tanah.

"Benda itu lah yang menyebarkan virus iblis. Namanya, Menara Olympus. Mata Iblis membuatnya untuk menyegel Deadwan. Kakekmu sudah menceritakannya kan."

Aku mengangguk, tapi kakek tidak menceritakan virus iblis ini.

"Mata Iblis merasa terdesak sebab kehidupan di Nobel semakin berkembang banyak, oleh karena itu dia meminta bantuan Deadwan untuk menyebarkan virus iblis kepada kita. Virus itu menyerang seseorang yang memiliki dendam, kebencian dan orang-orang yang mempunyai energi negatif berlebihan. Siapa yang sudah terinfeksi oleh virus ini, dia akan kehilangan kesadarannya, kekuatannya dapat berlipat-lipat ganda, dan tidak bisa mengendalikan tubuhnya." Guru menjelaskan.

"Kenapa tidak ada yang ingin menghancurkan menara terkutuk itu. Aku yakin di luar sana banyak orang hebat."

"Menara itu kukuh, tidak sembarang orang bisa menghancurkannya, lagi pula letak menara itu berada di kediaman bangsa iblis, sebelum sampai ke sana, mereka akan mati dibunuh iblis."

Aku bersandar ke pohon, menatap langit. Sudah ribuan tahun Nobel menjadi rebutan antara manusia dan iblis. Kenapa tidak hidup berdampingan saja. Seperti manusia, hewan dan tumbuhan yang ada di hutan kehidupan ini.

"Indra, usia kamu sebentar lagi 17 tahun. Kemampuan bertarungmu sudah hebat, maka pergilah mencari ayahmu. Apa kamu tidak ingin melihat ayahmu?"

"Aku tidak peduli dengan dia, tanpanya aku bisa hidup." Aku melempar kerikil ke sembarang arah. "Tapi guru, aku ingin membebaskan negeri ini dari bangsa iblis. Aku akan menghancurkan Menara Olympus itu."

"Memang seharusnya kamu harus pergi dari hutan ini, Indra. Temui ayahmu maka kamu akan mengetahui asal-usulmu."

Aku pergi bukan untuk mencari pria brengsek itu. Aku adalah keluarga Ras Triton, tidak peduli dari ras apa aku lahir.

"Indra, aku memberimu buku setiap hari supaya kamu tahu isi dunia ini. Menjadi bekal pengetahuan kamu untuk menjelajahi Nobel, tapi kamu tidak pernah menyelesaikan buku yang kamu baca sampai akhir."

Aku mengangguk. Setiap hari guru memberiku sebuah buku, padahal aku bukan orang yang suka membaca, tetap saja dia memaksa untuk membacanya sampai habis. Itu percuma, aku tidak dapat menemukan ras bermata merah di setiap buku yang aku baca.

Para warga melambaikan tangan menemani kepergianku. Ini pertama kalinya aku melihat dunia luar hutan kehidupan. Dari buku yang aku baca. Nobel adalah dunia peperangan. Aku sangat antusias ingin melawan orang-orang hebat di dalamnya.

"Selamat jalan, Indra."

"Hati-hati di jalan ya."

"Aku pasti kangen denganmu."

"Tanpa si pendek makananku akan tahan sampai satu bulan. Selera makanmu yang kuat itu membuat aku selalu kangen padamu, pendek."

"Jangan memanggilnya pendek, dia akan marah. Kita harus membuatnya senang untuk terakhir kalinya."

"Sampai jumpa semuanya!" Aku berteriak sambil melambaikan tangan. Mereka baik, sedangkan aku selalu menyusahkannya.

Aku naik ke batang pohon, melompat dari batang pohon satu ke batang pohon lainnya. Semangatku berkobaran, tidak tahan ingin melihat dunia luar.

Dibawah sana seekor rusa sedang memakan rumput dengan santainya, sementara di sampingnya ada singa yang sedang mengawasi. Singa itu tidak berselera makan daging rusa, ia memilih mengunyah rumput di depannya.

Hewan di dalam hutan kehidupan tidak ada yang karnivora, mereka semua herbivora, pemakan tumbuhan, begitu juga dengan aku dan Ras Triton. Oleh sebab itu kami tidak saling membunuh, hidup berdampingan dengan alam.

Aku lompat dari pohon, sandalku menindih rumput. Sebentar lagi sampai di kerajaan Manggo, aku tidak ingin mereka terkejut ada manusia yang bisa lompat jauh.

Dalam perjalanan gerombolan lebah mengikutiku di atas kepala, aku tahu mereka akan menyerangku. Hewan yang licik, jika berani lawan satu-satu denganku.

