Home / Horor / JANGAN AMBIL TUBUHKU / Selalu Jadi yang Tersalah

Share

Selalu Jadi yang Tersalah

Author: Butterfly
last update Last Updated: 2024-05-02 07:17:46

6 tahun kemudian....

Kelahiran Rama, anak ketiga Gilang dan Natasha, menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi keluarga mereka. Lima tahun berselang, pasangan ini kembali dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Irfan. Namun, di tengah kebahagiaan tersebut, masih ada satu hal yang tak berubah; perlakuan tak adil kepada Luna, anak kedua mereka.

Orang-orang mengira bahwa Luna juga mendapatkan kasih sayang yang sama dari orang tuanya, namun kenyataannya, perlakuan yang diterima Luna jauh dari kata sayang.

Situasi ini terus berlangsung, meski Gilang dan Natasha telah dikaruniai dua anak laki-laki. Luna tetap terabaikan dan tak dicintai.

"Ibu, aku ingin makan ini, boleh?" tanya Luna dengan ceria menunjuk kue di atas meja.

"Makan aja," jawab Natasha sambil memalingkan wajahnya dari Luna.

"Padahal tadi udah makan, sekarang ada kue juga di makan, nanti kalau ada makanan lain pasti di makan juga, anak yang satu ini beda banget. Rakus kayak tikus aja," gerutu Natasha dengan pelan.

Tapi pendengaran gadis di sampingnya masih sangat tajam, dia mampu mendengar semua ucapan ibunya dengan sangat jelas. Tangan yang sudah terangkat untuk mengambil kue pun kembali ia turunkan. Luna tersenyum lebar dan melenggang pergi dari dapur, memeluk boneka lusuh bekas kakaknya dengan sangat erat.

"Dek, kamu gak boleh gitu. Luna juga anak kita," tegur Gilang sambil masuk ke dalam rumah. Sejak tadi ia berdiri memperhatikan Luna dan Natasha. Semakin hari sikap Natasha dirasa semakin jahat terhadap Luna.

"Apa sih, Mas? Datang-datang udah marah-marah aja."

"Itu tadi kamu ngasih kue sama Luna sambil misuh misuh, sekarang Luna gak jadi ambil kuenya. Biar kata Luna baru enam tahun tapi dia udah mengerti apa yang kita katakan. Kalau Luna mau makan apapun biarin aja, toh aku juga yang usaha cari uangnya."

"Oh, sekarang Luna udah jadi anak kesayangan kamu, ya?" Natasha berkacak pinggang.

"Bukan begitu, Dek. Tapi Luna juga tanggung jawab kita." Gilang mengusap wajahnya.

"Luna ke sini!" Gilang melambaikan tangannya pada Luna.

Luna segera berlari menghampiri ayahnya. "Iya, Ayah. Ada apa?"

Gilang mengambil kue yang diinginkan oleh Luna lalu memberikannya. "Ini makan kalau kamu emang mau."

Luna menggelengkan kepalanya. "Aku gak mau kok. Tadi aku minta buat kasih ke kucing. Aku udah kenyang, kan tadi udah makan."

"Beneran?"

Luna mengangguk berulang kali sambil tersenyum untuk menyakinkan ayahnya.

"Yaudah, kalau emang gak mau. Tapi nanti kalau mau jangan sungkan ambil, ya! Kue ini juga punya kamu."

"Iya, Ayah."

"Yaudah sana main lagi."

Luna tidak masuk ke dalam rumahnya, tapi ia berlari ke luar rumah.

"Hai, aku ikutan dong," teriak Luna pada dua adiknya yang sedang bermain sepeda.

Rama mengayuh sepedanya sementara Irfan duduk dengan anteng di depan.

"Ayo, sini!" sahut Rama gembira.

"Kak, kamu duduknya di belakang, ya. Terus nanti gayuh sepedanya berganti, ya?"

"Oke." Luna langsung duduk di kursi belakang.

Kakak beradik itu kini bermain sepeda dengan gembira, Luna pun tertawa lepas akan kesenangannya kali ini, rasa sakit karena ucapan ibunya seakan terlupakan begitu saja.

Dan Gilang bersama Natasha duduk di halaman rumahnya menyaksikan tiga anaknya bermain sepeda sambil berbincang-bincang dengan tetangga.

Tapi tiba-tiba....

Irfan menangis sangat kencang membuat semua orang panik dan melihat ke arahnya. Luna pun langsung turun dari sepedanya untuk melihat Irfan.

"Irfan kenapa?" tanya Luna dengan khawatir.

Dari belakang tubuh Luna, Natasha datang dengan tergesa-gesa, tubuh kecil Luna pun ia tubruk begitu saja. Ia langsung membawa Irfan ke dalam pelukannya.

"Kakinya masuk ke rantai. Untung saja tidak sampai terlindas."

"Luna!" Natasha langsung memukul tubuh Luna dengan cukup kasar.

"Kamu kalau mau main, main aja, jangan celakai adikmu juga."

