Farizka Anastasia, guru baru Matematika di SMA Pelita harus melewati perundungan para seniornya. Namun siapa sangka, hal-hal ajaib yang tak masuk akal justru kerap membantunya. Bersama Angga, sang guru Olahraga, benih-benih cinta diantara mereka merekah dengan cepat. Angga selalu ada untuk Farizka. Satu per satu keanehan menggelitik penasaran Farizka. Mau tak mau, ia ikut terseret ke dalam kisah kelas Monic. Siswi yang kerap menemaninya lembur malam-malam di sekolah. Siapa Monic? Apa yang terjadi di masa lalunya. Mengapa Monic minta tolong kepada Farizka? Berbagai pertanyaan membelenggu hari-hari Farizka. Lalu apa hubungan masa lalu Monic dengan Milna, Eka, dan Rahma? Farizka bersama Angga tak tinggal diam. Misteri kematian Monic harus terpecahkan. Mengatur strategi, duo sejoli itu siap menyibak tabir misteri. Membawa mereka ke masa lalu yang kelam. Tak hanya itu perjalanan lintas dimensi juga harus mereka lalui.
View MoreSakit dan nyeri.
Daffa merasakan nyeri di dadanya. Tetapi Daffa harus segera menghabiskan sarapannya kemudian pergi ke sekolah. Daffa terlihat memegangi dadanya yang semakin sakit dan kepalanya yang berputar-putar hebat. Semakin lama semakin sakit. Daffa tidak dapat melihat sekelilingnya dengan jelas, pandangannya perlahan kabur dan tiba-tiba...
Bruk.
...Daffa ambruk ke lantai. Dia merasakan bahunya sangat sakit membentur lantai dengan keras. Samar-samar Daffa seperti mendengar teriakan seorang wanita yang memanggil namanya.
Rasanya begitu jauh. Pun tubuhnya semakin terasa kebas.
Tanpa bisa mencerna apapun; tubuh Daffa letih, kemudian pandangannya menggelap.
.
Perlahan-lahan Daffa mendapatkan kesadarannya. Daffa mendengar bunyi-bunyi mesin yang sudah lama tidak pernah ia dengar lagi sejak beberapa tahun yang lalu. "Ternyata aku kembali ke tempat terkutuk ini. Dengan alat-alat yang sangat aku benci dan selang-selang yang menempel di tubuhku." batin Daffa. Dirinya merasa tidak nyaman dengan adanya alat-alat ini, membuat tubuhnya tidak dapat bergerak dengan bebas.
"Tunggu! Aku tidak dapat menggerakkan tubuhku!" Teriaknya dalam hati.
Sayup-sayup Daffa mendengar tangisan seorang wanita.
Ah, Mama!
Daffa mendengar ibunya menangis begitu keras, tapi Daffa tidak dapat membuka matanya untuk sekedar melihat wanita yang melahirkannya itu. "Aku pasti membuatnya khawatir dan membiarkannya mengeluarkan cairan mata lagi." Pikirnya.
Iya, lagi.
"Maafkan aku, Ma." Ingin rasanya Daffa bangun lalu memeluk Ibunya dengan erat. Sakit dadanya mendengar tangisan Ibunya. Nyeri yang Daffa rasakan di dadanya bertambah seratus kali lipat. Daffa sudah tidak kuat. "Apa aku pergi saja, Ma? Apa aku akan meninggalkan dunia ini? Meninggalkan Mama, Papa, dan si brengsek itu?"
Daffa bahkan belum menyelesaikan sekolahnya di usia 19 tahun ini. Daffa belum pernah merasakan Banana ice cream yang dijual tepat di depan sekolahnya. Dan entah kenapa Daffa merindukan cewek cantik itu. Cewek bermata hazel yang setiap hari mendatanginya walau terkadang tidak Daffa pedulikan.
"Tuhan.. aku belum ingin meninggalkan dunia ini."
Daffa ingin pergi ke sekolah.
Daffa ingin menyelesaikan sekolahnya dan menyusul kembarannya yang brengsek itu.
Daffa ingin mengungkapkan cinta pada cewek yang ia suka dan melamarnya suatu saat. Daffa berjanji akan mengajak cewek itu membeli Banana ice cream dan mengajaknya berkencan.
"Tuhan... Aku belum ingin meninggalkan dunia ini."
"Suntikan obat itu padanya."
Samar-samar Daffa mendengar suara pria.
