Aku sesenggukan di samping Umak yang terlihat sedang menahan rasa sakit. Perutnya yang membuncit dan dua lututnya mengangkat sambil berbaring. Sesekali wanita dengan pelipis penuh keringat itu berkata lirih memintaku untuk tak khawatir.Mana bisa? Melihat wajahnya yang pucat pasi dengan kondisi proses melahirkan yang tampak bermasalah itu, aku tak khawatir? Lebih dari apa pun! Aku sangat takut.Sementara itu, Ninik Geren, dukun beranak yang latah itu, sedang mengorek-ngorek bagian jalan lahir. Ia sedang memasukkan kembali tali pusar bayi yang tadinya terjulur dari sana."Mahape hindai Bapakmu! Kakueh kah iye maka dia dumah-dumah, nah?" Wanita tua yang tengah menolong persalinan Umak mulai panik. Ia memintaku kembali menghubungi Bapak yang tak pulang-pulang sejak pamit memanggil bidan praktik.Kuseka air mata, kemudian mengatur napas. Sebelum menekan tombol panggil pada ikon di ponsel. Aku memeriksa jam terlebih dulu. Sudah pukul 22.40, lebih dari setengah jam Bapak meninggalkan rumah.
Keluar dari halaman rumah Bu bidan, aku langsung menuju ke RS. Dari ambulans yang membawa Umak tadi, aku tahu rumah sakit tersebut berada di jalan Pelita. Dari arah Panjaitan, aku terus melajukan motor ke arah selatan.Sepanjang jalan yang sepi, tengkukku merinding. Namun aku berusaha berpikir positif, barangkali hawa dingin yang membuatku merasa seperti ini. Meski begitu, ingatan tentang kuyang yang terbang di depan rumah tadi masih saja membayangi. Makhluk itu tak mungkin membuntutiku, kan? Aku kembali bergidik.Konyolnya, sesekali aku bertengadah untuk memastikan. Kata orang-orang, kuyang terbang dengan jantungnya yang menyala merah. Syukurlah aku tak melihat adanya benda seperti itu.Sampai di rumah sakit, ambulans tadi sudah terparkir di depan pintu UGD. Setelah mesin motor mati, aku lekas berlari ke arah sana.Umak tak ada! Aku sudah memastikan dengan mengintip di beberapa tirai pasien yang tertutup.“Cari siapa?” Seorang perawat menanyaiku.“Apa ada pasien hamil yang baru saja
Langit sudah terang, Bapak memutuskan pulang lebih dulu untuk mempersiapkan pemakaman Adikku. Sedangkan aku, duduk seperti orang tak bernyawa di samping ranjang pasien dengan Umak yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat kebidanan.Sudah lebih dari tiga jam Umak keluar dari ruang operasi, namun hingga detik ini, ia belum juga membuka matanya. Aku sangat takut, kalau-kalau Umak juga akan menyusul Adikku.Aku bahkan sangat benci dengan pikiranku sendiri, tapi sungguh, aku benar-benar takut. Terlebih saat melihat wajah Umak yang pucat dan tak bergerak sama sekali itu.Sesekali aku menghela napas berat, menghalau isi kepala yang semakin liar tak terkendali sambil memerhatikan cairan infus yang jatuh setetes demi setetes.Bagaimana dengan aku jika ditinggal Umak nanti? Kalimat itu sulit ditahan, ia terus saja muncul di benakku. Hingga tanpa sadar, bulir bening dari kelopak mata jatuh begitu saja.Sesaat berikutnya, terdengar erangan lemah. Aku segera bangkit dari duduk dan mendekatkan waj
Api di pucuk obor bergoyang-goyang ditingkahi oleh angin. Sementara itu, di depan gubuk kayu, dua lelaki saling tunjuk dan berseteru. Satu sama lain di antara mereka tak ada yang mau mengalah. Urat leher terlohat jelas membiru, berteriak, sama-sama menolak dan bertahan dengan keinginannya masing-masing. Keduanya sama-sama berkepala batu. “Aku harus mengurus keluargaku! Sebagai adik, sudah sepantasnya kaulah yang mengurus Umak. Lagi pula, kau belum berkeluarga. Ini kesempatanmu untuk balas budi.” Terlontar kalimat tegas yang diucapkan salah satunya. “Tapi Bang, kau juga tahu. Pekan depan keluarga Liyah memintaku datang melamar. Aku juga ingin memiliki masa depan. Punya anak istri seperti yang lain! Mana mungkin terus-terusan jadi budak Umak, yang sudah membusuk begitu. Aku pun jijik mengurusnya! Kenapa tak Abang pinta saja Bang Mardi atau Bang Oman, yang mengurusnya!” Midan menyahuti dengan teriakan. Jelas ia tampak geram. Terang saja gigi lelaki yang wajahnya lebih sangar di hadapa