Aku tidak menghiraukannya. Suaranya memekakkan telinga, berisik sekali. Aku terus berjalan santai, sebentar lagi juga lebah-lebah ini akan mati.

Benar saja, hutan kehidupan ini akan melakukan tugasnya, melindungi aku. Akar-akar berduri menyerang lebah itu, menusuknya satu persatu. Aku tetap jalan, tidak menghiraukan pertempuran yang sedang terjadi di atas kepalaku.

Tidak lama, lebah-lebah itu mati, tubuhnya tertanam di batang pohon. Hutan kehidupan ini mempunyai aturannya sendiri, jika kamu sopan dia akan segan.

Aku berhasil keluar dari hutan. Lihat lah, pemandangan yang belum pernah aku nikmati terpampang indah di hadapanku.

Bukit-bukit berbaris rapi melingkari Kerajaan Manggo, air jernih mengalir di sungai yang terbentang ke seluruh daratan Manggo. Air itu jatuh dari tebing tempat aku berada. Pemandangan hijau, tanah tertutup rerumputan.

Ada bukit paling tinggi diantara yang lain, di atas bukit itu berdiri istana kukuh dan megah. Di samping istana itu ada patung raksasa, tingginya melebihi istana.

Patung raksasa itu mempunyai dua tanduk besar. Mata, hidung dan bagian-bagian wajahnya diukir sempurna, sangat nyata.

Rumah mereka tidak seperti ras Triton yang tinggal di dalam pohon. Tempat tinggal mereka pendek, dari batu-batu yang disusun menjadi satu dan atap yang berbentuk segitiga.

Aku menarik napas, menghirup udara segar, sangat damai. Telingaku bergerak-gerak, menangkap suara dari kejauhan.

"Tolong! Tolong! Jangan mendekat!" Suara teriakan seorang wanita, keberadaannya tidak jauh dari tempatku berada.

Aku segera lompat dari tebing, menelusuri suara itu. Dia dalam bahaya, aku harus menolongnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    Masalah Baru

    Pagi-pagi sekali dikalah orang-orang masih tertidur lelap. Kami pergi ke tokoh Paman Linchi membawa uang yang dia butuhkan. Sekarang peraturan Kota Tree sudah diperbarui setelah Sadam kalah, mereka sedang sibuk membangun sekolah sihir menyebar ke seluruh penjuru kota. Sekolah harus tutup sore hari, tidak boleh buka sampai malam.Meskipun Sadam sudah tidak ada, mereka tetap mematikan setengah lampu saat malam hari, tidur malam. Tidak boleh ada toko yang buka 24 jam.Setiap satu hari dalam seminggu diberlakukan hari libur. Hari ini kami bertepatan pada hari libur, jalan gantung yang biasanya ramai menyadi lenggang.Paman Linchi membuka toko di rumahnya. Saat ini rumahnya masih tertutup. Harchi menekan tombol belnya. Dalam beberapa menit tidak ada jawab dari penghuni rumah, Harchi memutuskan menekan bel itu lagi. Kami masih menunggu, lalu ada tetangga melintas."Paman Linchi tadi aku lihat dia terburu-buru pergi kearah sana. Aku tidak tahu

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    Gagal

    Aku kembali ketempat pertarungan panco, kali ini aku yang terlambat, mereka menungguku, duduk di atas balai."Aku pikir kau tidak akan datang," ucap salah satu dari kelima orang tersebut."Ini pemenang pertarungan kemarin?" tanya satu orang anak baru. Aku baru melihatnya hari ini.Mereka mengangguk."Baguslah kau datang, aku ingin sekali bertarung denganmu," ucap anak baru itu."Hei, kau saja belum tentu mengalahkan kami.""Iya. Aku hampir menang kemarin, kali ini tidak akan aku biarkan kalian semua mengalahkanku. Cepat keluarkan uang taruhannya."Aku mengeluarkan uang 100 Greal. Mereka menoleh kiri-kanan. "100 lagi taruhannya?" tanya orang yang kemarin hampir menang."Aku takut kalian kalah lagi. 100 Greal sebagai percobaan, bagaimana?""Baiklah kalau takut kalah, lagi pula ada anak baru di sini, dia pasti kaget." "Enak saja, aku pernah memenangkan 5 kali pertandingan ini sebelumnya."