"Jadi kakak yang bener dong. Bukannya adiknya dijagain malah kamu bikin nangis. Ibu tanya sama kamu, kenapa kamu mau geleng kaki Irfan? Irfan emang salah apa sama kamu?" Untuk kedua kalinya Natasha memukul tubuh Luna.

"Dek, udah. Kasian Irfan obati dulu," teriak Gilang mencoba melerai. Merasa kasian pada Luna yang dimarahi habis-habisan tapi dia hanya diam.

Natasha pergi membawa dua anak laki-lakinya, sementara Luna langsung berlari sekencang yang ia bisa untuk menjauhi rumah.

Luna terus berjalan menyusuri rumah-rumah yang berjajar, langkahnya membawa dia menuju hutan. Di sore ini, tujuan gadis kecil itu adalah makam kakeknya. Ia tak kenal takut, yang ia pikirkan hanya ingin menangis tanpa ada yang memarahinya, dan ia juga ingin mengadu pada sang kakek yang telah meninggalkannya lebih dulu.

Tibalah Luna di depan makam sang kakek, makamnya adalah makam keluarga, jadi makam yang ada di sini pun hanya ada beberapa saja. Luna duduk di samping makam sang kakek sambil memeluk dirinya sendiri.

Ia menangis sejadinya, sesenggukan dan tak ada akhirnya, dadanya semakin sesak dan terus semakin sesak.

"Kakek, aku tadi bermain sama Rama dan Irfan, kaki Irfan mengenai rantai sepeda yang sedang Rama gayuh, tapi Ibu memukul dan memarahi ku. Ini, di sini rasanya sangat sakit, Kek." Luna menepuk tubuhnya yang sakit karena pukulan sang ibu.

Semenjak Luna lahir, Luna telah diasuh oleh dua kakeknya, hingga Luna tumbuh menjadi semakin besar pun dia banyak menghabiskan waktu bersama dua kakeknya yang amat menyayangi Luna, tapi kasih sayang dari dua kakeknya kini hilang secara bersamaan karena mereka telah tiada meninggalkan Luna seorang diri di dunia ini. Jarak meninggal antara kakek pertama dan kedua tak begitu jauh.

Luna menidurkan kepalanya di samping batu nisan sang kakek. "Aku ingin ikut sama kakek. Nanti kita main masak-masakan lagi. Kenapa kakek tinggalin aku sendirian di sini. Aku gak suka di sini, Kek. Ibu gak sayang sama aku, dia terus marahin aku terus. Dada aku sesak setiap hari karena dimarahi Ibu. Dulu, waktu Kakek ada, aku banyak ketawa sama kakek."

"Tolong bawa Luna ke tempat kakek berada juga."

"Luna....."

Luna terkesiap mendengar ada yang memanggil namanya seakan begitu dekat dengan daun telinganya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapapun di makam ini selain dirinya.

Angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan pohon-pohon dan tetumbuhan di sekitar Luna. Bulu kuduk Luna berdiri merasakan aura yang berbeda, tapi meski begitu ia mencoba untuk tetap tenang.

"Luna...."

"Siapa itu? Siapa yang memanggil ku?" pekik Luna semakin penasaran dengan suara yang terus memanggilnya.

"Luna...."

Luna tak bisa lagi menahan rasa takutnya, ia langsung berlari sekencang mungkin meninggalkan makam. Suara yang terus memanggil namanya semakin terdengar jelas, tapi tidak ada yang menampakkan diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    Merantau

    Gilang menghela napasnya pasrah, sudah berbagi cara, beribu kalimat, dan sejuta kata yang ia ucapkan kepada Luna di malam ini supaya dia tidak pergi bekerja, tapi semuanya sia-sia, semua ucapannya bagai angin lewat di telinga Luna, keputusan Luna begitu bulat, dan tidak ada satu hal pun yang bisa mengganggu gugat keputusannya tersebut. Pagi ini, Luna sudah siap dengan semua barang-barang yang harus dibawanya untuk merantau. Sebenarnya tak banyak yang dirinya bawa, hanya pakaian dan lainnya dan itupun cukup dalam satu koper. "Luna, coba pikirkanlah sekali saja! Bekerja di tempat yang jauh dari rumah bukanlah hal indah seperti yang ada dalam bayangan mu. Ketika kamu kesulitan, tidak akan ada yang membantu mu dan kamu tidak akan punya tempat pulang untuk bercerita." "Memangnya di sini aku punya tempat untuk pulang? Pernahkah kalian mendengar cerita ku?" sergah Luna, tangannya erat meremas ujung pakaian.Gilang langsung menundukkan pandangannya."Emang mau cerita apa? Setiap hari cuma

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    Datang, Tapi Bukan Untuk Melamar

