Emir terpana dengan pemandangan di depannya, seorang wanita yang kucel, rambut tak bersisir, berubah bagaikan orang lain yang sangat cantik, kini berdiri di hadapannya sambil menunduk malu dan memilin jemarinya. Bukan saja Emir, Iqbal suami dari Suraya pun terbengong dan ikut menelan saliva, sama seperti Emir."Gak bagus ya, Mas?" tanya Ami lagi pada Emir."Itu capa, Pa?" tanya Amira yang mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Amira saja anaknya sampai tidak mengenalinya."Ha ha ha ... Amira saja tidak tahu kalau kamu ibunya, Mi. Bagus sekali dan kamu cantik," puji Emir membuat semburat merah menjalar di kedua pipi Aminarsih. Sepanjang umurnya, baru Emirlah lelaki yang mengatakan kalau dia cantik. Ya, walaupun harus dimake over terlebih dahulu."He he he ... Begitu ya." Ami canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, guna mengusir rasa canggung diperhatikan semua orang saat ini."Matanya sayang, lihat Ami ja
"Maaf, Ami. Sebentar saja ya, seperti ini. Saya tidak suka melihat mata para lelaki jelalatan padamu." Emir merangkul pinggang Ami, membuat wanita itu menahan nafas kaget."Saya cemburu," bisik Emir lagi.Ami tak mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu untuk berucap, sungguh saat ini adalah saat di mana seorang lawan jenis memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan mendekat padanya pun meminta izin. Sayang sekali, ia tidak boleh GR atau melibatkan perasaannya, walau setitik. Ia harus tahu diri, ingat Emir memperlakukannya sebagai adik dan Emir adalah suami seorang artis."Kenapa melamun? Ga suka ya sama makanannya?""B-bukan, Mas. Saya hanya bingung, bagaimana membalas semua kebaikan Mas pada saya dan Amira.""Kalian keluargaku, jadi tak perlu sungkan. Aku sayang Amira dan sayang ibunya Amira." Entah kenapa, volume suara Emir merendah, saat mengatakan sayang ibunya Amira. Ami memberanikan diri menatap netra hit
Emir menatap punggung Ami yang saat ini tengah terlelap di sofa. Sekeras apapun ia meminta agar Ami tidur di ranjang empuk bersama Amira, tetap wanita itu tidak mau. Sisa sesegukan sehabis menangis hampir satu jam di depan Emir masih tampak dari bahunya yang sesekali bergetar. Ami meringkuk di sofa dengan selimut tebal, membuat Emir iba.Lekas lelaki itu mengaktifkan ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada seseorang. Ada banyak chat dari Farah, namun ia abaikan. Tak dibaca, hanya dilewati saja. Dalam hatinya, Emir sudah bertekad, benar-benar menikmati liburannya tanpa ingin bertengkar dengan Farah.SendEmir menonaktifkan kembali ponselnya, lalu turun dari ranjang. Kakinya melangkah lebar secara perlahan menuju sofa di mana Ami sedang terlelap. Emir sempat melihat jam dinding sudah pukul dua dini hari. Pastilah Ami benar-benar sudah lelap. Lelaki itu berjongkok di dekat Ami, mengusap rambut kriting Ami yang masih belum kembali.
Malam ini, adalah malam di mana Aminarsih benar-benar bahagia yang luar biasa. Bisa tidur di kasur super empuk dengan kipas angin yang menyala di tembok. Kasurnya bahkan sudah dilapisi seprei bermotif kucing, harum, dan juga bersih. Amira terlelap sangat nyenyak dengan begitu nyamannya, sedangkan dirinya masih memikirkan bagaimana Emir bisa membuat semua barang baru dan bagus ada di dalam kontrakannya. Besok akan ia tanyakan pada Pak Jum."Semenjak kamu lahir, kehidupan kita menjadi lebih baik. Ibu jadi banyak bertemu orang-orang baik. Terimakasih sudah mau menjadi anak Ibu," bisik Ami di telinga Amira, lalu mengecupnya pelan.KlikLampu tidur model bulan sabit besar, ia nyalakan."Terimakasih Papa Emir."Ami mengirimkan pesan pada Emir dengan kalimat yang sama.****Emir baru saja selesai mandi, tubuhnya lebih segar setelah diguyur air dingin. Emir mengoleskan minyak kayu putih di selu
Bu Farida di bawa ke ruangannya oleh Emir. Wanita paruh baya itu pingsan, setelah mendengar anak kecil cantik memanggil anaknya dengan sebutan 'papa'. Tubuhnya lemas tak bertulang, menerima kenyataan yang belum ia cek kebenarannya.Ami hanya bisa berdiri sambil gemetaran di depan pintu kantor Bu Farida, sambil memegangi tangan Amira. Ia lupa, jika kemarin Suraya mengatakan warung soto Bu Farida adalah milik ibunya, warung soto tempat dirinya menitipkan peyek selama hampir dua tahun ini."Jangan pulang dulu ya, nanti saya antar," kata Emir pada Ami, ketika selesai membaringkan mamanya di kasur dalam ruangan."Iya, Mas." Ami mengangguk paham."Ayo, masuk. Kita jelaskan pada mama saya." Emir sudah menggendong Amira masuk ke dalam ruangan kantor."Eko, buatkan dua mangkuk soto dengan nasinya untuk saudara saya ini ya.""Baik, Mas." Lelaki bernama Eko, salah satu karyawan Bu Farida yang baru saja membawakan teh untuk
"Mas Emir!""Farah, hei bangun! Ada apa?" Daniel membangunkan Farah yang berteriak memanggil nama suaminya. Keringat bermunculan dari dahinya yang putih bersih. Tubuhnya masih berselimutkan kain tebal yang hangat, tanpa sehelai benang pun."Mas Emir, cepat! Kamu harus segera pergi, cepat!""Mana?" Daniel kebingungan."Aku mimpi Mas Emir ke sini," ujar Farah ketakutan."Gak mungkin, Far. Kenapa kamu baru cerita?""Aku lupa. Cepat, pokoknya kamu harus sembunyi.""Ck, kamu tahu dari mana, Sayang?""Udah, pokoknya kamu harus pergi, karena suamiku menuju ke sini, cepat Daniel!" Farah ketakutan.TeetTeet"Itu Emir, cepat Daniel. Kamu sembunyi, udah ga bisa kabur."Daniel memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan wajah pucat, persis seperti Farah yang kini gemetar dan pucat.TeetBeepBeep
Berhenti, biar saya yang bawa Amira. Saya papanya," ujar Emir penuh percaya diri, sambil merebut Amira dari gendongan Kamal. Namun susah, karena Kamal menahan erat tubuh Amira."Saya aja!""Udah, saya saja.""Emang kamu siapa?" tanya Emir tak sabar."Saya calon suami Mbak Aminarsih," ucap Kamal begitu percaya diri"Mimpi," timpal Emir yang berhasil merebut Amira dari gendongan Kamal, lekas ia masuk ke dalam mobil."Ayo, Ami. Jangan bengong!" titah Emir."Iya, Mas. Maaf, Kamal." Ami pun masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Emir.Mobil berlalu dan Kamal hanya tertunduk lesu. Tidak, ia tidak boleh patah semangat. Besok, ia akan melamar Aminarsih menjadi istrinya, sebelum lelaki lain mendahuluinya."Siapa lelaki tadi?""Itu namanya Kamal, Mas.""Oh, dia karyawan di warung soto Mama saya.""Iya.""Saya tidak suka kamu berdekatan dengan lel
Emir baru saja selesai mandi dan kini sudah bersiap untuk tidur. Lama ia memandangi langit kamar, kemudian tertawa kecil. "Ami, Ami ... Lucu sekali," gumamnya tatkala mengingat saat dia meminta Ami menjadi istrinya, tubuhnya malah di dorong keluar rumah, lalu ditutup pintunya. Wanita itu tidak menjawab iya atau pun tidak. Apakah tandanya iya? "Duh, ini yang dinamakan jatuh cinta bukan sih?" Emir membolak-balik tubuhnya agar segera terpejam, namun tidak juga bisa.Cuaca di luar tiba-tiba hujan sangat deras disertai angin. Kilat dan petir saling berlomba memperlihatkan kekuatannya, mengobrak-abrik hati manusia hingga merasa takut akan gelegarnya. Emir yang masih belum bisa tertidur, memilih membuat susu di dapur, lalu membawanya kembali ke kamar. Setelah menenggaknya habis, barulah Emir merasa kantuk yang sangat luar biasa.Duaar!"Allahu Akbar!" pekik Emir tersentak dari tidurnya. Dilihatnya jam weker yang ada di atas meja kecil, sudah