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    1500 Greal

    Paginya kami berpisah untuk mencari uang sesuai dengan yang sudah ditentukan kemarin. Aruna, Rai, dan Harchi pergi kepasar, Warchi menjaga rumah dan aku pergi ketempat pertandingan panco.Tempat ini masih sepi, mungkin aku datang terlalu pagi, mereka belum pada sampai. Aku duduk di dahan pohon, menguncang-uncang kaki. Para warga berlalu-lalang, tidak memperdulikan ku, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Aku melirik pergelangan tangan, ini sudah 30 menit aku menunggu, mereka belum sampai juga ke lokasi, apa kmhati ini pertarungan panci diliburkan?"Hei, ngapain kamu di sana," ucap seorang pria, kepalanya menengadah memandangku.Aku melompat ke lantai balai. "Aku pikir kalian tidak datang. Aku ingin bertarung panco lagi dengan kalian.""Kamu bertaruh berapa?" tanya orang itu."Aku hanya ada 100 Greal." "100 doang, itu terlalu kecil." "Pertandingan pertama kita bertaruh 100 Greal dulu, kalau aku menang, uang

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    Mengumpulkan Uang

    Paman Linchi sibuk melayani para pembeli yang recet agar pesanannya segera dibuatkan. Paman Linchi menyuruh kami menunggunya di dalam rumah. Sampai sore hari Paman Linchi baru menghampiri kami, dia mengendurkan urat-uratnya. "Hari ini ramai sekali, aku tidak bisa beristirahat dari pagi sampai sore." Paman Linchi menarik kursi, dia duduk dihadapan kami."Maafkan aku telah mengganggu waktu istirahatmu, Paman Linchi," ucap Harchi sopan."Tidak masalah, Harchi, warungku ramai ini semua karena Narchi yang telah mengalahkan Sadam. Mereka sangat senang dan merayakannya dengan meminum madu. Kamu ingin bicara apa, Harchi, sepertinya sangat penting?""Tadi pagi aku dan mereka pergi ke pohon itu, paman, aku ingin menggunakan alat itu, tetapi waktu kami sampai benda itu sudah hancur. Gubuk Paman Linchi juga roboh.""Pemerintah kota yang menghancurkannya, mereka tidak ingin siapapun yang menggunakannya."Wajah Paman Linchi berubah menjadi te

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    Paman Linchi

    "Lelah sekali, apakah masih jauh?" tanya Aruna, dia mengatur napasnya, keringatnya tidak dapat dihindari, mengalir deras terjun bebas ke bawah.Pagi-pagi sekali kami mengikuti Harchi memanjat pohon paling tinggi di kota ini. Dia bilang jalan satu-satunya agar keluar dari kota ini adalah dengan memanjat pohon ini, dia sana ada benda terlarang yang bisa melontarkan kami."Kenapa harus pagi-pagi sekali sih, aku masih ngantuk tahu, kemarin kita pulang sangat malam." Aruna masih mengomel dibawah sana. Aku dengannya beda dua dahan. Rai di samping Aruna, mendampinginya agar dia tidak pingsan."Karena itu watu yang cocok untuk ke atas sana, sebab jika ada orang yang melihat mereka akan melapor ke pemimpin kota dan kita akan dipenjara." Harchi berteriak, dia sudah sangat tinggi di atas kami."Kenapa dipenjara? Kita hanya memanjat saja kan, lagian siapa juga orang yang ingin memanjat pohon ini, cuma kita berempat." Aruna melihat kebawa, wajahnya pucat. "Tin

  • Indra, Reinkarnasi Para Dewa    Pemakaman

    Sebagian lampu-lampu mulai dipadamkan, pasir yang berada di tabung atas semakin sedikit, para warga memasuki rumah, menutup jendela dan pintu rapat-rapat.Aku menggendong Rai dipunggung, melompat dari dahan ke dahan. Harchi menggendong Aruna, dia dalam kantong bajunya terdapat sisa buku Narchi, dia sempat mengambilnya sebelum mengeluarkan teknik besar itu.Mereka tidak mengetahui bahwa Sadam sudah mati, kami belum mengumumkannya. Bagaimana kami bisa sempat memberitahu mereka jika kami saja bingung harus bagaimana memberitahu Warchi tentang Narchi. Dia sudah tua, aku takut Warchi akan terkejut dan menyusul Narchi.Sore ini kami bisa melompati dahan tanpa terburu-buru, tanpa berjaga-jaga dan khawatir Sadam akan datang. Malam ini telingaku tidak akan pernah mendengar suara jelek Sadam lagi."Kenapa Narchi, seharusnya aku saja." Warchi menghela napas ketika Harchi memberitahu dan memberikan sisa bulu Narchi kepada Warchi. "Besok pagi kita akan memakam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status