Tahun 1991Langit membentangkan teriknya siang itu. Dalam rumah kayu beratap seng, udara terasa sangat menyengat. Jadi, penghuninya yang merupakan Pasangan suami istri beda usia itu, memilih bercengkerama di beranda. Sambil berharap ada semilir angin yang bisa mengurangi sedikit rasa tak nyaman pada tubuh mereka yang kegerahan.Untungnya, sebatang pohon ketapang yang rimbun di halaman membuat sejuk keadaan. Sesekali, Mayang masih mengibaskan kipas yang terbuat dari anyaman batang purun ke arah leher mengeringkan keringat yang cukup mengganggu di area tersebut."Yang. Pinggir matamu, sepertinya mulai berkeriput." Edi yang berbaring di paha Mayang berkomentar. Sambil memilin anak rambut yang mencuat di tepi telinga istrinya."Benarkah begitu?" Ada nada kecewa dalam pertanyaan Mayang.Padahal, sebulan terakhir ia telah rutin menggunakan bedak dingin bercampur rempah yang dikirim Ibu mertuanya.Jelas saja, meski kalimat Edi terdengar biasa, hal ini cukup membuat nyeri di dada Mayang. Ia
"Syarat seperti apa?" Ia menatap lekat wajah suaminya. Edi menghela napas sejenak. "Sudah kukatakan jika kau setuju akan kuberi tahu. Bagaimana? Apa kau setuju?” Sangat jelas, Edi terdengar memaksa. "Apa saja yang kudapat selain jadi cantik dan awet muda?" Mayang begitu antusias hingga penasaran. Ia tak mau jika nanti keputusannya membuat penyesalan dikemudian hari."Kamu juga akan mendapat hidup abadi Mayang. Kau banyak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup. Bahkan jika nanti aku mati lebih dulu." Edi mengatakan dengan pasti dan meyakinkan. Matanya menyala dengan penuh semangat.Terang saja Mayang percaya, dengan berbinar ia sudah membayangkan kehidupannya yang akan datang. Jika benar ia akan Abadi, ia tak perlu takut lagi memikirkan kematian. Ia bukan hanya bisa menjumpai anak cucu, namun juga cicit-cicitnya kelak."Tentu aku mau. Eh, tapi ..., kenapa kau tak menggunakannya juga? Kita bisa hidup lama bersama." Suaminya mengulum senyum dan melontarkan bualan. "Aku juga sudah m
Setelah menasihati Edi dan meminta Mayang lebih bersabar Mesih pamit pulang. Tak enak juga jika ia terlalu jauh mencampuri kehidupan rumah tangga orang. Ia juga menyuruh tetangga yang bergerombol di pintu untuk bubar.Suami dan istri itu hening dalam waktu cukup lama. Hingga seorang tamu datang dengan wajah panik, ia menyuruh Edi cepat pulang ke seberang."Kenapa Wan?" tanya Edi. Seakan ia sudah tahu kabar apa yang akan di sampaikan Wawan padanya."Ibumu sudah meninggal Di, kata orang sekitar, jenazahnya harus diurus hari ini juga."Mayang tahu, Wawan merupakan salah satu anak buah Edi di tempatnya bekerja. Suaminya yang bercerita minggu lalu. Meski baru hari ini ia bertemu, kata Edi, Wawan lah yang sering membantunya dalam berbagai hal."Oh. Begitu. Ya sudah tunggu sebentar. Aku pamit pada Mayang," sahutnya santai.Tampak janggal memang, biasanya seorang anak yang mendengar berita duka dari orang tuanya akan bersedih atau terdengar meratap. Tidak halnya dengan Edi. Wajahnya biasa sa
Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.Padahal, Mayang sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda."Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang."Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya."Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong."Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga. Selama ini siapa pun juga tahu, kalau M