Detik berikutnya yang ia rasakan adalah kantuk dengan gelap yang kembali menelan kesadarannya.
.
Darren tiba di pelataran sebuah sekolah dan langsung memarkirkan mobil yang dikendarainya di lapak kosong. Darren turun dari mobil dan menguncinya, sambil memperhatikan sekeliling.
"Jadi ini sekolah Daffa?" gumam Darren pelan. "Not bad."
Darren kembali membenarkan penampilannya; kacamata, seragam dan rambut. Darren ingat fakta bahwa Daffa tidak pernah membawa mobil ke sekolah. Dan Darren sungguh tidak peduli itu.
Darren melihat tatapan aneh dari murid-murid sekolah Daffa. Mereka melihatnya seperti melihat seorang aktor ganteng. Ah, mungkin tepatnya seperti melihat Alien. Hm, apakah Darren terlihat aneh? Atau apakah mereka tau kalau dirinya bukan Daffa?
Darren jadi ingat pembicaraan dengan ayahnya kemarin...
Flashback
Darren langsung menutup telepon dari orangtuanya dan membeli tiket pesawat dengan penerbangan paling cepat ke Indonesia begitu mendengar kabar kalau Daffa masuk rumah sakit lagi.
Darren melihat wajah ayahnya yang sudah sangat lelah begitu tiba di Indonesia.
"Nggak, Pa! Nggak boleh!" Tolak Darren dengan nada meninggi. Darren sedang berbicara dengan ayahnya. "Daffa tidak boleh keluar dari sekolah!"
"Darren, Daffa koma, lebih baik kalau kita membawanya ke luar negeri untuk pengobatan." Papa memijat-mijat keningnya frustasi.
"Hanya tinggal tiga bulan lagi Daffa akan lulus setelah menyelesaikan ujiannya. Biar aku yang menggantikannya."
"Lalu bagaimana dengan kuliahmu? Kau ingin mengorbankan kuliahmu? Tidak, Darren! Papa tidak akan setuju dengan ide gilamu."
"Demi Tuhan aku mohon, Pa. Aku akan lebih tidak rela jika Daffa harus tinggal kelas lagi dan semakin jauh dariku."
"Kau pikir Daffa akan senang dengan idemu itu, Darren?"
"Tapi ini yang terbaik. Siapa yang akan mengenaliku jika aku dan Daffa sangat mirip? Dan yang terpenting ini semua demi Daffa!"
Flasback off.
Akhirnya mau tak mau dan berat hati Ayah Darren mengizinkannya untuk menggantikan Daffa dengan menyetujui ide yang Darren pikir 'cemerlang' ini. Ya, setidaknya menurut Darren ide itu cemerlang.
Yah. Daffa.
Daffa Revano.
Dia adalah saudara kembar Darren. Kembar identik. Mereka bersekolah di TK yang sama, SD yang sama, lalu setelah itu berpisah. Daffa berubah. Darren tidak pernah tahu alasan perubahan Daffa. Darren merasa hidupnya lebih beruntung daripada Daffa. Badan Darren sehat, tidak seperti Daffa yang sering sakit-sakitan.
Saat SD, Daffa dua kali tidak naik kelas karena harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Kata dokter jantung Daffa lemah.
Sewaktu Darren naik kelas 3 SMP, Daffa baru akan masuk SMP. Darren berharap waktu itu Daffa akan masuk ke sekolahnya dan mereka akan kembali bersama-sama. Tetapi tidak, Daffa berubah. Dia menghindari Darren. Dia menjadi lebih murung dan pendiam. Darren merindukannya. Darren menyayanginya.
Oh. Oke.
Jangan sekali-kali menganggapnya ini brother complex. Jujur saja Darren sudah punya pacar dan Darren sangat mencintainya. Darren bertemu dengannya saat di Singapur. Mereka berada dalam universitas yang sama.
Intinya setelah masa kelulusan SMP Darren mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Singapur. Saat itu Darren juga berhasil mengikuti program akselerasi karena kejeniusannya. Akhirnya sampai sekarang Darren menempuh pendidikannya di salah satu universitas ternama di sana.
"Hoi."
Lamunan Darren buyar ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras. Darren kaget. Siapa si brengsek yang berani mengagetkannya? Rasanya ingin sekali menginjak wajahnya.
Dia membalikkan tubuh Darren. Bertanya dengan nada khawatir, "Daff, lo udah sembuh?"
Dan ternyata Darren mengenalinya.