    Hansel masih dengan stelan jas kerjanya, memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran luas di desa ini.Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi ke desa ini. Desa yang tidak ia ketahui namanya, namun ia masih ingat jelas bahwa di desa ini ada gadis bernama Luna, yang kini menjadi alasan dirinya datang ke sini.Tentang teman-temannya yang memintanya untuk ikut, Hansel menolak permintaan mereka semua karena ia tidak ingin teman-temannya melihat Luna. Bahkan kepergiannya kali ini tidak diketahui siapapun bahkan oleh kedua orang tuanya.Hansel keluar dari mobilnya.Ia langsung mendapat banyak tatapan dari orang-orang sekitar."Apa karena sekarang sore makanya jadi banyak orang disekitar? Padahal waktu itu, aku tidak menemui siapapun di sini." batin Hansel.Ia tetap terus berjalan dengan percaya diri dan tidak memperdulikan tatapan mereka."Nak, kamu sangat tampan. Ibu sepertinya baru melihat mu di sini." Seorang ibu yang Hansel lewati memberanikan diri

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    BAR

    Hansel masuk ke bar yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya, tanpa harus menghubungi mereka dulu pun Hansel yakin bahwa teman-temannya pasti ada di tempat ini. "Bro, Hansel... akhirnya lu keluar juga dari rumah. Gue denger lu tantrum tiap hari, gimana sekarang?" celoteh Lucas langsung berdiri untuk menyambut Hansel. Setibanya di sampingnya, ia segera merangkul Hansel erat. "Gue gak gila," ucap Hansel langsung menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia mengambil gelas yang ada isinya lantas meminumnya, tidak peduli milik siapa itu. Kabar burung selalu menyebar dengan cepat, apa mungkin dirinya sekarang akan dicap sebagai orang gila. Huh... kehidupan ini."Gue gak bilang lu gila. Gue, kan nanya kabar lu doang." Lucas kembali duduk."Gue baik kok. Makasih perhatiannya," jawab Hansel santai. "Gimana perjalanan lu mendaki sendirian waktu itu? Kok pulang-pulang jadi stress? Penjaga gunungnya gak suka sama lu apa kayak gimana?" Arga bertanya dengan santai sambil menghisap rok

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    Kembali Asing

    Luna duduk di makam sang kakek, melamun memikirkan tentang dirinya bersama Hansel malam itu. Hansel mencoba menjelaskan semua yang terjadi, tapi sampai saat ini pun dirinya tidak bisa mengingat apapun. Ia tidak bisa mengingat kejadian apa saja yang terjadi malam itu bersama Hansel meskipun sudah berusaha keras memikirkannya. Lima hari sudah berlalu sejak Hansel pulang dari rumahnya. Tidak ada yang berubah dari kedatangan dan kepergian Hansel. "Kenapa aku harus terus memikirkannya? Dia hanyalah orang asing. Enyah sana dari kepala ku," usir Luna pada pikiran yang terus memikirkan Hansel. Ia bahkan memukul kepalanya itu. Langit tiba-tiba mendung dan awan hitam berdatangan dari segala arah menjadikan alam tampak lebih gelap, Luna menengadah terus memperhatikan langit. "Aku harus pulang sebelum hujan turun," gumamnya sambil berusaha berdiri. "Akhir-akhir hujan datang lebih sering, aku harap malam nanti akan ada hujan lagi, supaya semua orang bisa merasakan kedinginan yang selalu me

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    Di Bawah Sinar Rembulan

    Hansel duduk di samping Luna. Luna pun tidak merasa risih dengan itu. Dua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersampingan di bawah sinar rembulan yang terang. Melewati jendela, mereka diam-diam menatap ke langit yang gelap, membiarkan diri mereka terpesona oleh keindahan rembulan yang mengambang di malam yang tenang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi mereka merasa terhubung oleh keajaiban alam yang sama, yang sama-sama menarik perhatian mereka ke langit malam yang indah. Hansel, sosok yang tegap dan tenang, dengan tatapan yang dalam dan serius. Ia tengah berpikir keras, menerka maksud perkataan Luna beberapa saat yang lalu Sementara itu, Luna yang duduk di sampingnya terlihat anggun dan lembut, dengan senyuman kecil di wajahnya yang menunjukkan kekagumannya akan keindahan alam. Meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain, namun keduanya merasa ada ikatan yang tak terucapkan di a

  • JANGAN AMBIL TUBUHKU    Mungkinkah Benar?

    "Hansel, kamu tidurlah di kamar depan, ya!" Natasha memegang punggung Hansel seraya mendorongnya untuk maju mendekati kamar depan.Hansel berjalan, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk itu. Terlebih setelah mendapat tatapan dingin dari Luna, matanya yang seakan-akan berbicara bahwa dirinya tidak boleh masuk ke kamar itu."Jika aku tidur di sini, lalu di mana Luna tidur nanti?" tanya Hansel di ambang pintu. Firasatnya mengatakan untuk tidak masuk ke dalam kamar, hawa hawa berbeda sudah terasa melewati celah-celah pintu. Ketakutannya semakin menjadi setelah menyadari bahwa hanya kamar depan saja yang memakai pintu, sementara kamar lainnya hanya menggunakan gorden.Natasha sontak menoleh pada Luna. "Ah, jangan hiraukan dia. Dia bisa tidur di mana pun. Di kursi juga bisa. Dia tipe orang yang tidak mempermasalahkan tempat tidur.""Tidak perlu sungkan. Ini adalah bentuk kami menghormati tamu." Natasha meyakinkan Hansel dan menepuk-nepuk p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status