Gadis itu turun dari mobil. Kulitnya putih diterpa sinar mentari pagi. Rambutnya panjang hitam legam. Tangannya diapit kedua orang tuanya yang menyusul turun dari mobil.Semua anak yang kebetulan sedang berolahraga di lapangan sebelah parkiran mobil spontan langsung menengok. Kini, semua mata tertuju kepada seorang gadis cantik yang sepertinya berasal dari keluarga berada. Dari penampilannya, terlihat cantik dan anak baik-baik.Anak-anak dari lapangan kasak-kusuk. Mungkin gadis blasteran itu sebentar lagi akan menjadi teman mereka. Beberapa anak laki-laki bahkan saling senyum dan melempar pandang satu sama lain.Sementara itu, anak-anak perempuan sibuk nyinyir. Sepertinya, sebentar lagi mereka akan punya saingan baru.Gadis itu menuju ruang kepala sekolah bersama orang tuanya. Beberapa saat kemudian, orang tua gadis itu tampak berpamitan dengan kepala sekolah.Sepeninggal orang tuanya, gadis itu dibimbing oleh Bu Elok menuju kelas 211. Kelas pe
Pagi itu, secara mengejutkan, Milna, Eka, dan Rahma mengundurkan diri sebagai guru. Tentu saja semua penghuni sekolah dibuat terheran-heran dengan sikap mereka. Namun, Pak Yajid Harahap sebagai kepala sekolah menyetujui pengunduran diri mereka. Biarlah ketiganya hidup tanpa bayang-bayang kekuasaan dari keluarganya. Biarlah mereka sukses dengan caranya sendiri. Mungkin itu yang dipikirkan ayah satu anak itu.Sebelum pergi meninggalkan sekolah, Milna, Eka, dan Rahma menyerahkan kalung, gelang, dan cincin dengan warna yang sama kepada Farizka dan Angga. Mereka tahu pemiliknya akan tenang jika benda itu telah kembali. Ketiganya juga meminta maaf kepada Farizka dan Angga. Setelah itu, mereka pergi dari sekolah tanpa menengok ke belakang. Tanpa menengok ke kelas 211, tempat sosok gadis itu memandangi kepergian mereka bertiga sambil tersenyum. ***Pada sore hari, Fariz
Pak Yajid Harahap memegang dadanya. Seperti menahan kemarahan yang telah lama dipendamnya.“Ayah harus melakukan sesuatu,” pinta putri semata wayangnya.Kali ini, laki-laki separuh abad itu memutar tubuhnya. Menatap dalam-dalam putri kesayangannya. Selama seumur hidup, Milna sama sekali tidak pernah mendapati ayahnya terlihat sebegitu menakutkan seperti malam ini.Sepeninggal ibunya Ayah Milna justru selalu menuruti apa yang dia mau.“Apa lagi yang kamu inginkan?” Pak Yajid menatap Milna tajam.Milna sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan Farizka. Apalagi, peristiwa beberapa hari lalu, di depan ruang guru, gambaran Farizka dan Angga yang begitu romantis, terbayang-bayang di matanya. Tak bisa dibiarkan, ini adalah momen yang tepat untuk memisahkan Farizka dan Angga.“Milna ingin Ayah memecat Farizka.”“Apaaaa?”“Ya,
“Tidak wajar?” Farizka mengulang pernyataan itu.Meski sudah mendengar sendiri dari pengakuan Monic bahwa dia didorong oleh Milna, Eka, dan Rahma dari lantai dua sehingga membuat dia terjatuh dan naasnya kepalanya membentur lapangan basket terlebih dahulu, Farizka ingin mendengar versi lain, dari versi Sekar, sepupu Monic.“Setelah orang tuanya bercerai, papa dan mamanya sama-sama tidak mau mengasuhnya meski sebenarnya hak asuh jatuh ke tangan mamanya. Akhirnya, papanya tetap menjadi arsitek di Denmark, sedangkan mamanya berbisnis di sana. Oleh mamanya, Monic dipulangkan ke Indonesia dan dipasrahkan untuk diasuh oleh bibinya, yaitu mama saya. Saya baru tahu, waktu itu, kejadiannya tengah malam. Saat bangun untuk mengambil susu, Monic menangis, suaranya terdengar makin keras.Dan ....” Sekar menghentikan suaranya sejenak, berusaha menguatkan hatinya.Farizka menggenggam tangan Sekar sebagai bentuk dukungan.“Saya
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments